x

Iklan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 13 Mei 2019 23:54 WIB

Pasca Pemilu 2019, Indonesia Perlu Pemulihan & Rekonsiliasi Secara Utuh

Terlalu berbahaya bila luka akibat Pemilu 2019 tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Indonesia butuh rekonsiliasi secara utuh, yakni yang mengakomodir unsur kebenaran (truth), keadilan (justice) dan welas asih (mercy) dan damai (peace).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh :

Ossy Dermawan

Kader Partai Demokrat

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemilu 2019 telah menorehkan luka di sanubari bangsa ini. Kompetisi politik kali ini jauh lebih “keras” dibanding pemilu-pemilu di era reformasi sebelumnya. Pesta demokrasi yang mestinya dilakukan dengan semangat kompetisi yang sehat malah meningkatkan rasa kebencian, kegalauan, kebingungan bahkan perpecahan di antara anak bangsa.

Tercatat limaratusan petugas penyelenggara Pemilu yang wafat dan ribuan lainnya jatuh sakit. Juga kacau-balaunya Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU yang terus dikritisi. Krisis kepercayaan yang melanda KPU, tidak pernah sehebat ini. Bahkan kredibilitas Bawaslu dan Mahkamah Konsitusi (MK) untuk memutus sengketa pemilu ramai dipertanyakan. Semua ini seakan-akan mengkonfirmasi bahwa ada yang salah dengan Pemilu 2019 ini.

Kebijakan ambang batas pengajuan paslon Pilpres (Presidential Threshold) telah menciptakan polarisasi ekstrim karena terbatasnya pilihan calon pemimpin bangsa. Dominasi Politik Identitas/SARA membuat hubungan antar elemen bangsa makin berjarak. Hoaks, persekusi hingga “post-truth politics” merajalela akibat ambisi kekuasaan. Aksi massa berjilid-jilid semerbak wangi fanatisme politik. Situasi politik hari ini tanpa disadari telah membuat bangsa ini semakin terbelah.

Sungguh amat disayangkan, kehidupan politik dan demokrasi yang telah susah payah kita bangun serasa mundur kembali (set back). Padahal pasca reformasi 1998, setapak demi setapak kita melangkah di jalan kemajuan. Kualitas demokrasi Indonesia meningkat pesat, semakin matang, utamanya ketika Partai Demokrat berada di pemerintahan. Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, Indonesia diakui sebagai negara muslim demokratis terbesar di dunia. Indonesia tidak lagi harus memilih antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Dan, tidak lagi harus memilih antara hukum dan kebebasan. Semuanya dapat ditingkatkan, berjalan beriringan.

 

Mengapa Dibutuhkan Pemulihan dan Rekonsiliasi Pasca Pemilu 2019?

Pemulihan luka dan rekonsiliasi bangsa semakin penting mengingat tantangan Indonesia lima tahun ke depan tidaklah mudah. Dalam perspektif dunia internasional, Indonesia dihadapkan pada dinamika hubungan antar negara yang diwarnai kerjasama, kompetisi, dan konfrontasi; sumber daya alam yang makin menipis; perubahan iklim; jumlah penduduk dunia yang makin besar; serta perkembangan teknologi yang sangat cepat. Sementara di tingkat nasional, Indonesia didesak untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sekaligus inklusif, merata dan berkelanjutan; memaksimalkan bonus demografi; serta kebutuhan energi dan pangan yang semakin meningkat.

Tantangan ini menuntut kinerja pemerintah yang solid dan prima serta dukungan rakyat yang kuat. Harapan ini akan sulit terwujud apabila pemerintah mendatang masih dihantui beban Pemilu 2019. Jangan sampai dampak negatif Pemilu 2014 yang cukup mengganggu pemerintah hari ini terulang lagi. Ada baiknya pemimpin dan elit politik belajar dari Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Pada dua periode itu SBY dinilai berhasil melakukan rekonsiliasi nasional sehingga pasca dilantik sebagai Presiden ke-6 RI, pemerintah bisa langsung “tancap gas” untuk menunaikan visi dan misinya.

Di samping kinerja pemerintah, tantangan itu mesti pula dijawab oleh seluruh komponen bangsa. Indonesia perlu kembali rukun dan guyub. Sukar membayangkan keterpaduan bangsa bisa muncul apabila polarisasi yang ekstrim seperti saat ini masih mendominasi diskursus publik. Alih-alih menjadi kekayaan bangsa, kemajemukan yang miskin toleransi malah akan “meracuni” pembangunan nasional. Bisa habis energi bangsa ini untuk mengurusi gejolak-gejolak sosial yang berpotensi meledak setiap saat. Pada titik ekstrim tertentu, jangan sampai Indonesia pecah seperti negara Yugoslavia akibat kita tidak pandai menjaga kerukunan dan merawat persatuan.

Sejarah kita pun sudah mengajarkan perihal ancaman ini. Betapa sulitnya Indonesia bangkit dari krisis moneter 1998 manakala konflik-konflik etnis dan agama meledak secara sporadis di berbagai penjuru nusantara. Tentu kita tidak ingin pengalaman buruk itu terulang. Maka polarisasi bangsa sebagai imbas Pemilu 2019 harus segera dibenahi. Jangan sampai semakin melebar dan mendalam.

Terakhir, pemulihan dan rekonsiliasi juga bisa mencegah kisah pilu Pemilu 2019 tidak terulang pada pemilu-pemilu di masa depan. Segala yang terkoyak dan terengut mesti menjadi pelajaran. Bahwa politik identitas/SARA, hoaks, persekusi hingga “post-truth politics” adalah racun bagi kehidupan demokrasi Indonesia. Kita perlu mengoreksi polarisasi politik akibat penerapan Presidential Threshold. Kita juga perlu memperkuat institusi penyelengara pemilu supaya pelbagai kelemahan dan kekurangan sistem pemilu kita serta musibah yang telah terjadi tidak akan terulang di masa mendatang

 

Mengobati Luka Pemilu

Segala “luka” akibat Pemilu 2019 tentunya bisa diobati selama pemimpin bangsa, elit politik, serta rakyat Indonesia mau membuka diri. Kita perlu ruang dialog lintas kalangan. Peluang ini makin terbuka karena sekarang kita sedang memasuki bulan suci Ramadhan, bulannya merajut tali silaturahmi.

Dialog bisa mengendurkan ketegangan politik. Poros Jokowi-Ma’ruf Amin dan poros Prabowo-Sandiaga bisa bicara untuk meluruskan pertentangan, perselisihan serta berbagai kesalahpahaman di antara kedua pihak. Pertemuan ini akan sangat efektif dalam menyejukkan situasi panas di kalangan akar rumput yang sejak sepuluh bulan terakhir dicekoki dengan narasi SARA dan jebakan polarisasi. Selain itu, dialog juga bisa membuka katup kebuntuan politik. Kedua poros bisa mencari solusi bersama supaya situasi tidak semakin memburuk. Tentu saja solusi itu harus konstitusional dan tidak mengkhianati suara rakyat yang sudah diamanatkan di pundak mereka.

Yang penting para elit jangan menutup mata bahwa keyakinan yang mereka perjuangkan bersama para pendukungnya bisa saja salah dan keliru. Semua harus jujur. Mungkin saja memang terjadi kecurangan yang dilakukan pendukung 01. Misalnya penyalahgunaan kekuatan negara dan aparatur negara serta penyalahgunaan sumber daya negara dalam mendukung kemenangan Jokowi dan parpol-parpol tertentu. Sebaliknya, klaim kemenangan 62% dari kubu Prabowo boleh jadi tidaklah akurat. Barangkali karena dukungan data yang kurang cermat. Atau ada pihak-pihak tertentu yang coba memanas-manasi koalisi 02 untuk meyakini kemenangan sepihak supaya pemerintahan Jokowi tuntas sampai di sini.

Idealnya poros Jokowi dan Prabowo harus mau menahan diri hingga ada keputusan resmi KPU. Tetapi, kalau kredibilitas penyelengara pemilu dinilai meragukan, mereka bisa saja membentuk Tim Pencari Fakta Kecurangan Pemilu. Tim ini akan menyelidiki sejauh mana akurasi perhitungan suara KPU. Juga melacak kebenaran dugaan kecurangan pemilu secara terstuktur, sistematis dan masif (TSM). Untuk memastikan rekomendasi bersih dari intervensi pihak-pihak tertentu, anggota tim sebaiknya berasal dari lintas kalangan serta diawaki oleh orang-orang yanh memang sudah teruji integritasnya.

Tentu saja kita tidak bisa berharap sekali dialog akan menghasilkan solusi. Ada hambatan politis, historis, psikologis serta lainnya. Tetapi ruang dialog yang mengedepankan upaya pemulihan dan rekonsiliasi mesti terus dibuka. Inilah salah satu bentuk ujian kepemimpinan bagi Jokowi dan Prabowo. Kepentingan bangsa dan negara wajib diletakkan di atas segala-galanya, termasuk ambisi kekuasaan.

Prinsip ini pula yang mengantarkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memenuhi undangan Jokowi di Istana Merdeka tempo hari. Alhasil, AHY habis-habisan "di-bully" oleh mereka yang masih terperangkap dalam ketegangan dan kebuntuan politik. Tentu saja AHY sudah memprediksi ancaman tersebut, tetapi AHY menerimanya sebagai konsekuensi pengabdian seorang anak bangsa. Harus ada yang menjawab tuntutan Indonesia hari ini. Harus ada anak bangsa yang “berani” keluar kandang untuk mencairkan kebuntuan politik.

Pengabdian serupa pernah pula dilakukan AHY pada 17 Februari 2017. Dalam hitungan jam sejak seluruh TPS di Pilkada Jakarta ditutup, AHY sudah menyampaikan pidato kekalahannya. Dengan tegar, ia mengucapkan selamat untuk kedua rivalnya, Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Baswedan. Meskipun landasannya hasil quick count. Meskipun AHY dan pendukungnya paham bahwa ada tangan-tangan “siluman” yang bekerja dari banyak penjuru untuk memastikan kekalahan AHY, ia tetap menerima hasil Pilkada Jakarta secara ksatria. Bahkan sebelum menyampaikan pidato kekalahannya, AHY sudah memulai proses rekonsiliasi dengan menelepon para kompetitornya.

 

Pemulihan dan Rekonsiliasi Secara Utuh

Survey Litbang Kompas pasca Pemilu 2019 membawa angin segar bagi upaya pemulihan dan rekonsiliasi bangsa. Survei itu mencatat ada 92,5% responden yang menyatakan siap menerima apabila Paslon pilihannya kalah. Lalu 95% responden mengaku akan mendukung pemerintah mendatang meskipun Paslon pilihannya kalah. Survey ini mengkonfirmasi kecilnya potensi bentrok massal terkait hasil pemilu. Juga memupus kekhawatiran atas ancaman krisis kepercayaan pada pemerintah mendatang.

Sayangnya, rekonsiliasi masih menjadi persoalan besar. Hanya 58,6% responden yang siap menyambung kembali silaturahmi dengan orang yang sempat bermusuhan karena berbeda pilihan politik. Artinya, masih cukup banyak masyarakat yang terjebak dalam mindset kompetisi Pilpres 2019. Narasi “kita atau mereka” (us or them), 01 or 02, Prabowo atau Jokowi telah berpengaruh terlalu dalam di tengah masyarakat.

Pemulihan dan rekonsiliasi juga seharusnya tidak hanya dimaknai oleh publik sebagai sikap memaafkan dan melupakan (forgive and forget). Salah kaprah ini memicu rasa ketidakadilan bagi mereka yang terlanjur luka. Padahal pemulihan dan rekonsiliasi bukan sekadar ruang pertemuan antara para pembenci supaya unsur welas asih (mercy) dan damai (peace) bisa bertemu dan bersatu secara bersama. Kedua unsur itu hanya bisa tegak di atas pondasi dua unsur lain, yaitu kebenaran (truth) dan keadilan (justice).

Rekonsiliasi butuh kebenaran (truth) dalam bentuk pengakuan, transparansi, pengungkapan, dan klarifikasi atas suatu kebenaran. Intinya, diperlukan kesadaran bahwa kebenaran harus diungkap dan dijelaskan secara jujur dan terbuka. Ini berlaku untuk semua pihak. Baik pihak Jokowi dan pendukungnya, pihak Prabowo dan pendukungnya, serta penyelenggara pemilu. Mereka harus jujur menjawab rasa penasaran publik hari ini. Tiga pertanyaan utama adalah perihal klaim kemenangan, dugaan kecurangan, serta kacau-balaunya proses penghitungan suara pemilu. Apakah semua itu selaras dengan yang disampaikan, atau ada yang disembunyikan dari mata publik?

Rekonsiliasi juga perlu rasa keadilan (justice). Ruang rekonsiliasi mesti mengandung kesetaraan, pemulihan hak-kewajiban setiap orang, serta pengembalian hak-hak individu yang terampas (restitusi).  Intinya, keadilan pasca pemulihan dan rekonsiliasi harus diupayakan, sementara ketidakadilan mesti dikoreksi dan diberi hukuman. Unsur ini bisa dipraktikkan melalui penuntasan kasus-kasus dugaan kecurangan pemilu. Para pelaku harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku. Jangan lupakan pula kasus-kasus penangkapan aktivis oposisi atas tuduhan ujaran kebencian maupun makar. Jika ini cuma upaya instan pemerintah untuk mengendalikan stabilitas politik, maka mereka harus dibebaskan, dan dipulihkan nama baiknya.

Bila beban kebenaran dan keadilan sudah terpenuhi, barulah bangsa ini bisa menganyam yang terkoyak. Kita baru bisa mempraktikkan welas asih dalam wujud menerima dan memaafkan kekeliruan yang terjadi sepanjang tahapan Pemilu 2019. Kita bisa bersama-sama melakukan pemulihan. Puncak dari rekonsiliasi ini adalah unsur kedamaian, yaitu kembali bersama-sama membangun Indonesia yang harmonis, bersatu dan toleran.

Hari ini sudah banyak Ormas dan tokoh bangsa yang menyerukan rekonsiliasi, termasuk Partai Demokrat. Bahkan gerak langkah Partai Demokrat mengisyaratkan upaya beralih dari kompetisi menuju rekonsiliasi. Kita bisa membaca dari dialog banyak tokoh bangsa bersama SBY, di sela-sela kunjungan mereka menjenguk Ibu Ani Yudhoyono di Singapura. AHY pun sudah langsung berbicara rekonsiliasi pasca mencoblos di TPS tempo lalu, juga kedatangannya ke Istana Merdeka untuk memenuhi undangan Presiden Jokowi. Kader-kader utama Partai Demokrat juga sudah menebar wacana pemulihan dan rekonsiliasi di media massa dan media sosial. Sayangnya, sikap “move on” ini belum bisa diteladani pihak-pihak yang masih terjebak kompetisi Pilpres 2019. Tentunya, Partai Demokrat tidak bisa sendirian dalam ikhtiar pemulihan dan rekonsiliasi bangsa ini. Dibutuhkan dukungan dari sebagian besar rakyat Indonesia sehingga bangsa kita tetap berdiri secara aman, damai, rukun dan bersatu. Insya Allah... (*)

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler