x

Iklan

Rahmi Mufidah Aisy

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Mei 2019

Selasa, 7 Mei 2019 14:19 WIB

Kartini dan Feminisme Indonesia Modern

Artikel ini menelisik kembali kehidupan seorang R. A. Kartini, perannya, dan pengaruhnya dalam perkembangan gerakan Feminisme di Indonesia masa kini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kata “Feminisme” dan “Kartini” merupakan dua sisi koin yang selalu muncul di pertengahan April, hari ke 21, sebagai perayaan masyarakat Indonesia terhadap Hari Kartini. Hari Kartini merupakan bentuk penghargaan terhadap perjuangan Raden Ajeng Kartini, seorang tokoh wanita yang mendobrak tradisi, yang di tengah keterbatasan mampu menghadirkan pendidikan kepada wanita-wanita disekitar beliau, tokoh yang merupakan idola banyak orang sebagai simbol Feminisme Indonesia.

 

Apa itu Feminisme Indonesia?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Feminisme, menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Gerakan ini bukan muncul tiba-tiba, dan tidak muncul baru-baru ini, gerakan ini mulai memunculkan dirinya bahkan sebelum Indonesia merdeka sebagai bentuk kegerahan wanita Indonesia kepada tradisi dan sistem patriarki yang mengakar kuat dalam budaya Indonesia. Gerakan ini menuntut wanita mendapatkan kesempatan untuk bersekolah, terjun ke dalam politik, bekerja diluar stigma “masak, macak, manak” (memasak, berdandan, melahirkan), mendobrak tradisi dan budaya. Feminisme Indonesia sendiri merupakan istilah bagi gerakan feminisme yang berkembang di Indonesia, dimana hal-hal yang diperjuangkan disesuaikan dengan apa yang belum “setara” dalam kehidupan Indonesia. Feminisme Indonesia sering dikaitkan dengan mendobrak tradisi dan menentang budaya, meskipun pada pelaksanaannya Feminisme Indonesia lebih mengarah kepada compromise/penyesuaian daripada penentangan.

 

Dilihat dari sejarah hidup Raden Ajeng Kartini, beliau berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukan seorang bangsawan, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS, yaitu Europese Lagere School. Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah dipingit.

 

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman pena yang berasal dari Belanda, salah satunya Rosa Abendanon. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Muncul keinginan untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Untuk mencerdaskan bangsanya, ia mencerdaskan dirinya terlebih dahulu.

 

Oleh orangtuanya, Kartini dijodohkan dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Kartini meninggal pada usia 25 tahun setelah melahirkan putra pertama dan satu-satunya, Soesalit Djojoadhiningrat, pada 17 September 1904.

 

Kartini merupakan sosok luar biasa, yang tidak hanya menuntut, tetapi juga mengusahakan kesetaraan di antara laki-laki dan perempuan Jawa di masa itu. Kartini juga merupakan seseorang yang gigih dan berpengetahuan luas, menuliskan ide-ide dan karya-karyanya bahkan mempublikasikannya. Namun, untuk kondisi Indonesia saat ini, Feminisme a la Kartini perlu diperluas makna dan arah geraknya. Feminisme Indonesia modern memerlukan perkembangan lebih jauh, membutuhkan lebih banyak role model yang berpengaruh, menempati posisi kuat di pemerintahan, dan memberikan dampak luas. Feminisme Indonesia modern sudah tidak bisa lagi bergerak bawah tanah, namun bagaimana gerakan ini mampu mengangkat seluruh derajat wanita Indonesia agar tidak lagi menjadi golongan “kelas dua”. Feminisme Indonesia modern perlu memberikan spotlight kepada tokoh-tokoh seperti Rasuna Said, Opu Daeng Risadju (pahlawan nasional Indonesia, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat/DPR RIS dan anggota Dewan Pertimbangan Agung), Dewi Sartika (pahlawan nasional Indonesia pendiri Sekolah Istri), Christina Martha Tiahahu (pahlawan nasional Indonesia, yang ikut terjun dalam perang melawan Belanda), dan puluhan tokoh lain yang bahkan tidak muncul di buku-buku sejarah. Bukan mengecilkan peran dari R. A. Kartini sendiri, namun lebih kepada mengembangkan perspektif dan progresivitas Feminisme Indonesia ke lingkup yang lebih luas lagi.

 

Pada tujuan akhirnya, Feminisme Indonesia perlu menjadi sebuah feminisme progresif, yang dimulai dari perjuangan melawan kekangan terhadap diri sendiri dan sekitar, lalu mampu mengangkat dan memperjuangkan isu-isu yang lebih luas.

Ikuti tulisan menarik Rahmi Mufidah Aisy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler