x

Iklan

Natasya Sitorus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 22 Juli 2019 14:20 WIB

Suara Anak HIV di Hari Anak Nasional

Wawancara dengan seorang anak HIV jelang Hari Anak Nasional 2019

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pagi itu Hanif tiba bersama Raya, abangnya. Badan Hanif terlihat makin kurus sepeninggal nenek Ani. Hanif menggunakan baju hangat berwarna hijau tua, kepalanya bertudung. Ketika ditanya apakah dia kedinginan, “Tidak”, jawabnya. Ada ragu yang sempat muncul saat melihat cara Hanif menjawab dengan singkat. Namun niat untuk mencoba mewawancarainya tetap ada. Kami, saya dan seorang teman, bertanya apakah Hanif bersedia bercerita perihal diskriminasi yang pernah dialaminya di sekolah dua tahun lalu. Hanif mengangguk tanda setuju. Kami mencari ruang yang kosong dan tidak dipakai agar suara pelan Hanif bisa cukup jelas tertangkap dalam rekaman.

Wawancara itu dilakukan dalam rangka pengambilan gambar untuk sebuah portal di media sosial. Setelah memberi tahu kepada tim pengambil gambar tentang kerahasiaan identitas anak, maka kami segera mengatur posisi duduk untuk wawancara. Hanif duduk di depan kami. Kami meminta Hanif untuk santai dan tak perlu tegang. Tak juga perlu menutup wajah karena rekamannya nanti hanya akan mengambil potongan hidung dan mulutnya saja.

Kami membuka wawancara dengan pertanyaan ringan seputar perjalanannya menuju kampus UNIKA Atma Jaya, Semanggi pagi itu. Kami bertanya tentang aktivitas Hanif sehari-hari di rumah. Ternyata walau ia baru berusia 13 tahun, ia sudah mampu memasak mi instan sendiri, menggoreng telur ceplok, bahkan membuat sambal sederhana dari cabai dan bawang merah.  Setelah Hanif terlihat cukup nyaman, kami mulai bertanya tentang rencananya untuk kembali ke bangku sekolah Juli mendatang. Hanif memang tidak akan bersekolah di SD Negeri, tapi di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk memperoleh ijazah sekolah dasarnya. Hanif bercerita bahwa tentunya ada perasaan sedikit takut karena PKBM akan menjadi pengalaman yang baru untuk dirinya. Hanif juga takut jika peserta PKBM nanti juga ada yang tahu tentang status HIVnya. “Iya, takut seperti waktu di (SD) Negeri waktu itu. Ada teman yang bully saya. Saya diejek, dibilang punya virus menular. Saat saya batuk, mereka langsung pakai masker dan menjauhi saya.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ditanya tentang HIV yang ada dalam tubuhnya, Hanif memang tidak bisa menjelaskan secara lengkap. Tapi Hanif tahu persis bahwa HIV tidak mudah menular, tidak seperti influenza. Hal tersebut yang membuat ia kesal dan marah ketika beberapa teman membully dirinya. Walau sudah dilakukan upaya pendampingan advokasi ke pihak sekolah, pada akhirnya, dua tahun lalu Hanif mogok masuk sekolah. Ia tak lagi bersemangat untuk melanjutkan pelajarannya di kelas 5 SD dan bertemu dengan teman-temannya yang lain.

Dalam wawancara itu, kami berusaha meyakinkan Hanif agar jangan terlalu takut untuk mulai masuk sekolah di PKBM. Walau mungkin kebanyakan pesertanya tidak lagi seumuran dengan Hanif, tapi paling tidak Hanif bisa berbangga diri karena usianya memang masih usia sekolah. Hanif tertawa ketika kami membahas hal tersebut. Mungkin dia geli membayangkan akan satu kelas dengan bapak-bapak atau orang yang jauh lebih tua dari dirinya.

Mata Hanif berbinar-binar saat kami bertanya tentang cita-citanya. Ia ingin menjadi pilot. Kami mengamini mimpinya. Kami juga yakin bahwa Hanif boleh memiliki cita-cita yang sama dengan anak mana pun di negeri ini untuk menjadi apappun yang mereka ingin, selama diberi kesempatan yang sama. Tim pengambil gambar turut bertanya tentang pesan dan harapan Hanif. Awalnya kami berpikir Hanif mungkin akan kesulitan menjawab pertanyaan itu. Nyatanya kami salah. Hanif berpesan bagi mereka yang juga harus minum obat antiretroviral (ARV) agar jangan telat minum obat. “Jangan menyerah, tetap semangat!”. Ketika ditanya tentang harapan apa yang ia miliki terhadap pemerintah atau masyarakat, Hanif juga menyampaikannya dengan sangat jelas bahwa ia berharap anak dengan HIV seperti dirinya bisa diperhatikan, diterima, dihargai, tidak dibully, dan tidak dijauhi.

Kami, yang mendampingi Hanif sejak Lentera Anak Pelangi (LAP) berdiri sepuluh tahun lalu, tak bisa menyembunyikan perasaan takjub atas jawaban Hanif. Wawancara itu ditutup dengan senyum di wajah kami, tim pengambil gambar, juga Hanif. Ia bangga karena tahu bahwa rekaman itu nanti akan muncul di kanal YouTube  portal media sosial tersebut. Ia bangga karena merasa mampu menyampaikan pendapat dan harapannya. Semoga rasa bangga Hanif tak segera dikecewakan oleh sikap menolak yang ditunjukkan oleh sebagian masyarakat yang belum bisa menerima keberadaan anak dengan HIV di negeri ini. Semoga senyum di wajah Hanif pudar dan tak berubah muram jika negara masih juga sibuk mengurusi hanya orang dewasa dengan HIV yang jumlahnya jauh lebih banyak dari anak. Terima kasih Hanif karena mau bersuara, menyuarakan anak-anak HIV lain yang juga pernah mengalami diskriminasi. Selamat Hari Anak Nasional 2019.

Ikuti tulisan menarik Natasya Sitorus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler