Setelah bertarung habis-habisan dalam pemilihan presiden 2019, kedua tokoh nasional ini akhirnya bersalaman. Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya, Prabowo Subianto, bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Stasiun MRT Lebak Bulus, pada Sabtu, 13 Juli lalu. Keduanya naik kereta sampai Bundaran HI, lalu makan siang di sebuah restoran.
Kata rekonsiliasi sebetulnya salah kaprah untuk menggambarkan peristiwa itu. Pemilihan presiden bukanlah perang atau permusuhan, melainkan kompetisi politik. Tapi apapun istilahnya, yang jelas pertemuan itu bikin politik jadi adem.
Spekulasi politik kemudian berkembang jauh. Mungkinkah kubu Prabowo, terutama Partai Gerindra, akan bergabung dalam kabinet Jokowi? Apa pula untung ruginya bagi Prabowo dan partainya?
Keuntungan
Prabowo telah merasakan menjadi bagian dari penguasa di masa Orde Baru. Tapi Gerindra yang didirikannya pada 2008 belum pernah berkuasa di pemerintah pusat.
Adapun partai-partai lain seperti PDIP,Golkar, PKS, PAN, Partai Demokrat, PKB, PPP, sudah sering masuk kabinet. Partai Golkar, PKB, dan PPP bahkan selalu masuk pada lima kabinet pada era reformasi.
Salah satu faedah masuk kabinet adalah partai memiliki kesempatan menerapkan kebijakan yang menguntungkan konstituennya. Hanya, efek buruknya, kursi menteri sering pula disalahgunakan untuk mendapatkan sumber dana bagi partai, termasuk lewat cara korupsi.
Manfaat lain: memberikan pengalaman bagi kadernya. Sang kader lebih dikenal luas di level nasional, sehingga ia memiliki peluang untuk berlaga dalam kompetisi politik, termasuk pemilihan presiden.
Contoh yang menojol tentu saja Susilo Bambang Yudhoyono. Modal utama SBY memenangi pemilihan presiden 2004 adalah pengalaman dan popularitasnya saat berada di kabinet Megawati. Karir politik Jokowi pun meroket karena reputasinya kendati di pemerintah lokal. Ia merintis karir politik dari walikota, gubernur, dan akhirnya Presiden.
Kerugian
Sebagian politikus berpandangan bahwa masuk ke pemerintahan lebih menguntungkan ketimbang menjadi oposisi . Pendapat ini sebetulnya tidak sepenuhnya tepat dan bergantung pada karakter sebuah partai. Bagi partai seperti Golkar mungkin benar. Partai ini dan penyokongnya memang sudah lama terbiasa masuk dalam pemerintahan dan akan gagap jika menjadi oposisi.
Kurang pas juga jika katakan politik kita tidak mengenal tradisi oposisi. PDIP sebetulnya tumbuh dan besar karena menjadi oposisi di era Orde Baru. Di era pemerintahan SBY pun partai ini lebih banyak berperan sebagai oposan.
Kerugian partai oposan yang tiba-tiba menjadi pro pemerintah adalah kehilangan pendukungnya. Partai akan dianggap plin-plan. Ideologi dan program partai yang diperjuangkan dan mengikat penyokong seolah ditinggalkan demi kue kekuasaan. Gerindra harus siap dengan resiko ini jika partai ini benar-benar masuk kabinet.
Bersama dengan PKS, Gerindra termasuk partai penentang pemerintah yang suaranya naik dibanding pemilu sebelumnya. Gerindra memperoleh 11, 81 persen pada 2014, kini suaranya naik menjadi 12,57 persen. Adapun suara PKS naik dari 6,79 persen (2014) menjadi 8,21 persen (2019). Dukungan cukup besar ini bisa berantakan pada pemilu berikutnya jika kedua pertai tidak konsisten dalam berpolitik.
Menentukan percaturan 2024
Dalam lima tahun terakhir, peta politik kita diwarnai pertarungan Prabowo versus Jokowi. Prabowo mewakili kekuatan terutama Gerindra dan PKS. Adapun Jokowi disokong oleh PDIP dan sejumlah partai lain. Jika Gerindra masuk kabinet, peta politik berubah total.
Hampir semua partai akan berebut kursi menteri. Apalagi sebelumnya, Partai Demokrat juga merapat ke Jokowi. Kabinet Jokowi akan rawan konflik jika dijejali terlalu banyak partai politik sekaligus kepentingan. Perpecahan semakin mudah terjadi menjelang pemilu 2024.
Dalam peta politik seperti itu, partai yang sejak awal konsisten menjadi oposisi pemerintah boleh jadi lebih diuntungkan. ****
Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.