x

Iklan

Putu Suasta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Juli 2019

Rabu, 17 Juli 2019 19:29 WIB

Kearifan Lokal di Tengah Kepungan Turisme dan Budaya Urban, Belajar dari Banjar di Bali

Essai Kebudayaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Geliat pembangunan infrastruktur yang begitu masif dalam beberapa tahuan terakhir, terutama di sektor pariwisata, mendorong para pegiat budaya untuk semakin lantang menyuarakan pentingnya pelestarian kearifan lokal. Kepungan budaya urban di berbagai desa semakin terasa berkat perbaikan infrastruktur yang mempercepat lalu lintas manusia. Industri pariwisata kemudian mempercepat perbauran antara budaya urban dan budaya lokal. Jika tak diantisipasi dengan baik, gesekan kebudayaan dapat terjadi setiap saat dan bisa menjadi ekses paling negatif dari pembangunan.

Pidato Presiden Jokowi bertema Visi Indonesia baru-baru ini menegaskan kembali kelanjutan upaya-upaya pembangunan infrastruktur secara masif dan  peningkatan geliat industri termasuk pariwisata. Para budayawan menyambut baik pidato presiden seraya menekankan perlunya pembangunan dibarengi dengan upaya-upaya revitalisasi kearifan lokal. Dalam kaitan ini, banjar sebagai salah satu bentuk kearifan lokal di Bali dapat dijadikan contoh belajar. Banjar selama puluhan tahun terbukti mampu menjadi tulang punggung masyarakat dalam melestarikan pola kekerabatan dan interaksi sosial, adat istiadat dan budaya setempat di tengah kepungan budaya global yang dibawa oleh industri pariwisata. Namun banjar juga kini perlu dimodernisasi agar semakin selaras dengan gerak zaman. 

Struktur Banjar

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banjar merupakan komunitas tradisional yang memiliki struktur pengorganisasian sederhana namun tepat manfaat. Sebagaimana dasar-dasar organisasi pada umumnya yang memiliki ketua, sekretaris dan bendahara, banjar juga menerapkan dasar-dasar organisasi itu. Hanya saja, penamaan struktur kepengurusannya disesuaikan dengan budaya Bali, yakni ketua disebut kelihan (ada dua, yakni dari dinas untuk urusan administrasi pemerintahan; dari adat untuk urusan kegiatan keagamaan dan adat istiadat), penyarikan (sekretaris) dan petengen (bandahara). Tempat kegiatan administrasinya disebut bale banjar. Sementara untuk kegiatan yang lebih besar, para warga memanfaatkan wantilan. Tapi tidak setiap banjar memiliki wantilan, terutama banjar-banjar di kota. 

Selain struktur pokok organisasi itu, banjar memiliki beberapa lagi kelompok-kelompok kecil di bawahnya, biasanya dua kelompok yaitu sekaa teruna, semacam karang taruna dan kelompok PKK. Itulah struktur organisasi yang ada di banjar-banjar di Bali pada umumnya saat ini. Jika berkembang kelompok-kelompok lain lagi seperti sekaa manyi (kelompok memanen padi), sekaa tuak (kelompok peminum tuak), sekaa pesantian (kelompok kidung) dan lain-lain, itu hanya tambahan yang boleh ada boleh tidak. 

Di masa lalu, bale banjar adalah ‘pusat rekreasi’ selain sebagai tempat penyelenggaraan administrasi, terutama di desa-desa, bale banjar bisa menjadi tempat serbaguna. Ia bisa menjadi tempat berlatih menari dan menabuh, pementasan drama gong, arja, pertunjukan topeng, arena tajen, penyelanggaraan bazar dan sebagainya. Sementara di luar kegiatan penting sehari-hari , bale banjar menjadi tempat berjualan rujak, tipat dan penganan kecil, menjadi tempat bermain anak-anak, tempat para orang-orang tua berkumpul sambil ngecel siap (mengelus-ngelus ayam jago) atau matuakan (minum tuak). 

Zaman datang dan berlalu, tapi banjar tetap eksis. Bahwa perubahan terjadi dan berdampak pada banjar, itu wajar. Dan memang terjadi. Perubahan-perubahan pada banjar tak dapat dielaki karena perkembangan yang dinamis. Faktor-faktor tuntutan, kebijakan rezim, nilai-nilai baru, kepungan progesivitas ekonomi, adalah bagian yang mempengaruhi eksistensi banjar. Namun yang hakikat dari banjar masih dipegang. Yang berubah ialah hal-hal fisik; bentuk bangunan, pemekaran fungsi, tanggung jawab yang lebih besar dan lain-lain. Bentuk bangunan, misalnya, terutama banjar-banjar di kota, mengalami perubahan melalui renovasi. Yang semula tak bertingkat, kini disusun menjadi dua lantai. Yang semula bentuk banjar begitu sahaja, dibangun menjadi gemerlap dan menyesuaikan bangunan masa kini. 

Karena tuntutan yang lebih besar, banjar kini dibagi dua jenis, banjar adat dan banjar dinas. Yang disebut pertama adalah banjar yang asli banjar dari sejak awalnya, mengikuti pakem adat yang sudah ada serta mempunyai kewajiban mengusung kahyangan tiga. Sementara yang disebut terakhir, yakni banjar dinas, pada umumnya adalah banjar sepenuhnya banjar baru dengan warga yang baru pula. Ini terjadi di kota, di mana sehimpunan orang-orang dalam jumlah besar di suatu lingkungan merasa perlu memiliki satu banjar dalam kepentingan administrasi kependudukan dan tata kelola lingkungan mereka. 

Banjar pun makin mantap posisi hukumnya berkaitan dengan diterbitkannya Perda No. 4 tahun 2019 tentang desa adat di Bali. Karena desa adat membawahi sejumlah banjar, maka secara langsung pula posisi banjar menjadi signifikan karena komunitas di bawah desa adat adalah banjar-banjar. Pertalian desa adat dan banjar dalam aspek hukumnya kian memantapkan posisi banjar di Bali.

Secara hierarki administratif, banjar berada di bawah desa adat. Namun meski begitu, banjar masih memiliki peluang kemandiriannya dalam mengatur internal dirinya. Inilah aspek yang cukup penting, ialah bahwa banjar masih bisa berpeluang memiliki daya kreatifnya. selain itu, pertalian hukum berdasarkan Perda No. 4 tahun 2019 dengan desa adat pun sesungguhnya menguntungkan pula, terutama dalam menawarkan gagasan-gagasan baru di dalam dinamisasi menghadapi perkembangan-perkembangan situasi baru.

Modernisasi Banjar 

Banjar sebagai komunitas yang ajeg sesungguhnya memiliki begitu banyak kemungkinan-kemungkinan baru. Meski watak tradisional melekat pada tubuhnya, namun pergerakan internal/eksternal banjar masih mungkin membangun hal-hal baru, setidaknya di tingkat pemikiran. Lagipula, dalam perkembangan yang semakin baik di mana warganya semakin banyak yang berpendidikan, peluang peranan banjar di masa kini mau pun di masa mendatang sangat menentukan bukan saja nasib banjar itu sendiri, namun juga bagi Bali pada umumnya. 

Dalam situasi kontemporer sebagaimana yang terjadi saat ini, posisi banjar, secara faktual, dihadapkan pada kepungan berbagai nilai di luar dirinya. Modernitas, yang dibawa melalui perpanjangan tangan dunia turisme dan dunia budaya urban, multikultur dengan majemuknya orang-orang luar yang bermukim di Bali, investasi ekonomi yang tiada henti menyerbu Bali, menghadapkan banjar pada penentuan sikapnya dalam berbagai kepungan nila-nilai baru tersebut. banjar tak bisa lagi stagnasi dalam dinamisasi pergerakan zaman. 

Banjar harus membangun dirinya sendiri justru untuk memperkuat jati dirinya. Ketradisionalan watak internalnya itulah yang dipegang karena benturan nilai-nilai baru dengan nilai warisan yang telah dimiliki jauh sebelumnya oleh banjar begitu rawan mengalami penggerusan karena nilai-nilai baru itu seperti tak pernah lelah berdatangan. Inilah mengapa banjar harus bersikap dalam dinamisasi perubahan-perubahan yang terjadi setiap hari di Bali. ingatlah, Bali akan tetap menjadi incaran banyak orang dari seluruh penjuru dunia karena eksotika Bali bukan hanya sekadar panorama indah, melainkan kultur warisan dan dinamisasi penciptaan kreatif begitu hidup di Bali. 

Kita bisa lihat saat ini dalam perkembangan pemukiman di beberapa wilayah di Bali seperti Ubud, Sanur, Kuta dan sekitarnya, serta beberapa kawasan baru seperti Canggu dan Kerobokan, di mana banjar-banjar begitu akur berdampingan dengan pemukiman-pemukiman para ekspatriat. Di kota-kota seperti Denpasar, Singaraja, Tabanan, Gianyar, sudah menjadi pemandangan yang lumrah tentang pemukiman yang berdampingan dengan orang-orang se-Nusantara. Sejauh ini multikultur dan masuknya nilai-nilai baru berjalan dengan baik, damai dan tenteram. 

Namun justru dalam situasi yang begitu kondusif di Bali itulah banjar harus sesegera mungkin memainkan peran strategisnya dalam pengembangan sumber daya manusianya, yakni membangun warganya sendiri. Tak ada pilihan lain di tengah kemajuan fisik, ekonomi dan kesempatan yang luas ini banjar harus mengembangkan dirinya ke arah yang lebik baik. Salah satu pemikiran yang saat ini berpeluang dimainkan ialah pengembangan kebudayaan, misalnya dalam bentuk pemikiran, penciptaan dan pewarisan nilai-nilai tradisi yang agung dari leluhur. 

Kebudayaan—tanpa menyempitkan maknanya yang luas itu—di sini disederhanakan sebagai seluruh kegiatan manusia sebagaimana dengan sederhana dijelaskan oleh Van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan. Dalam sejumlah pengalaman, banjar-banjar di Bali sesungguhnya telah memainkan peran-peran sebagaimana dalam pengertian kebudayaan. Keberadaan tradisi Bali, penciptaan-penciptaan seni, tata kehidupan masyarakat Bali, adalah bagian dari yang disebut dalam ranah pengertian kebudayaan. Kehidupan masyarakat Bali adalah kehidupan yang mencerminkan sebagian dari pemahaman kebudayaan. 

Namun kebudayaan adalah suatu yang dinamis. Ini artinya, peluang-peluang kemungkinan untuk menempatkan progresivitas kemajuan dalam kehidupan di masyarakat sebaiknya dimanfaatkan seoptimal mungkin. Di sinilah banjar—dalam jati dirinya sebagai suatu komunitas yang solid dengan sturktur pengorganisasian yang baik pula—menjanjikan harapan untuk melakukan terobosan-terobosan kreatif. 

Ada beberapa faktor yang memungkinkan banjar menjadi kantong-kantong kebudayaan di Bali. pertama, banjar adalah organisasi kemasyarakatan yang solid, taat dan memiliki struktur kepengurusan yang selama ini telah berjalan baik.  Sehingga dari modal keutuhan dan kebersatuan warganya, banjar relatif mudah mengakumulasi segala kepentingan, baik yang datang dari internal dirinya maupun dari luar. Sehingga dari penyediaan ‘wadah’ pergerakan kebudayaan, banjar telah memilikinya. 

Kedua, seiring dengan tingkat kesejahteraan dan makin banyaknya warga banjar yang bisa mengenyam pendidikan sekolah menengah hingga ke tingkat perguruan tinggi, hal ini juga menjadi modal sumber daya manusia bagi banjar untuk mencoba memulai mengakomodir dan memberi kesempatan kepada warganya untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baru dan  penciptaan kreatif. Belakangan ini ada fenomena bahwa sudah mulai banyak warga-warga banjar, terutama banjar-banjar di perkotaan seperti Denpasar, Gianyar, Singaraja dan Tabanan, yang telah menjadi sarjana-sarjana hingga S3. Dengan modal edukasi warganya yang tinggi, para tokoh-tokoh atau tetua banjar bisa menyarankan kepada mereka untuk ‘menghidupkan’ pergerakan kebudayaan di banjar mereka. 

Ketiga, kondisi Bali yang dikepung oleh dunia turisme dan kehidupan budaya urban secara langsung dan tak langsung berimbas kepada kehidupan banjar. Dalam konteks ini, banjar harus berani mentransformasi nilai-nilai luar itu sebagai bagian dari ‘amunisi’ dalam pergerakan kebudayaan mereka. Tidak semua nilai-nilai itu bermanfaat, tapi bagi bagi warga banjar yang telah mulai terlatih bersikap kritis tentu akan dapat menyikapi nilai-nilai luar itu secara arif. Sejarah membuktikan bahwa sinkretisme nilai dan budaya berjalan dengan baik di Bali tanpa mengusik nilai-nilai internalnya. 

Bagaimanapun, banjar harus berani mengedepankan dirinya sebagai bagian dari garda depan menjaga nilai dan keluhuran Bali; namun pada saat yang sama juga harus berani mengedapankan dirinya sebagai bagian dari institusi tradisional yang membuka dirinya kepada kemajuan peradaban manusia Bali yang selama ini terjaga sebagai masyarakat yang rendah hati, ramah, kemampuan keseniannya yang luar biasa. dan dalam banyak hal, adab itu hingga saat ini masih terjaga. 

Masyarakat Bali yang yang bernaung di bawah banjar-banjar (adat/dinas) dalam memperlihatkan daya ciptanya yang cerdas, lentur dan tak pernah diam itu selalu dikagumi orang luar. Lihatlah misalnya penciptaan ogoh-ogoh yang dikerjakan para remaja; lihatlah saat menjelang malam para remaja melatih diri mereka menari dan menabuh; lihatlah saat mereka membuat penjor, kreasi busana adat yang selalu memperlihatkan desain baru dan sebagainya, adalah bukti bahwa banjar sesungguhnya berpeluang besar menyediakan dirinya sebagai bagian dari pelaku kebudayaan yang aktif, dinamis dan selalu baru dalam ‘penemuan-penemuan kreatif’.

Kini sudah saatnya banjar menjangkau lebih luas lagi pergerakan-pergerakan mereka di ranah seni, budaya dan ilmu. Para pengurus banjar harus menjadi motivator, penggagas dan pengemong untuk warga banjar, terutama anak-anak, remaja dan kaum mudanya dalam kreativitas, dalam hal mengejar ilmu, dalam hal nilai-nilai moral. Bukan tak mungkin bale banjar bisa diubah menjadi arena dan ruang belajar bersama, berkreativitas bersama, melakukan penemuan-penemuan kreatif. Jika hal ini bisa dilakukan, bukan tak mungkin banjar-banjar di Bali  menelurkan generasi-generasi milenial yang tanggap terhadap kemajuan namun tertap berakar pada nilai leluhur tradisi mereka. Untuk menciptakan banjar sebagai kantong-kantong kebudayaan, tak perlu harus revolusioner. Yang penting kesadaran ke arah sana telah ada dan lebih baik lagi dimulai dengan langkah-langkah sederhana namun konkret. (PS/11062019)

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu