x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 14 Juni 2019 14:25 WIB

Apakah Utuy Tatang Sontani Seorang PKI?

Karya-karya Utuy Tatang Sontani saat di pengasingan yang menggambarkan siapa beliau yang sesungguhnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Di Bawah langit Tak Berbintang - Memoar Utuy Tatang Sontani

Penulis: Utuy Tatang Sontani

Tahun Terbit: 2018

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Pustaka Jaya

Tebal: 150

ISBN: 979-419-283-X

 

Di tangan seorang sastrawan, kisah-kisah sehari-hari bisa menjadi sebuah bacaan yang menyenangkan sekaligus menuntut perenungan. Tulisan-tulisan reflektif dari Utuy Tatang Sontani yang ditulisnya saat menjadi exile di Tiongkok, Belanda dan kemudian Moscow dikumpulkan oleh Ajip Rosidi dalam sebuah buku berjudul “Di Bawah Langit Tak Berbintang.” Judul buku ini menggunakan salah satu judul tulisan Utuy Tatan Sontani yang menggambarkan bagaimana nasipnya dan nasip para exile saat mereka hidup di sebuah pemukiman yang disediakan oleh pemerintah Tiongkok. Para anggota PKI yang datang ke Beijing untuk memeringati HUT Partai Komunis China tahun 1965, terpaksa tidak bisa/berani kembali ke Indonesia. Mereka ditampung oleh Pemerintah Tiongkok dan ditempatkan di sebuah pemukiman yang dijaga ketat. Pengalaman sehari-hari para exile inilah yang ditulis oleh Utuy Tatang Sontani. Tulisan yang sungguh sastrawi dan membuat saya merenungi apa konsekuensi dari sebuah keputusan.

Buku ini disusun oleh Ajip Rosidi berdasarkan karya yang ditinggalkan oleh Utuy Tatang Sontani. Karya-karya tersebut diantaranya diberikan oleh Denys Lombard. Karya-karya tersebut ada yang tidak jelas kapan ditulis oleh Utuy Tatang Sontani. Beberapa ada yang bertanggal. Tetapi karya-karya tersebut ditulis saat Utuy Tatang Sontani berada di pengasingan; di Tiongkok, Belanda dan Moscow.

Tulisan-tulisan tersebut adalah: (1) Mengapa Mengarang, (2) Haru yang tak Kunjung Kering, (3) What is a name dan (4) Di Bawah Langit Tak Berbintang. Keempat tulisan ini sepertinya sebuah petilan hidup sang pengarang. Namun bahkan Ajip Rosidi, yang mengumpulkan tulisan ini, tidak yakin bahwa keseluruhan tokoh yang ada adalah benar-benar ada. Mungkin sebagian dari tokohnya adalah rekaan Utuy Tatang Sontani. Jadi tidaklah jadi soal, apakah keempat karya tersebut memoir, otobiografi atau sekedar novel. Memoar, otobiografi atau novel yang penting mesti dilontarkan biar gemerlapan di gelap malam.

Bagian pertama yang terdiri dari tiga tulisan membahas mengapa Utuy Tatang Sontani mengarang. Utuy menjadi pengarang karena asmara yang tak sampai. Dalam tulisan “Mengapa Mengarang” Utuy Tatang Sontani menggambarkan perjalanan kepengarangannya dari sejak muda di Cianjur, saat di Bandung dan setelah dewasa. Perkenalannya dengan seorang Wartawan - yang adalah paman dari gadis yang dipujanya, membuat ia tidak suka kepada penjajah Belanda. Utuy Tatang Sontani menjelaskan bahwa awal mulanya ia menjadi pengarang adalah karena cintanya kepada gadis di sebelah rumah tidak tersampai. Ia memilih nama Sontani sebagai nama samaran, karena ia kagum dengan tokoh Sontani dalam buku “Pelarian Dari Digul” yang didapat dari paman di gadis yang adalah seorang wartawan tersebut. Ia suka dengan nama penanya “Utuy Tatang Sontani” yang menurutnya sangat melodis.

Asmara sebagai pemicu kepengarangannya, dituangkan lebih detail dalam karya kedua “Haru yang tak Kunjung Kering.” Pertemuannya dengan seorang perempuan keturunan Belanda-Sunda bernama Onih, yang menjadi PSK membuat pemahamannya tentang cinta lebih mendalam. Ia sangat terkesan atas perhatian Onih kepada dirinya. Cinta Onih kepadanya bukanlah sebuah upaya untuk memilikinya. Bahkan saat Utuy mencarinya, Onih menghilang. “Apa dan siapa Onih itu, asal kau teliti memeriksanya, akan kaujumpai dia dalam berbagai karanganku,” ungkapnya (hal. 54).

What is a Name” mengisahkan pertemuannya dengan Aidit di jaman Jepang. Pertemuan yang kemudian berkembang menjadi pertemanan itulah yang membawa Utuy Tatang Sontani masuk menjadi calon anggota PKI. Utuy bergabung ke partai bukan untuk mengendarai partai untuk kepentingannya. Ia bergabung ke partai karena partai membutuhkannya. Ia seorang pengarang terkenal, sehingga ia bisa memberikan sesuatu kepada perjuangan partai. Bukan sebaliknya. Ia mengritik keras orang-orang yang bergabung ke partai untuk kepentingannya sendiri. Ia mengecam mereka-mereka yang mencari mukti mengendarai partai. Jadi, Utuy Tatang Sontani justru masuk partai karena ingin menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan partai.

Bagian kedua buku ini yang hanya terdiri dari satu tulisan, yaitu “Di Bawah Langit Tak Berbintang.” Bagian ini secara rinci mengisahkan kehidupan Utuy Tatang Sontani saat di Tiongkok. Utuy Tatang Sontani berangkat ke Tiongkok untuk berobat atas fasilitas yang disediakan oleh Aidit. Namun sayang, saat ia berada di Tiongkok terjadi huru-hara politik di Indonesia. Utuy tak bisa pulang ke Indonesia. Ia bersama dengan para anggota PKI yang saat itu sedang ada di Beijing yang sedang menghadiri perayaan ulang tahun Partai Komunis Tiongkok. Meski tujuannya ke Beijing berbeda – Utuy ke Beijing untuk berobat, namun ia kemudian ditempatkan di sebuah kamp di luar Kota Beijing bersama dengan para anggota PKI tersebut.

Utuy mengisahkan betapa kehidupan para exile ini sangat menyedihkan. Mereka telah kehilangan akal sehat karena terkena doktrin pemujaan kepada Ketua Mao. Banyak dari mereka yang menjadi stres dan bahkan gila.

Tentang apakah Utuy Tatang Sontani anggota PKI atau tidak, Ajip Rosidi membahasnya cukup mendalam dalam pengantar. Menurut Ajip Rosidi, Utuy adalah seorang indivisualis murni. Ia menentang kebiasaan-kebiasaan yang dianut oleh kebanyakan orang. Utuy memang tertarik kepada komunisme, tetapi dia belum menjadi anggota PKI. Meski harus diakui bahwa Utuy Tatang Sontani sempat membuat dua naskah sandiwara berjudul “Si Kampeng” dan “Si Sapar,” yang berisi propaganda “Tujuh Setan Desa dan Setan Kota” namun bukti-bukti lain dalam berkesenian, Utuy tetap menunjukkan sebagai seorang individualis. Upaya mementaskan Sang Kuriang yang individualis dalam HUT PKI tahun 1964 – pementasan gagal, adalah sebuah bukti bahwa meski Utuy masuk Lekra, ia tetap seorang individualis. Demikianlah kesimpulan Ajip Rosidi tentang Utuy Tatang Sontani.

Bagaimanapun Utuy Tatang Sontani adalah salah satu sastrawan berbakat yang pernah dimiliki oleh Indonesia.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler