x

Iklan

Nadhif Kurnia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Mei 2019

Rabu, 8 Mei 2019 12:54 WIB

INDONESIA KAYA LAHAN, TAPI RAKYAT TAK DAPAT JATAH

menjelaskan mengenai kepemilikan lahan oleh beberapa konglomerat dan pejabat yang ada di Indonesia yang menyebabkan banyak masyarakat yang tidak memiliki lahan yang mana merupakan hak mereka juga

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Presiden Joko Widodo secara terang-terangan membeberkan lahan yang dimiliki oleh Prabowo Subianto saat Debat Pemilihan Presiden (Pilpres) kedua. Pada Debat yang diselenggarakan pada tanggal 17 Februari 2019 lalu, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa Prabowo memiliki lahan seluas 220 ribu hektare di Kalimantan Timur dan 120 ribu hektare di Aceh. Penguasaan lahan yang dilakukan oleh Prabowo Subianto diakuinya sesuai dengan Undang-Undang no 5 tahun 1960 pasal 28 tentang Hak Guna Usaha (HGU). Lahan kepunyaan Prabowo yang luas ini menimbulkan pro dan kontra di lingkungan masyarakat. Apakah kepemilikan lahan yang luas tersebut salah?

Indonesia merupakan negara yang luas. Daratan Indonesia memiliki luas sebesar 2,01 juta km2 yang hampir 30% dari total luas negara. Dari luasnya daratan tersebut, Pulau Jawa merupakan daratan terpadat di Indonesia. Pulau-pulau lain seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua masih terdapat lahan-lahan luas yang belum didirikan infrastruktur. Hal tersebut menimbulkan beberapa konglomerat atau pejabat mengakuisisi lahan-lahan tersebut. Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, sebanyak 74% lahan di Indonesia dikuasai oleh 0,2% jumlah penduduk atau kurang lebih 516 ribu penduduk. Bahkan terdapat 1 orang yang merupakan owner dari perusahaan Sinar mas, memiliki 5 juta hektar lahan di Indonesia (CNN Indonesia, 15/06/2016). Kepemilikan lahan oleh Prabowo yang memiliki luas 340 ribu hektar di dua wilayah masih jauh lebih kecil daripada lahan Sinar mas tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pasal 21, hanya orang-orang Indonesia lah yang berhak memiliki lahan di Indonesia. Tidak ada salahnya para konglomerat hingga pejabat pemerintahan memiliki lahan-lahan di berbagai daerah di Indonesia, asalkan mereka berkewarganegaraan Indonesia. Namun, yang perlu diketahui adalah batasan-batasan luas kepemilikan lahan itu sendiri. Para pemilik tanah tidak diperbolehkan memiliki tanah diluar batas maksimum. Penetapan luas lahan tidak dijelaskan dalam UUPA, melainkan dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Ketentuan batas maksimal luas lahan diatur dalam Undang-Undang no. 56 PRP Tahun 1960. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga maksimal hanya diperbolehkan untuk memiliki lahan seluas 15 hektar untuk sawah atau pertanian dan 20 hektare untuk tanah kering. Terkhusus lahan yang beroperasi dengan Hak Guna Usaha tidak diatur mengenai luas lahan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masih adanya orang yang memiliki lahan yang lebih luas dari aturan yang telah ditetapkan dapat menimbulkan ketimpangan atas kepemilikan lahan di Indonesia. Mayoritas rakyat biasa hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare, sangat jauh sekali dibanding data-data yang telah disebutkan tadi. Kemudian, kebanyakan konglomerat menjadikan lahannya menjadi areal perkebunan seperti sawit dan karet, yang mana dapat memperkecil cakupan areal pertanian. Kita semua sudah paham, Indonesia merupakan negara agraris dimana negara ini masih bergantung dengan pertanian. Apabila lahan pertanian terus berkurang, otomatis pemasukan negara kita juga berkurang. Dilansir dari CNN Indonesia, Badan Pusat Statistik menyatakan pada tahun 2018, luas lahan pertanian tinggal 7,1 juta hektare. Data tersebut lebih kecil dibanding tahun 2017 yang masih 7,75 juta hektare.

Menyusutnya lahan pertanian juga dapat memberikan dampak negatif terhadap stok beras negara. Selain itu, berdasarkan data yang dilansir dari detikFinance, Indonesia melakukan impor beras dikarena kan stok beras Indonesia itu terbatas. Salah satu alasan stok beras Indonesa terbatas adalah alih fungsi lahan yang kian gencar dilakukan. Alih fungsi lahan dari pertanian menjadi perkotaan ditambah menjadi perkebunan semakin memperkecil lahan pertanian dan juga stok beras Indonesia. Selain itu, mata pencaharian masyarakat yakni bertani juga terancam hilang. Ketimpangan seperti ini seharusnya tidak terjadi.

Pembaruan Agraria merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan Pemerintah untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan. Tujuan dari Pembaruan Agraria yaitu menstruktur ulang mengenai kepemilikan lahan sehingga dapat menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat banyak dan juga dapat meminimalisir konfik agraria yang terjadi akibat ketimpangan tersebut. Kemudian, pemerintah sudah sepatutnya tegas kepada taipan-taipan pemilik lahan yang melebihi batas luas maksimum yang telah ditetapkan dalam UUPA Pasal 17 untuk mengembalikan lahannya kepada negara yang kemudian negara bertugas untuk membagikan lahan tersebut kepada masyarakat yang sekiranya membutuhkan.

Taipan serta pejabat yang memiliki lahan-lahan luas tersebut mungkin berasumsi sudah sesuai dengan aturan mengenai Hak Guna Usaha yang tertera dalam UUPA. Tetapi di lain sisi, mereka memiliki lahan yang sangat luas sehingga lahan yang akan digunakan untuk melakukan kegiatan pertanian juga berkurang. Kementerian Agraria masih cenderung “menutupi” data lahan yang negara pinjamkan kepada seseorang atau kelompok. Hal ini dapat memicu prasangka adanya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Memang tidak ada peraturan mengenai luas lahan dalam Hak Guna Usaha yang diberikan negara kepada seseorang. Tetapi, apakah peminjaman lahan yang luas tersebut bisa menciptakan kesejahteraan masyarakat? Bahkan terdapat pula perusahaan yang memiliki lahan diatas 20 hektare  tanpa HGU. Ini sudah sangat jelas melanggar aturan. Sebaiknya, untuk luas lahan yang dipinjamkan negara kepada individu ataupun kelompok dibatasi, sehingga tercipta keadilan di masyarakat

Sudah seharusnya para pemilik lahan yang memiliki luas diluar batas maksimum mengembalikan lahan-lahannya kepada negara agar tercipta keadilan di masyarakat. Pembaruan Agraria sangat perlu dilakukan agar tidak terjadi ketimpangan kepemilikan lahan. Selain itu, penulis berpendapat agar negara memberi batas luas lahan yang akan diberikan HGU ke individu atau kelompok. Perlu diingat kembali, masyarakat juga merupakan orang Indonesia, sehingga mereka memiliki HAK atas lahan yang ada di negara ini.

Ikuti tulisan menarik Nadhif Kurnia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler