x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 29 Mei 2019 15:45 WIB

Cendekiawan dan Pesona Kekuasaan

Pada mulanya, kaum cendekiawan terpikat oleh kekuasaan karena memercayai bahwa kekuasaan adalah sarana untuk memperbaiki keadaan masyarakatnya. Namun sebagian cendekiawan malah menggunakan kecerdasannya untuk memperkuat kekuasaan dan melemahkan rakyat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Kekuasaan senantiasa menawan banyak orang, tak terkecuali kaum cendekiawan. Dalam sejarah Indonesia, kaum cendekiawan berperan dalam pergerakan nasional, perjuangan kemerdekaan, hingga mengisi alam Indonesia merdeka. Sebagian kemudian memilih untuk berada di luar urusan politik praktis, sebagian lainnya menempuh jalan politik untuk menyejahterakan rakyatnya.

Tujuan awal berkuasa umumnya mulia, namun selangkah demi selangkah para penghuni ruang kekuasaan mulai menikmati rasanya menjadi orang berkuasa. Lagi-lagi, tak terkecuali kaum cendekiawan. Sebagian mampu melepaskan diri dari perangkap pesona kuasa, lainnya terjerembab lebih dalam dan menjadi abdi kekuasaan—secara sadar ataupun tidak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada mulanya, kaum cendekiawan terpikat oleh kekuasaan karena memercayai bahwa kekuasaan adalah sarana untuk memperbaiki keadaan masyarakatnya. Mereka terpikat dan percaya kepada demokrasi model Barat, kepada pembagian peran dan kewenangan dalam mengatur pemerintahan, dan kepada cita-cita bersama.

Berbekal moral sebagai cendekiawan yang percaya kepada kejujuran dan keadilan sebagai budi baik yang diperlukan untuk kemanusiaan, mereka maju ke dunia politik. Berbekal pengetahuan dan keilmuan, mereka bertekad mewujudkan apa yang sudah mereka baca dan pelajari dari buku-buku tentang kemanusiaan, keadilan, dan seterusnya.

Ketika menyaksikan pemerintahan otoriter, kaum cendekiawan di manapun ingin menggantinya dengan model demokrasi yang mereka anggap lebih baik. Setelah rezim berganti, dengan bergabung ke dalam pemerintahan yang baru dan arena kuasa lainnya—legislatif maupun yudikatif—kaum cendekiawan merasa akan mampu memperbaiki praktik-praktik kekuasaan dari dalam.

Semula, dengan berada di luar kekuasaan, kaum cendekiawan merasa dapat terlihat lebih bersih ketimbang yang berada di dalam dan yang mereka kritik. Mereka dipuji-puji oleh awam karena kecerdasan dan keberanian mereka dalam mengritik kekuasaan. Lantaran itu, banyak awam berharap, jika cendekiawan masuk ke dalam pemerintahan ataupun legislatif ataupun yudikatif, kekuasaan di wilayah masing-masing akan berjalan lebih baik. Sebagian cendekiawan memang tidak ingin berhenti hanya menjadi pengamat dari luar yang sesekali mengritik ketidakadilan, salah urus, penyalahgunaan wewenang, hingga suap dan korupsi. Mereka ingin terjun ke dalamnya dan mengubah dari dalam, begitu kata mereka.

Awam berharap hidup mereka akan lebih sejahtera karena ekonomi diurus oleh ahlinya—ekonom yang punya kecerdasan dan keberpihakan kemanusiaan, hukum akan berjalan lebih adil—sebab para ahli hukum jadi hakim yang bijak dan merancang undang-undang yang mengayomi masyarakat, dunia politik akan lebih jujur serta lebih menyuarakan kepentingan rakyat karena cendekiawan mendirikan partai politik.

Namun, kekuasaan bekerja dengan logikanya sendiri serta daya pikat luar biasa yang membuat banyak orang, tak terkecuali cendekiawan, tunduk kepadanya. Cendekiawan baik-baik bisa berubah menjadi penguasa yang tak lagi peduli kepada nasib orang kecil. Sebagian mereka akan bersiasat di gelap malam untuk memunggunggi rakyat. Mereka tidak ragu lagi bersekutu dengan orang-orang yang sebelumnya mereka kecam. Mereka terperangah melihat betapa luas akses yang mereka peroleh kepada sumber-sumber ekonomi. Belum lagi penghormatan yang mereka peroleh sebagai orang pintar yang sedang berkuasa. Kekuatan wewenang membuat mereka kaget, betapa kekuasaan memungkinkan ‘saya’ mengubah nasib orang lain, membuat orang lain takut dan cemas, dan membuat orang lain tunduk.

Tidak mudah menampik pesona kuasa, cendekiawan sekalipun tidak. Betapa banyak cendekiawan, termasuk para aktivis sosial yang gemar mengritik kekuasaan ketika masih berada di luar, kemudian senyap suaranya. Jabatan staf ahli, direktur, komisaris, ataupun penulis pidato telah membuat mereka tersenyum setiap hari sekalipun kekuasaan yang ia kini berada di dalamnya tetap berjalan seperti yang dulu-dulu juga.

Masuknya cendekiawan ke dalam kekuasaan memang tidak serta merta mengubah kekuasaan jadi lebih baik. Ketika  rezim yang mereka topang melakukan tindakan yang dulu mereka kecam, sebagian cendekiawan ini memilih untuk tidak bersuara dan berpura-pura tidak tahu-menahu. Mereka diam menyaksikan ketidakadilan yang dulu mereka kritik dan telah menjadikan mereka bak pahlawan.

Sebagian cendekiawan bahkan menggunakan kecerdasannya untuk memperkuat kekuasaan dan melemahkan rakyat. Mereka menyusun undang-undang dan peraturan yang semakin membatasi gerak rakyat. Pengetahuan teknologi mereka gunakan untuk memata-matai rakyat. Kecerdasan mereka gunakan untuk mengabdi kepada kekuasaan dan membuat pembenaran-pembenaran. Moral kecendekiaan mereka tergerus oleh pesona kekuasaan dan takluk kepada realitas politik dan logika kekuasaan. Mereka tidak lagi canggung menjadi bagian kekuasaan dan bahkan membenarkan praktik-praktik kekuasan yang dulu mereka kecam. Mereka telah mengasingkan diri dari pergaulan dengan kaum awam yang dulu mereka bela. Mereka asyik dan tenggelam dalam kubangan kuasa. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler