x

Iklan

Mouhamad Bigwanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Mei 2019

Senin, 3 Juni 2019 07:24 WIB

Merokok ‘Menyembuhkan’ BPJS

PRD) untuk menambal defisit dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bukan tanpa resiko. Kebijakan ini berpotensi menimbulkan efek negatif seperti potensi bertentangan dengan aturan lain dan dapat menormalisasi kembali perilaku merokok di masyarakat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penggunaan Pajak Rokok Daerah (PRD) untuk menambal defisit dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bukan tanpa resiko. Kebijakan ini berpotensi menimbulkan efek negatif seperti potensi bertentangan dengan aturan lain dan dapat menormalisasi kembali perilaku merokok di masyarakat.

Setelah kebijakan pajak rokok untuk menanggulangi defisit BPJS diputuskan oleh pemerintah lewat Peraturan Presiden 82/2018, timbul anomali berupa rasa bangga yang diungkapkan oleh perokok di berbagai media. Bahkan ada tokoh organisasi masyarakat yang langsung menganjurkan masyarakat untuk merokok.

Timbulnya cara berpikir mesyarakat seperti itu tidak sepenuhnya salah. Silogisme cara berpikir rakyat memang sangat sederhana. BPJS tidak punya uang, dibayari pajak rokok. Pajak rokok dibayar perokok, maka merokok dapat membantu BPJS. Sesederhana itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beda Cukai dan Pajak Rokok

Istilah pajak rokok dibeberapa negara di dunia dikenal dengan nama Sin Tax, atau Pajak Dosa, umumnya dikenakan pada dua produk yaitu tembakau dan alkohol. Penggunaan istilah ini untuk menekankan bahwa sebesar apapun sumbangan yang diberikan akibat dari konsumsi barang tersebut, perbuatannya tetap harus dihindari karena dapat merugikan orang lain.

Terjemahan pajak dosa adalah cukai, dikelola dan milik pemerintah pusat, sebagian dikirim ke daerah penghasil cukai produk tembakau sebasar 2% dalam bentuk dana bagi hasil cukai hasil tembakau. Sementara pajak rokok daerah adalah dana milik daerah yang dipungut oleh pemerintah pusat, diambil 10% dari cukai rokok, dan milik pemerintah daerah.

Cukai rokok hanya dinikmati oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah penghasil cukai produk tembakau. Sementara pajak rokok merupakan kompensasi kepada setiap daerah atas dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan produk hasil tembakau di wilayahnya, sehingga alokasinya sesuai dengan jumlah penduduk di setiap daerah. Dengan asumsi setiap orang terkena dampaknya dan perlu diberikan kompensasi.

Tidak Sesuai Aturan Lain

Peraturan Presiden 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan mengalokasikan 75% dari 50% dana pajak rokok untuk kesehatan untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pasal 31 UU 28/2009 tentang Pendapatan Daerah dan Retribusi Daerah dengan jelas menyatakan bahwa 50% dana pajak rokok digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.

Dalam pasal 53 ayat 2 UU 36/2009 tentang Kesehatan menyebutkan, pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat, atau upaya promotif dan preventif.

Berbeda dengan definisi pelayanan kesehatan perseorangan pada pasal 53 ayat 1 UU 36/2009, yaitu pelayanan kesehatan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga (kuratif dan rehabilitatif). Sehingga alokasi dana pajak rokok daerah ke BPJS yang digunakan untuk kuratif dan rehabilitatif bertentangan dengan Pasal 31 UU 28/2009 dan Pasal 53 ayat 2 UU 36/2009.

Tidak etis

Hampir semua ekonom dan ahli kesehatan masyarakat sepakat bahwa defisit ini paling utama dikarenakan iuran yang terlalu rendah. Sudah bukan rahasia bahwa penetapan iuran BPJS lebih mempertimbangkan aspek politis dibanding hitungan ekonomi aktuaria, terlebih menghadapi tahun politik di 2019.

Jika kecilnya iuran adalah penyebab dari defisit, sementara yang menentukan besarnya iuran adalah pemerintah pusat, lalu mengapa pemerintah daerah harus ikut bertanggungjawab untuk menanggulangi defisit JKN?

Gagalnya program kesehatan yang sifatnya promotif dan preventif memperparah situasi. Jumlah pengeluaran terbanyak BPJS sebesar 21,8% diantaranya untuk penyakit-penyakit katastropik. Penyakit yang sebagian besar bisa dicegah dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat, termasuk tidak merokok.

Sebagian besar program pengendalian tembakau adalah wewenang pemerintah pusat, mulai dari larangan iklan, sponsor dan promosi rokok di media penyiaran dan elektronik, pengenaan tarif cukai maksimal dan peringatan kesehatan bergambar yang optimal. Jika ini dilakukan, maka akan efektif menekan jumlah perokok dan biaya penyakit akibat rokok.

Dampaknya

Menggunakan dana pajak rokok daerah untuk JKN dapat mengurangi dana promosi kesehatan di daerah yang menjadi ujung tombak menanggulangi penyakit katastropik. Termasuk upaya pengendalian tembakau yang sampai saat ini masih terseok-seok.

Selain itu, padangan tentang rokok di masyarakat bisa berubah menjadi positif. Tidak bisa dipungkiri BPJS sudah jadi fenomena luar biasa semenjak hadir untuk masyarakat, karena manfaatnya yang terasa orang semua pihak. Sehingga siapapun yang bisa membantu BPJS, maka dia adalah pahlawan.

Penggunaan dana ini juga punya potensi ditolak dan digugat oleh pemerintah daerah, sehingga akan menyebabkan ketidakpastian alokasi dana bagi BPJS, tentunya akan merugikan baik dari kelancaran program JKN maupun kredibilitas pemerintah.

Keputusan pemerintah untuk segera menutup defisit anggaran JKN tidak bisa dihindari. Karena dalam keadaan darurat seperti kebakaran, air apapun memang harus kita pakai untuk memadamkan api. Tapi merencanakan rumah kita kebakaran setiap tahun tentunya salah.

 

Mouhamad Bigwanto

Wasekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

Ikuti tulisan menarik Mouhamad Bigwanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu