x

Iklan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 5 Juli 2019 14:53 WIB

Yang Tak Diduga dari Budak

Sebagian tuan menganggap seorang budak adalah seorang manusia yang sudah tertaklukan sehingga tidak mungkin untuk melakukan perlawanan. Kenyataannya ada yang tak di duga dari budak ketika ia memberikan perlawanan..

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pemberontakkan ada dan dilakukan manusia karena dunia ini tidak ideal. Di dunia ini ada yang menjadi tuan dan ada yang menjadi budak. Bagi orang-orang yang menjadi tuan, memberikan perintah adalah hak bahkan sekaligus kewajiban yang harus ia laksanakan atas nama kehormatan, kekayaan, moral atau nama apapun yang ia anggap telah membuatnya menjadi tuan dan bertahan sebagai tuan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hak dan kewajiban tuan tentu berbeda dengan budak. Bagi orang-orang yang menjadi budak, melaksanakan perintah jikapun tidak menjadi hak, paling tidak ia menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan atas nama terhindar dari kemiskinan, terhindar dari kelaparan, terhindar dari ancaman ketakutan dan kesakitan serta kematian, moral atau nama apapun yang ia anggap telah membuatnya menjadi budak; jika memungkinkan juga atas nama yang ia anggap mampu melepaskan diri dari kerasnya belenggu perbudakan.

Kehadiran tuan dan budak di dunia ini pasti. Hal ini berbeda dengan tentang siapa yang menjadi tuan dan budak. Meskipun seseorang terlahir dari rahim seorang tuan, seiring dengan perjalanan waktu dengan segala peristiwa yang terjadi di dalamnya, ia bisa saja berubah menjadi seorang budak. Begitu juga sebaliknya, meskipun seseorang terlahir dari rahim seorang budak, seiring dengan perjalanan waktu dengan segala peristiwa yang terjadi di dalamnya, ia bisa saja berubah menjadi seorang tuan.

Tuan dan budak adalah sebuah relasi yang tidak selalu terjalin karena kesadaran seseorang yang memang ingin dirinya menjadi budak, melainkan terjalin karena keterpaksaan. Keterpaksaan itu ada yang disebabkan penaklukan satu pihak atas pihak lainnya sehingga sebagai pihak yang kalah harus menjadi budak yang menang, dan ada juga keterpaksaan yang disebabkan oleh orang tua yang juga seorang budak.

Akibat relasi yang dibangun di atas landasan keterpaksaan ini membuat relasi ini begitu rapuh karena selalu berada dalam kondisi terancam. Bukan hanya budak yang merasa terancam dengan tindakkan yang mungkin akan dilakukan oleh tuan kepada sang budak, sang tuanpun juga dapat merasa terancam dengan tindakkan yang mungkin akan dilakukan sang budak padanya.

Keadaan sama-sama terancam itu sebab tuan dan budak bagaimanapun sama-sama manusia sehingga sama-sama dibekali potensi untuk melakukan perbuatan yang jahat dan sadis, perbedaan mereka hanya terletak pada posisi yang tidak kekal itu, didapatkan karena penaklukan atau karena pemberian orang tua masing-masing.

1.

Nusantara sebagai sejarah adalah salah satu negeri yang dapat secara gamblang menunjukkan kepada kita betapa saling mengancamnya relasi diantara tuan dan budak.  Meskipun secara umum perbuatan yang jahat dan sadis sebagian besar dilakukan oleh sang tuan kepada budak-budaknya, tapi itu tidak dapat menutupi kenyataan bahwa perbuatan jahat dan sadis juga dapat dilakukan oleh sang budak kepada tuan-tuannya. Walaupun tidak banyak peristiwa seperti itu, tapi yang sedikit itu dapat menimbulkan rasa ngeri yang menghantui hati para majikan.

Selain karya Multatuli yang berjudul Max Havellar, sebenarnya ada satu karya sastra lagi yang sangat berpengaruh di dunia tentang penyiksaan bangsa belanda terhadap bangsa Nusantara yaitu kraspoekol of de droevige gevolgen eener te verre gaande strengheid jegensde slaaven (1780) karya Willem van Hogendorp. Pada tahun 1800, anak Hogendorp menyingkat judulnya menjadi Kraspoekol of Slavernij.  Berbeda dengan Max Havellar yang merupakan karya sastra dalam bentuk novel, kraspoekol adalah karya sastra dalam bentuk drama setebal 43 halaman.

Nyonya Kraspoekol akan memukul dengan keras budak-budaknya apabila ia lihat mereka tidak bekerja dengan baik atau apabila ia sedang merasa dan berpikir ingin melakukan kekerasan terhadap budak-budaknya dengan sengaja mencari-cari, membesar-besarkan, membuat-buat kesalahan yang dilakukan pada budak-budaknya. Di hadapan nyonya kraspoekol, kepemilikannya atas budak-budak itu sama seperti kepemilikannya atas benda-benda mati, ia dapat berbuat apa saja terhadap mereka dengan atau tanpa alasan.

Sebagai tuan (sebenarnya hanya saudari pemilik rumah) yang memiliki, nyonya kraspoekol bahkan merasa berhak bila ia ingin membunuh budaknya sendiri. Hak tersebut benar-benar dipakai olehnya sehingga budak perempuannya yang bernama Tjampaka ia bunuh dengan cara membakarnya. Hukuman dan kematian itu ternyata dianggap bukan hanya tentang Tjampaka, tapi juga tentang budak-budak lainnya. Bukan hanya tubuh Tjampaka yang merasakan sakit dan panasnya api yang perlahan-lahan menghanguskannya, melainkan juga tubuh-tubuh budak-budak lainnya yang menonton panggung kesadisan itu.

Tjampaka sebagai budak memang telah mati, tapi budak sebagai golongan belum mati – masih ada budak-budak lainnya yang masih punya pilihan antara menerima atau membalas tindakan nyonya kraspoekol dan mandornya itu. Rupanya ada diantara budak-budaknya itu yang lebih suka memilih untuk membalas tindakkan keras dan keji majikannya tersebut. Dengan sebilah keris di tangan, sang budak itu menikamkannya ke tubuh nyonya kraspoekol dan mandornya, seketika merekapun mati, terkapar, bersimbah darah.

2.

Membaca ataupun menonton drama Kraspoekol of Slavernij  karya Willem van Hogendorp ini, barangkali ada yang berpikir bahwa tindakkan sang budak menikamkan keris ke tubuh nyonya kraspoekol dan mandornya itu hanyalah sebuah tindakkan balas dendam. Sebagian yang lain barangkali berpikir drama itu tentang pemberontakkan seorang budak terhadap tuannya. Dua-duanya benar, tapi Albert Camus menawarkan penilaian yang lebih mendalam.

Bagi Albert Camus, tindakkan itu lebih dari hanya sekadar tentang amarah, dendam dan pemberontakkan. Di hadapan Camus, apa yang dilakukan sang budak itu adalah tentang “ada” atau “eksistensi” manusia itu sendiri. Dengan penilaian itulah Camus melahirkan salah satu dictum yang paling terkenal dalam sejarah dunia, khususnya Perancis. Ia berkata: I rebel, therefore I exist – aku memberontak, maka aku ada.

Untuk seseorang yang menjadi budak, seseorang yang seumur hidupnya tidak pernah memerintah dirinya sendiri, seseorang yang seumur hidupnya selalu diperintah orang lain, Ada atau eksistensi pada dirinya sendiri tidak bisa dilihat. Dalam keadaan seperti itu, seseorang bukanlah dirinya, melainkan diri yang diinginkan, dipaksa orang lain dan untuk kepentingan orang lain  – dengan demikian ia tidak lagi otentik sebagai pribadi.

Eksistensi yang tenggelam dalam diri sang budak hanya dapat terlihat ketika ia memilih melakukan pemberontakkan. Ketika ia melakukan pemberontakkan itu, sebenarnya ia sedang berteriak pada yang memerintahnya selama ini bahwa dirinya ini bukanlah benda mati yang tidak punya indra, hati dan pikiran serta pilihan. Ia adalah makhluk hidup yang mempunyai indra, hati dan pikiran untuk membuat penilaian yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk memilih melakukan sebuah pemberontakkan.

Aku memberontak, maka aku ada, adalah dictum yang diteriakan Camus untuk menjelaskan fenomenana para pemberontak. Ketika seorang budak telah meneriakkan dengan tindakkannya dictum tersebut, maka ketika itu sebenarnya sang pemberontak juga sedang berteriak, cukup sampai di sini engkau memerintah dan menjadi tuanku,  menjadikan aku seperti yang kau inginkan sehingga diriku tidak otentik lagi di dunia ini.

Mulai saat ini, aku sendirilah yang akan memerintah diriku sesuai dengan apa yang ku inginkan. Hidup dan matiku serta segala sesuatu yang terjadi di dalamnya tidak lagi berdasarkan pilihanmu, melainkan didasarkan pilihanku sendiri. Lebih baik aku mati sebagai diri yang kuinginkan, ku bentuk sendiri dengan pilihan dan tanganku sendiri, daripada aku hidup sebagai diri yang kau inginkan dan kau bentuk dengan tanganmu itu.

3.

Di alam semesta ini, “kata Lao Zi”, ada empat besar. Salah satu dari empat besar itu adalah manusia. Dengan demikian bila kita terapkan falsafah manusia sebagai salah satu yang besar pada bab 29 DaoDe Jing, maka akan berbunyi:

“Bila ada yang berambisi menguasai manusia, aku kira ia tidak akan berhasil. Manusia (juga wadah karena roh bersemayam di sana) ini adalah wadah yang sakral, tidak mungkin dikuasai oleh siapapun. Orang yang melakukannya tidak bisa berhasil, bila dipaksakan juga pasti gagal……….Maka Sheng ren (orang bijak/suci) selalu menghindar dari perbuatan yang berlebihan. Melakukan pemborosan. Berbuatan yang ekstrem.”

~ Pekanbaru

 

 

Ikuti tulisan menarik lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu