x

Cover buku Bagimu Negeri

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 23 Juli 2019 21:15 WIB

Bagimu Negeri: Pemikiran-Pemikiran Moerdiono

Pemikiran-pemikiran Moerdiono, terutama tentang Pancasila, Demokrasi dan Dwifungsi ABRI. Tulisan-tulisan Moerdiono dari era 1988 - 1998.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Bagimu Negeri – Ideologi, Praktik Berbangsa-Bernegara (Kumpulan Pemikiran 1988-1998)

Penulis: Moerdiono

Tahun Terbit: 2014 (Edisi Revisi)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Institute for Policy Studies dan Fadli Zon Library

Tebal: xix + 396

ISBN: 978-602-7898-07-3

 

Buku ini berisi pemikiran-pemikiran Moerdiono yang dituangkan dalam makalah-makalah atau disampaikan dalam seminar-seminar, dari periode 1988 sampai 1998. Tulisan-tulisan Pak Moer yang terkumpul adalah dari periode saat beliau menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara dua periode (1988 – 1998) dan tulisan-tulisan beliau setelah purna. Selain dari makalah-makalah, buku ini juga dilengkapi dengan kenangan dari teman dan kolega (Bagian II) dan kenangan dari anak cucu (Bagian III).

Pak Moer adalah salah seorang menteri di era Orde Baru yang menonjol perannya. Kebijakan-kebijakan penting era 1988 – 1998 selalu beliau yang mengkomunikasikannya. Sebab, selain menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara, beliau juga menjabat sebagai Juru Bicara Kepresidenan Indonesia.

Dari 23 tulisan yang dimuat dalam buku ini, saya belajar tentang tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah tentang (1) Ideologi Pancasila, (2) Demokrasi, dan (3) Peran ABRI dalam bernegara. Membaca tulisan-tulisan Pak Moer tentang tiga hal tersebut harus ditempatkan pada bingkai Orde Baru, saat dimana kebanyakan dari tulisan-tulisan tersebut ditulis.

Berikut adalah hal-hal yang saya belajar dari pemikiran Pak Moer yang saya dapat dari buku ini. Bagi Pak Moer, Pancasila sebagai dasar negara adalah final. Salah satu gagasan menarik yang muncul dari pemikiran Pak Moer tentang Pancasila adalah Pancasila sebagai ideologi terbuka (hal. 301). Gagasan Pancasila sebagai ideologi terbuka sebenarnya tidaklah baru. Sebab sejak tahun 1985 gagasan ini sudah dicanangkan (hal. 302). Yang saya tangkap dari pemikiran Pak Moer tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah dalam berbangsa kita menggunakan nilai-nilai Pancasila dan secara partisipatif mencari pemecahan masalah-masalah yang dihadapi yang relevan dengan bidangnya. Salah satu contoh yang dikemukakan dalam implementasi Pancasila sebagai idoelogi terbuka adalah ditetapkannya Pancasila sebagai azas tunggal bermasyarakat dan bernegara. Implementasi praktisnya adalah dengan penataran P4 bagi seluruh bangsa, sehingga bangsa Indonesia mampu mengenali nilai-nilai Pancasila untuk dipakai sebagai landasan dalam bertindak dan berfikir untuk mengatasi persoalan-persoalan.

Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling mampu memberikan basis sosial yang paling luas bagi negara, dan dengan demikian paling besar efek sinerginya untuk mencapai tujuan-tujuan nasional (hal. 5). Dalam hal ini Pak Moer menandaskan bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik dalam melaksanakan praktik bernegara. Namun demikian Pak Moer menyadari bahwa perangkat-perangkat demokrasi modern bukanlah berasal dari budaya Indonesia. Kita tidak mengenal partai politik (dan Golkar), pemilihan umum, kampanye, voting dan lain-lain. Semua hal tersebut kita impor dari luar. Oleh sebab itu – menurut Pak Moer, kita harus mempelajarinya. Yang terpenting menurut beliau adalah bahwa demokrasi harus bisa menjamin hak dan kewajiban warga negara dan kekuasaan pemerintah.

Tak bisa dipungkiri era Orde Baru adalah era dimana militer mempunyai peran yang sangat penting dalam menjalankan negara. Pak Moer menyatakan bahwa salah satu aktor politik penting dalam Orde Baru adalah ABRI (hal. 77). Itulah sebabnya peran ABRI tak bisa disisihkan dalam pelaksanaan negara sehari-hari. Dwifungsi ABRI menjadi bentuk konkrit keterlibatan militer dalam penyelenggaraan negara. Tentara yang berasal dari rakyat hendaknya tidak hanya berperan sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, tetapi juga punya peran sosial politik. Pak Moer membahas tema Dwifungsi ABRI dalam makalahnya yang berjudul “Budaya Politik Demokrasi Pancasila: Sejarah, Filsafat, Tatanan dan Praktiknya” (hal. 43). Dalam artikel tersebut Pak Moer menjelaskan bahwa Dwifungsi ABRI adalah bagian dari sejarah militer di Indonesia (hal. 60). Jadi peran militer sebagai kekuatan politik, sosial dan ekonomi adalah sebuah keniscayaan yang harus diterima secara bulat.

Pemikiran-pemikiran Pak Moer yang tertuang dalam buku ini disampaikannya pada saat Orde Baru berkuasa. Sebagai seorang yang menjadi bagian dari pemerintahan Orde Baru, maka cara berpikir Pak Moer juga sangat dilandasi oleh cara berfikir rezim pada saat itu; yaitu menerima apa adanya Dwifungsi ABRI. Meski Pak Moer adalah bagian dari Orde Baru, namun harus diakui bahwa Pak Moer mempunyai keberanian untuk berfikir bagaimana Indonesia ke depan. Meski gagasan-gagasan beliau berangkat dari pikiran-pikiran era Orde Baru, namun beliau sangat terbuka dan peduli dengan isu-isu masa depan yang harus dihadapi oleh Bangsa Indonesia. Salah satunya adalah meminta para calon pemimpin dari ABRI untuk belajar hal-hal di luar masalah pertahanan dan keamanan.

Bagian kedua buku ini berisi tentang kenangan para sahabat dan kolega Pak Moer. Jakob Oetama menyebut Pak Moer sebagai birokrat yang demokratis. Pak Moer adalah salah satu Menteri yang sangat mudah berkomunikasi dengan para wartawan. Djohan Effendi, yang pernah membantu Pak Moer menyatakan bahwa Pak Moer adalah orang yang easy going, logis, correct dan mampu memilah kepentingan negara, pribadi dan keluarga. Sedang Rildo Ananda Anwar menyatakan bahwa Pak Moer adalah seorang pemimpin, guru, Bapak sekaligus sahabat. Ansel Da Lopez, yang tulisannya pernah ditegur oleh Pak Moer menyatakan bahwa Pak Moer adalah pekerja keras dan konseptor perfeksionis.

Anak dan cucu Pak Moer memberikan kesaksian bahwa Pak Moer adalah ayah dan eyang yang baik dan tegas. Pak Moer sangat menekankan kepada anak-anaknya untuk tidak menggunakan fasilitas sebagai anak seorang menteri. Bahkan untuk keperluan melamar pekerjaan, Pak Moer melarang anaknya mencantumkan namanya.

Oh iya, saya juga punya kesan pribadi tentang Pak Moerdiono. Saya pernah bertemu dengan beliau di Sanur. Saat itu saya sehotel dengan beliau. Saya bertemu dengan beliau di lobby hotel. Beliau memakai kaos Pollo berwarna merah dan celana jeans. Kalung besar melingkar di lehernya dan sepatu casual di kakinya. Saya menyapanya: “Selamat sore Pak Moer.” Beliau menjawab: “Selamat sore Dik. Ada kegiatan atau sedang berlibur?” Saya jawab: “Ada rapat Pak.” Beliau menimpali lagi: “Jangan lupa menikmati Bali ya,” sambil senyumnya terus mengambang. Beliau adalah seorang periang yang akrab dengan siapa saja.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler