Politik telah Mengubah Diri Kita
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBerapakah harga kemanusiaan yang harus kita bayarkan untuk menang dalam berpolitik?
Di ‘hari tenang’ sekarang ini, bolehlah kita merenung sejenak, mengapa politik—pilpres, khususnya—membuat kita jadi manusia yang berbeda, berubah, lain? Apakah kita cukup menyadari bahwa banyak sifat yang selama ini tersembunyi dan teredam seakan bangkit? Kita menjadi lebih mudah berprasangka, lebih ringan berdusta, lebih suka berkelit, tidak ragu memfitnah, gemar mencaci, senang mencibir dan mengolok-olok, menertawakan, dan tak gamang memutarbalik kenyataan.
Di tahun politik, relasi kita dengan teman mungkin juga berubah karena perbedaan pilihan. Tiba-tiba terasa ada sekat yang membatasi, mendadak terasa ada jarak yang memisahkan, kita tidak lagi spontan berbicara dengan kawan karena tidak nyaman. Meski berusaha bersikap dewasa, kita menjadi lebih mudah panas hati dan kesal karena orang yang kita kagumi dikritik oleh teman. Relasi kita dengan orang-orang yang semula dekat terasa jadi hambar.
Sebelum tahun politik, kita merasa sungkan menceritakan prestasi kita kepada banyak orang. Namun, intensitas aktivitas politik telah membuat kita mudah dan senang sesumbar tentang kehebatan kita, melebih-lebihkan, dan menafikan peran orang lain. Kita tanpa sungkan memuja-muja dan memuji-muji tanpa cadangan sikap kritis. Kita jadi terbiasa meledek, mengejek, dan memperolok kelemahan orang lain. Kita jadi gemar mencari-cari kelemahan orang lain, menganggap lumrah perilaku curang, dan menganggap enteng sikap manipulatif. Melihat kesalahan orang lain sebagai amunisi untuk menyerangnya.
Inikah politik dan demokrasi yang kita angankan untuk membangun negeri ini dan bangsanya? Demokrasi bukanlah perkara kebebasan berbicara semata, yang memberi ruang seluas-luasnya bagi kita untuk ngomong apa saja dengan cara yang kita sukai. Sebuah negeri tidak akan terus tegak bila dibangun di atas sikap mengagungkan diri sendiri dan merendahkan orang lain. Sebuah bangsa tidak akan terus ada bila dibangun di atas sikap yang mengabaikan kasih sesama.
Mengapa kita jadi pemarah kepada orang yang berbeda pandangan politik? Mengapa kita menempatkan politik di atas segala-galanya, sehingga kita rela untuk menelikung teman, membuka aib sejawat, memuji-muji orang yang semula lawan dan menghina orang yang semula kawan, meninggalkan kawan karena takut kepada lawan, dan entah apa lagi. Politik terbukti sanggup mengubah diri kita jadi orang yang berbeda.
Mengapa hal itu terjadi? Apakah kuasa dunia telah menutupi mata kita dari cahaya dan menggelapkan pandangan kita? Jika kuasa dunia dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia, mengapa cara meraihnya merusak kemanusiaan? Apakah demokrasi semacam ini yang kita inginkan, demokrasi yang mendorong manusia membangkitkan sendiri watak-watak buruknya?
Akhirnya, berapakah harga kemanusiaan yang harus kita bayarkan untuk menang dalam berpolitik? Apakah makna menang dalam politik? **
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pemimpin Ghosting, Jadi Teringat Lagunya Dewa
Rabu, 4 September 2024 11:28 WIBAda Konflik Kepentingan di Klab Para Presiden
Kamis, 9 Mei 2024 12:38 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler