x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 19 Juli 2019 16:01 WIB

Menteri Milenial, yang Karbitan atau yang Tempaan

Apakah anak-anak muda itu akan mampu melepaskan diri dari kultur politik lama dan membangun kultur politik baru yang lebih sesuai dengan zamannya. Mampukah ia meniupkan semangat baru ke dalam birokrasi yang dipercayakan kepadanya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ucapan presiden terpilih Joko Widodo bahwa ia akan mengangkat sebagian menteri dari kalangan milenial rupanya demikian cepat menyulut respon. Banyak orang, terutama elite politik, yang memperlihatkan antusias mereka dengan gagasan tersebut. Mungkin bukan karena gagasan itu bagus bagi bangsa, tapi barangkali karena itu merupakan peluang bagi penerus mereka.

Para elite itu terkesan malu-malu menyodorkan nama anak mereka, sehingga orang dekatlah yang berbicara ke awak media. Angela, anak perempuan Hary Tanoesoedibjo, dipromosikan Ahmad  Rofiq, Sekjen Perindo—partai yang diketuai Hary dan Angela menjabat wakil sekjen. Prananda Paloh, anak lelaki Surya Paloh, dipromosikan oleh Sekjen Partai Nasdem Johnny G. Plate. Ada pula Diaz Hendropriyono, anak A.M. Hendropriyono, yang dipromosikan oleh Verry Surya Hendrawan, Sekjen Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia [PKPI]. Di partai ini, Diaz menjabat ketua umum. Ada juga nama-nama lain, seperti Nadiem Makarim pendiri GoJek.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahwa para elite politik nasional ingin keturunannya ada yang meneruskan karir politik mereka, ya wajar saja. Sebelum mereka sudah ada Puan Maharani, anak Megawati Sukarnoputri yang kemungkinan akan jadi Ketua DPR yang baru karena PDI-P menjadi peraih suara terbanyak dalam pemilihan legislatif. Lalu ada Agus Harimurti yang disiapkan untuk meneruskan kiprah politik keluarga SBY.

Apakah anak-anak muda itu, khususnya yang berusia di bawah 40 tahun, jawaban atas persoalan bangsa ini? Apakah mereka sanggup memimpin bangsa dalam menghadapi perubahan yang serba cepat dan disruptif? Di era sekarang, banyak perubahan dimotori anak-anak muda—khususnya dalam bisnis dan teknologi. Namun, janganlah terlalu mudah menarik kesimpulan secara linier bahwa persoalan bangsa di zaman milenial hanya bisa dijawab oleh generasi yang dilahirkan zaman itu karena adanya faktor teknologi.

Jawaban ‘ya’ dan ‘tidak’nya bergantung kepada sejauh mana mereka cepat belajar dengan cerdas terhadap lingkungan baru [agile]. Teknologi adalah sarana dan cara untuk melakukan perubahan, sedangkan perubahan itu sendiri mesti digerakkan oleh visi, pemahaman, keberanian mengambil keputusan, serta kemampuan mengelola perubahan.

Kompetensi lain diperlukan terkait dengan peran dan fungsi sebagai menteri, karena anak-anak muda itu akan bekerja di ranah kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Jelas, ini berbeda dengan ranah swasta. Kerja kreatif yang biasa dengan mudah tertuang di ranah swasta akan menghadapi tantangan yang berbeda ketika seseorang terjun di dunia politik dan kebijakan publik.

Kematangan psikologis, yang mungkin saja diraih di usia yang lebih muda dari kebanyakan orang, menjadi unsur penting yang dapat menopang keberhasilan anak muda sebagai menteri milenial. Kematangan psikologis penting karena ia akan dihadapkan dengan rupa-rupa profil manusia di sekelilingnya—dari yang yes man, penentang tulen, punya agenda sendiri, penelikung, pendukung buta, pencari muka, orang-orang yang merasa lebih berpengalaman, hingga mereka yang berhati baik dan berniat membantu.

Tidak kalah penting, dan mungkin sangat berat, ialah tantangan apakah anak-anak muda itu akan mampu melepaskan diri dari kultur politik lama dan membangun kultur politik baru yang lebih sesuai dengan zamannya. Mampukah ia meniupkan semangat baru ke dalam birokrasi yang dipercayakan kepadanya? Atau malah ia tenggelam dalam kubangan kultur lama.

Gagasan menteri anak muda tak perlu dipandang dengan sikap pesimistis, sebab ini bukan hal yang betul-betul baru. Bahkan di masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengangkat banyak orang muda di kabinetnya, di antaranya B.J. Habibie yang menjadi Menristek pada usia 42 tahun, Hayono Isman 38 tahun dan Abdul Gafur 39 tahun—keduanya menteri pemuda dan olahraga.

Bahkan di masa revolusi, setelah Indonesia merdeka, orang pertama yang memimpin pemerintahan sehari-hari adalah Sutan Sjahrir, yang ketika diangkat menjadi perdana menteri berusia 36 tahun. Sjahrir ditunjuk oleh Sukarno, yang ketika dilantik menjadi presiden berusia 44 tahun, sedangkan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden berumur 43 tahun.

Mereka tampil sebagai pemimpin karena ditempa oleh sejarah—berjuang dari bawah, bukan karena orangtuanya elite politik. Sukarno, Hatta, dan Sjahrir memimpin bangsanya di usia muda berkat pengalaman dalam berbagai organisasi, tekanan politik dan penjara kolonial, bacaan yang sangat luas, kemampuan berpikir dan menuangkan pikiran yang andal, serta rasa empati kepada rakyat yang terasah karena pergaulan dengan banyak lapisan masyarakat. Pendeknya, mereka bukan pemimpin muda usia yang muncul lantaran dikarbit atau karena katebelece politik orangtuanya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler