Kasak-kusuk mengenai siapa yang bakal duduk di kabinet baru presiden terpilih Joko Widodo sudah beredar. Namanya juga kasak-kusuk, daftar nama dan jabatan itu belum bisa dijadikan pegangan. Entah benar, entah tidak. Bahkan, seandainya pun benar, bisa saja daftar itu berubah lagi dari waktu ke waktu. Hari masih panjang menjelang pengumuman kabinet Jokowi, bahkan presiden pun belum dilantik. Jangankan calon menteri, calon wapres saja dapat berubah dengan sangat cepat.
Nama-nama yang kini beredar bisa berubah kapan saja. Yang lama mungkin ada yang dipertahankan, yang baru ditunggu-tunggu. Alih-alih membicarakan nama-nama, lebih produktif bila berbicara tentang kriteria—walaupun sebenarnya inipun sudah kerap diutarakan setiap kali presiden hendak membentuk kabinet.
Orang suka berkutat pada dua pilihan: profesional atau orang partai. Dari dulu orang berdebat tanpa ujung pangkal. Yang satu bilang, lebih baik diisi orang-orang profesional. Yang lain berkata: orang partai juga ada yang profesional, maksudnya menguasai kompetensi bidang tertentu. Akhirnya, semuanya kembali kepada Presiden, wakilnya, elite partai, dan entah siapa lagi yang menentukan nama-nama menteri.
Pilihan ini sebenarnya tidak selalu dikotomis, seorang profesional mungkin saja jadi anggota partai, atau setidaknya punya ‘ikatan batin’ dengan elite partai atau punya kecondongan pada partai tertentu. Elite partai lalu menjadi ‘mak comblang’ yang menyodorkan nama profesional ini kepada Presiden. Tentu saja tidak ada makan siang yang gratis. Suatu ketika bisa saja ‘mak comblang’ meminta balas budi kepada profesional tersebut. Dari sinilah persoalan bisa muncul.
Tapi memang benar ada elite partai yang ngebet duduk di kabinet dengan alasan apapun, termasuk sudah bekerja keras ‘memeras keringat’ untuk kemenangan partai maupun presiden terpilih. Walaupun orang-orang ini tidak punya kompetensi yang diperlukan, tapi jadi juga ia memakai pin menteri karena balas budi atas keringat yang sudah dikucurkan selama pencalonan. Lagi-lagi, dari sinilah muncul persoalan.
Bukan hanya kompetensi, tapi integritas seseorang yang disodorkan kepada Presiden menjadi unsur penting, bahkan mungkin yang terpenting. Beberapa menteri, termasuk dari kabinet SBY, tersandung kasus yang menyebabkan mereka berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK]. Ini karena faktor integritas yang tidak sanggup menjadi benteng tangguh terhadap godaan kekuasaan.
Pola rekrutmen menteri atas pertimbangan balas budi memang berisiko dihadapkan pada persoalan semacam itu. Begitu pula dengan penunjukan orang-orang yang dianggap berjasa dalam pencapresan untuk menempati posisi-posisi strategis di berbagai institusi maupun perusahaan. Apabila unsur integritas dan kompetensi bukan jadi pertimbangan utama dalam penunjukan, tinggal menunggu waktu persoalan akan bermunculan. Akankah hal ini berulang menjelang pembentukan kabinet beberapa bulan mendatang, yang kabarnya pembicaraannya akan dimulai Juli ini? Jangan sampai KPK harus turun tangan untuk bersih-bersih karena salah orang salah tempat. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.