x

Iklan

Febrianto Edo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2019

Jumat, 24 Mei 2019 18:33 WIB

Menimbang Etika Bermedia Sosial


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tak dapat dipungkiri, media sosial sebagai alat komunikasi sering disalahgunakan untuk menyebarkan hoaks, fitnah, maupun ujaran kebencian untuk tujuan tertentu. Saban hari, media sosial salah satu instrumen mengaduk-aduk emosi publik maupun akal sehat.

Tujuan penyebar hoaks, fitnah tidaklah berdiri sendiri. Ada tendensi atau motif dibalik penyebaran kebohongan, entah itu motif politik, ekonomi, ideologi, dan sosial-kultural.

Pesta politik lima tahunan, baik pilpres maupun pileg serentak sudah usai. Tensi tinggi tebar wacana, dan framing di media sosial terus bergulir. Klaim kemenangan mewarnai dinding media sosial. Klaim kemenangan sah sah saja dalam era demokrasi, tetapi harus berbasis data, metodologi ilimiah sebagai acuan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adanya wacana, saling klaim antar pendukung calon presiden dan wakil presiden, membuat banyak publik pesakitan. Pesakitan publik diakibatkan oleh tingkah laku elit yang tidak memberikan informasi apa adanya, tetapi provokasi seperti people power misalnya.

Masyarakat diarahkan untuk tidak percaya terhadap Komisi Pemilihan Umum, sebagai penentu kemenangan, dimana diatur dalam Undang-Undang yang berlaku. Hoaks dan framing menghiasi media sosial guna mendegradasi KPU dan Bawaslu. Akal sehat publik diatur dengan pola algoritma secara terus menerus, sehingga tingkat kepercayaan publik akan adanya kecurangan pun semakin besar.

Akademisi, pengamat maupun aktivis menguraikan bahaya hoaks, hate speech, dan sara di Indonesia. Di mana, mereka menjelaskan cukup dalam dengan studi kasus akademis akan bahaya hoaks. Teknologi informasi, utama media sosial memang memiliki dua sisi, baik manfaat dan mudarat. Tetapi, membuat saya berpikir, bagaimana pesatnya teknologi informasi didukung dengan proses etika dalam algoritma?

Yang pada intinya, menggugat teknologi informasi yang bermoral. Informasi yang menjunjung tinggi etika dan moralitas, pasti memiliki nilai kebenaran, akurasi dan faktualitas suatu informasi. Adanya mesin robot, konsekuensi pesatnya kemajuaan teknologi. Membuat saya berpikir ulang, mungkinkah robot lebih bermoral daripada manusia?

Ruang gema (echo chamber) media sosial sebagai alat komunikasi ideal bagi masyarakat baik berbagi ide, gagasan, foto maupun video. Komunikasi maya atau online  mengembangkan interaksi dan kolaborasi antara masyarakat maya. Dengan demikian, media sosial akan memungkinkan mengubah sikap dan perilaku masyarakat.

Sehingga, kita menemukan media sosial memiliki efek yang positif dan negatif. Positif, apabila media sosial menjadi ajang adu argumentasi, dan sarana dialog yang terbuka. Berakibat negatif, apabila media sosial menjadi ajang menyebar hoaks, fitnah terhadap satu sama lain yang berakibat fatal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ruang Gema Medsos

Peran sosial media dalam membangun persepsi masyarakat, perlu dilihat sebagai konsekuensi logis, pesatnya perkembangan teknologi, terutama pasca hajatan politik berlangsung. Mengkaji peran media sosial, baik Facebook dan Twitter mempengaruhi aktivisme politik. Dengan kata lain, untuk menilai tingkat pemberdayaan karena kesadaran melalui media sosial dan bagaimana media sosial berpengaruh besar terhadap keputusan politik.

Melek media sosial bisa mempengaruh paradigma masyarakat, terutama pasca pemilu, pilpres serentak. Untuk memahami muncul peran media sosial, dalam aktivisme politik dan peran signifikan media sosial, akan arus informasi yang begitu pesat perkembangannya.

Seperti Facebook misalnya, algoritma yang diterapkan media sosial secara otomatis sesuai dengan konten kesukaan atau selera pengguna. Dimana, unfolow dan unfriend menjadi gambaran jelas adanya kepincangan. Kepincangan itu, selaras dengan opsi algoritma yang membentuk afiliasi kelompok yang sesuai pandangan pengguna bersangkutan.

Sehingga, pengguna pun saban hari, mengonsumsi informasi yang sudah diatur oleh algoritma. Tidak salah, kita menemukan polarisasi wacana masyarakat maya di media sosial, berkelindan dengan selera pengguna.

Seyogyanya, perkembangan teknologi harus didukung oleh sumber daya manusia, untuk menyambutnya. Jikalau tidak didukung sumber daya manusia yang memadai maka, akan menjadi pisau bermata dua bagi penggunanya.

Kecerdasan teknologi akan menggelinding informasi dengan cepat, bahkan mungkin robot akan menjadi penggerak bukan lagi manusia. Dengan kata lain, mesin robot akan menjadi pekerja baru di arus informasi. Pertanyaannya, mungkinkah robot lebih bermoral ?

Teknologi Moralitas

Pada awal revolusi teknologi informasi, Richard Mason menyarankan  perubahan teknologi informasi mendatang akan memerlukan pemikiran ulang tentang kontrak sosial (Mason 1986). Teknologi informasi berubah dengan cepat, karena semburan informasi, setiap  menit bahkan detik disuguhkan. Hal ini, sulit untuk mencoba, bagaimana efek dan dampak moral dari masing-masing. Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, bagaimana hoax, hate speech, sara menjadi jamuan masyarakat maya. Yang menyebabkan, kohesivitas kehidupan berbangsa menjadi terganggu.

Pilpres Amerika Serikat sebagai contoh (baca; Wikileaks). Kalimat provokatif yang dilayangkan Yuval Noah Harari, "siapa yang memenangkan perlombaan A1?". Lebih lanjut, Harari mengatakan laporan cambridge Analyica telah melakukan hal itu, dengan data pemilih Amerika. Benar, apa yang dikatakan Virilio bagaimana dromologi- kecepatan menentukan. Sehingga terbitlah disruptif atau post truth itu sendiri di media sosial.

Kenyataannya, perubahan ini begitu cepat dan penting, menyebabkan beberapa orang berpendapat bahwa, kita perlu mempertanyakan proses etika dalam pengembangan teknologi (Moor 2008). Karena, sifat teknologi informasi yang mengubah kemampuan kita untuk sepenuhnya memahami nilai-nilai moral. Bagaimana kita melihat, orang dengan gampangya mencaci maki di medsos, dan mencela kepala negara dan institusi negara dengan kata-kata tak bermoral, minim argumentasi.

Banyak teknologi informasi, dimana komputer dirancang menyelesaikan pekerjaan lewat mesin universal, sehingga, boleh diprogramkan untuk meniru bentuk teknologi informasi. Informasi yang kita dapat ke depan, bisa saja hasil analisis mesin robot. Analisis mesin robot adalah gudang informasi yang akan dipakai sebagai senjata pamungkas.

Alhasil, kita akan melihat tidak hanya bagaimana teknologi informasi berdampak pada intuisi moral kita, tetapi juga bagaimana itu mungkin merubah sifat dari penalaran moral. Sehingga, kita akan melihat informasi sebagai teknologi moralitas. Apalagi, pesatnya perkembangan teknologi, program aplikasi dan robot dapat berinteraksi dengan kita secara lebih bermoral dan dapat diterima.

 

Nama: Damianus Febrianto Edo, Studi Komunikasi IISIP Jakarta, Aktif Menulis Literasi Media

Nomor Hanphone: 081298250085

 

 

Ikuti tulisan menarik Febrianto Edo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler