x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 22 Juli 2019 14:20 WIB

#SeninCoaching: Apa Pemimpin Kita Sudah Mengutamakan Hakikat? Action-nya Mana?

Apa sesungguhnya yang terjadi? Kalau kita cermati, para eksekutif dan leader mereka memiliki track record baik, bahkan terpuji, di tempat kerja sebelumnya dan tim mereka juga terdiri dari orang-orang pintar. Kok tingkat efektivitas dalam bekerja sama masih jauh dari mamadai untuk meraih sukses?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: Resourcefulness is Our Currency 

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Executive and Leadership Coach

 

"The Actual is Limited, the Possible is Immense”.

Kalimat lugas yang menggugah kreativitas kita untuk menembus batasan tersebut terpampang di Lincoln Electric, perusahaan manufaktur pembuat mesin dan perkakas las, berpusat di Cleveland, Ohio, AS. John Lincoln merintis usaha sejak 1895 -- adiknya, James Lincoln, kemudian bergabung. Moto bisnis “The Actual is Limited, the Possible is Immense” dalam plakat 30 kaki di pintu masuk itu mereka terapkan dalam operasional sehari-hari.

John dan James kemudian dikenal sebagai kelompok perintis pola kepemimpinan modern untuk meraih sukses, pionir dalam menegakkan misi, nilai-nilai organisasi, dan goal, yang berhasil dihayati sampai tingkat individu karyawan dan mereka, para karyawan, mengimplementasikan dalam kerja. Lincoln Electric sering jadi bahan studi kasus di sekolah pasca sarjana bisnis dan sudah ditelaah tujuh kali di Harvard Business Review. Perusahaan di bidang manufaktur yang kelihatan kurang glamour ini sudah jadi multinasional, dengan cabang di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Kehebatannya? Saat harga-harga bahan baku terus meningkat seiring masa sulit Great Depression, disusul situasi berat akibat Perang Dunia II, serta kondisi makro yang kurang ramah sampai 1970-an, Lincoln Electric tetap menghasilkan produk yang kompetitif, harga-harganya lebih murah dibanding para kompetitor. Ketika harga bahan baku naik tiga kali lipat, produk Lincoln Electric naik hanya 50%, dengan kualitas prima.

Semangat untuk terus melakukan inovasi, continuous improvement, telah menyebabkan Lincoln Electric berhasil memiliki tingkat produktivitas dua kali lebih baik dibandingkan produktivitas rata-rata industri sejenis.

Para eksekutif dan leaders di Lincoln Electric memberikan contoh kepemimpinan efektif, visi yang kuat, terbuka mengembangkan perspektif baru, berkomunikasi dengan gamblang, jujur, kepada tim masing-masing.

Mereka membangun prinsip-prinsip bekerja, nilai-nilai profesional, yang diutarakan kepada tim untuk dijaga bersama. Dalam praktik pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), values, sikap kerja saling memberikan energi positif antara leader dan tim tersebut distimulasi antara lain melalui Authentic Leadership Model (ALM) atau Model Kepemimpinan Otentik. Ini guideline untuk diri sendiri dan tim agar kita bekerja lebih fokus, berorientasi results, dan akuntabel.

Tanggung jawab utama para eksekutif dan leader adalah memastikan misi organisasi tertanam di benak para karyawan, untuk bekerja secara progresif menghasilkan produk/jasa dengan harga kompetitif, lekas tersedia, untuk banyak pelanggan.

Kunci sukses berkesinambungan Lincoln Electric -- sebagaimana keberhasilan organisasi-organisasi lainnya yang extraordinary, seperti Ford Motor Company dibawah kepemimpinan Alan Mulally (dari merugi US$ 17 milyar menjadi profitable) dan Southwest Airlines (sejak berdiri 40-an tahun silam selalu profitable, sementara maskapai yang lain timbul tenggelam), plus beberapa di Indonesia (yang tidak bisa disebutkan karena etika profesi) -- adalah mengutamakan manusia. People first, orang Jawa bilang bersemangat “nguwongke” para pemangku kepentingan.

Perilaku kepemimpinan mereka konsisten mengutamakan hakikat, mengangkat harkat tim dan para pelanggan. Kepemimpinan efektif di organisasi – bisnis dan nonprofit, serta di pemerintahan --  selalu mendahulukan hakikat, life purpose, why, baru how, dan what.

Untuk urusan how, bagaimana bekerja selalu berupaya untuk jadi lebih baik, dan what, apa saja yang sepantasnya kita kerjakan, relatif mudah dan banyak macam pelatihannya. Ini banyak memerlukan kerja otak dan fisik.

Kalau menyangkut hakikat, why, life purpose, memerlukan perenungan lebih mendalam, bagaimana kita selama ini mengolah batin kita. Perlu selalu menghidupkan pertanyaan untuk diri sendiri, seperti: apa alasan kita hidup dan memilih profesi/pekerjaan kita, apa pentingnya diri kita bagi organisasi, apa tujuan organisasi, kenapa organisasi kita hadir di dunia ini, apa peran utama kita dan organisasi bagi kemanusiaan, ikut berkontribusi agar dunia ini menjadi lebih baik.   

Dalam implementasinya, disarankan lebih dulu membangun Model Kepemimpinan Otentik – terkait lima kompetensi: cara efektif meraih sukses; strategi menghadapi perubahan; mengembangkan tim; merangkul perbedaan; dan berkomunikasi efektif – baru melangkah ke wilayah KPI (Key Performance Indicator).

Menerapkan nilai-nilai dan prinsip kerja yang mengikat sebagai tim, saling percaya untuk benar-benar bekerja bersama (tidak terkotak-kotak dalam silo), dalam meraih target organisasi, tentunya sangat penting -- ini akan lebih mudah terbentuk kalau kita punya why yang jelas dan sudah mengenal hakikat. Kemudian baru dilanjutkan sama-sama menyusun KPI. Make sense?

Leadership is having a compelling vision, a comprehensive plan, relentless implementation, and talented people working together,” kata Alan Mulally.

Bekerja benar-benar bersama, demi kepentingan lebih besar, yaitu meraih prestasi organisasi untuk memberikan kontribusi pada ekonomi nasional, masih sangat belum merata. Ego silo dan bias pribadi telah menghambat banyak pihak.

Selain itu, di sejumlah organisasi ternyata potensi human capital mereka belum dioptimalkan. Kalau diukur dengan skala 1 – 10, rata-rata tingkat efektivitas mereka dalam bekerja sama masih di sekitar angka enam, paling tinggi tujuh.

Apa sesungguhnya yang terjadi? Kalau kita cermati, para eksekutif dan leader mereka memiliki track record baik, bahkan terpuji, di tempat kerja sebelumnya dan tim mereka juga terdiri dari orang-orang pintar. Kok tingkat efektivitas dalam bekerja sama masih jauh dari mamadai untuk meraih sukses?

Indikasinya mereka terganjal oleh, minimal, tiga faktor yaitu:

Pertama, para eksekutif mereka mengalami leadership blind spot. Barangkali akibat pola kepemimpinan yang senang memuja masa lalu, kurang terbuka menerima perspektif baru. Kalaupun melakukan perubahan, umumnya hanya normatif, demi jabatan aman -- enggan menggunakan metode dan pendekatan baru yang handal, dipercaya organisasi-organisasi multinasional, dan hasilnya terukur.    

Kedua, para pemimpinnya arogan, menghindari kenyataan bahwa kinerja tim masih sering mengecewakan pelanggan. Cenderung menyalahkan pihak lain (blaming), atau selalu excuses, atas realitas hari ini.

Ketiga, kurang mengembangkan semangat resourcefulness, belum mau mengubah pola pikir dan perilaku kepemimpinan agar menjadi lebih efektif. Belum memiliki komitmen kuat untuk menjadi lebih baik setiap hari.  

Perlu asesmen lebih dulu untuk mengetahui pain, “jeratan potensi”, mereka secara lebih akurat. Karena ada sejumlah faktor lain yang sering jadi penyumbat kecerdasan mereka untuk dapat menafsirkan dengan tepat moto kerja semacam di Lincoln Electric: “The Actual is Limited, the Possible is Immense”.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(https://sccoaching.com/coach/mcholid1)

 

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler