x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jangan Rendahkan Rakyat dengan Amplop

Bila politik uang atau amplop atau serangan fajar dibiarkan, apa yang disebut sebagai ‘pestademokrasi’ ini akan tercemar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Rakyat jelata memang membutuhkan uang untuk melanjutkan hidup. Mulai dari mengepulkan asap dapur, menyekolahkan anak, hingga membayar listrik agar lampu tetap menyala. Meski begitu, sungguh merendahkan harkat dan martabat rakyat jika para politisi memanipulasi kebutuhan rakyat itu untuk kepentingan politik mereka dengan menyuap di hari pemungutan suara.

Menukar hak suara rakyat dengan amplop senilai Rp 20 ribu atau Rp 50 ribu jelas merupakan aksi penghinaan. Betapa tidak? Hak pilih rakyat hanya bisa dipakai lima tahun sekali, padahal yang dipilih akan duduk di legislatif atau diam di istana presiden selama lima tahun. Sangat njomplang. Uang Rp 20 ribu itu hanya setara dengan sepuluh tusuk sate di warung kaki lima dan belum bisa untuk membeli seekor kambing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika dilihat lebih jauh, politik amplop sesungguhnya merupakan pertanda bahwa politisi yang melakukannya itu tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk mendapat kursi di parlemen. Seandainya politisi ybs percaya diri, ia tidak akan bertumpu pada uang semata. Mungkin pula ia sudah menghitung-hitung tidak akan memperoleh suara yang cukup jika tidak bermain uang.

Politik amplop juga tidak mendidik diri sendiri (maksud saya, diri politisi) untuk berjuang dengan cara yang jujur, wajar, dan tidak melalui jalan pintas. Jika ia memang berniat hendak memperjuangkan nasib rakyat melalui parlemen atau jabatan gubernur atau presiden sekalipun, ia akan memakai cara-cara yang jujur. Jika awal mulanya sudah tidak jujur, bagaimana langkah selanjutnya, mampukah ia bertindak jujur? Rasanya sukar, terlebih lagi bila ketidakjujuran sudah menjadi kebiasaan.

Demokrasi akan berjalan di atas sendi-sendi yang rapuh bila politisinya mengandalkan uang sebagai cara untuk membeli suara rakyat. Bahkan, ini bukan demokrasi yang sejati, melainkan demokrasi seolah-olah, dikarenakan suara rakyat telah dimanipulasi oleh sogokan uang ataupun materi. Banyak cara manipulatif yang dipakai untuk membujuk rakyat pemilih, tapi amplop serangan fajar merupakan cara yang paling telanjang.

Politik amplop juga melecehkan akal sehat, sebab pelakunya mengasumsikan bahwa rakyat tidak akan berpikir dalam memilih capres dan caleg. Rakyat dianggap akan mudah saja menukar hak suara mereka yang berharga dengan uang Rp 20 ribu. Sementara, para caleg itu berangan-angan akan memperoleh pengembalian yang jauh lebih banyak jika berhasil duduk di kursi parlemen. Mereka akan memperoleh akses ke sumber-sumber kekuasaan, kewenangan, maupun sumber ekonomi.

Bila politik uang atau amplop atau serangan fajar dibiarkan, apa yang disebut sebagai ‘pesta demokrasi’ ini akan tercemar, bukan dikarenakan oleh faktor-faktor eksternal yang merintangi, melainkan oleh perilaku manusia yang berperan utama di dalamnya—para politisi dan rakyat pemilih. Bila rakyat pemilih bersikap tangguh menghadapi upaya ketidakjujuran dan politik uang, demokrasi kita berpeluang untuk menuju kematangannya di masa datang. Jadi, di hari pemilihan, jangan biarkan siapapun memasuki rumah kita untuk menyerahkan amplop ataupun sembako, sebab jelas niatnya buruk. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler