x

Pagi hari di hutan

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 29 Juli 2019 08:37 WIB

#SeninCoaching: Emas Ada di Mulut Pagi. Anda Mau?

Bagaimana dengan manusia yang – bisa karena mabok sukses -- menolak peran pihak lain dalam kehidupannya, termasuk tidak mau belajar menerima perspektif berbeda dalam kehidupan pribadi dan peran kepemimpinannya di organisasi? Orang semacam itu bisa disebut kafir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: Leveraging Early Morning Energy

Mohamad Cholid

Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

"The early morning has gold in its mouth" Benjamin Franklin, berasal dari pepatah Jerman "Morgenstund hat Gold im Mund".

Beberapa kali perjalanan antar negara mendampingi para senior executives, sebagian di antara mereka CEO BUMN, membuat saya makin yakin keistimewaan energi pagi. Pukul berapa pun kami tiba di bandara internasional di negara lain, bahkan saat masuk kamar hotel sudah lewat tengah malam, jam 6.00 pagi kami mesti sudah siap kerja. Usai breakfast, jam 7.00 pagi kami bergerak, kunjungan ke pabrik dan diskusi dengan direksi mereka sebagai calon mitra.

Eksekutif-eksekutif yang saya dampingi tersebut bukan para mantan anggota militer atau pasukan khusus, yang terlatih tidur sejenak, dan bisa efektif, di mana pun. Mereka adalah orang-orang sipil yang disiplin menjaga stamina. Energi mereka dapat terkumpul kembali dengan tidur nyenyak sekitar empat jam. Barangkali karena pikiran mereka fokus pada misi dan target bisnis.

Selama ini mereka rupanya sudah terbiasa melaksanakan wejangan orang-orang tua, yang selalu menganjurkan agar kita menjemput pagi seawal mungkin.

Di sini tidak perlu kita persoalkan, apakah orang-orang tua kita yang lahir sebelum Perang Dunia II atau Perang Kemerdekaan RI belajar dari tuntunan para Nabi atau mendapatkan inspirasi dari Benjamin Franklin, salah seorang founding father Amerika Serikat, yang mengatakan, "The early morning has gold in its mouth". Hal yang pasti adalah, mereka, para eksekutif tersebut, sukses memimpin organisasi. Bisnis mereka tumbuh secara sehat, tanpa drama – sampai hari ini.

“Emas ada di mulut awal pagi hari” barangkali ungkapan yang pas. Semua agama besar di dunia ini mengajarkan pentingnya doa dan meditasi pagi. Bagi kalangan Muslim, tuntunannya jelas, “shalat Subuh berjamaah di masjid pahalanya setara dengan shalat semalaman”.

Dari interaksi dengan banyak kalangan, di dalam dan luar negeri, mostly mereka eksekutif senior atau business owners, saya jadi tahu, umumnya mereka meyakini benefit dari “emas di mulut awal pagi”. Berbagai literatur juga menekankan, orang-orang sukses di dunia umumnya bangun sangat pagi, bahkan ada yang menjelang Subuh – kendati mereka bukan muslim.

Benjamin Franklin menulis buku Early Rising: A Natural, Social, and Religious Duty. Pembuktiannya sudah banyak, sampai hari ini. Coba cek, orang-orang terkaya di dunia seperti Warren Buffet, Bill Gates, Bernard Arnault (Prancis, pemilik LVMH), atau di tingkat nasional seperti orang tua atau paman Anda, atau relasi kita, yang pada sukses, apakah punya kebiasaan bangun siang – utamanya saat sehat dan fit? Mereka umumnya terbiasa sejak muda bangun sangat pagi. Karena pada dasarnya ekonomi tidak bisa dibangun sambil tidur.

“Emas di mulut pagi”, bentuk dan ukurannya macam-macam, tergantung pada bagaimana kita menginterpretasikan, menghayati, dan mensyukurinya. Tiga jam pertama pagi, jika kita mau mengoptimalkannya untuk fokus pada prioritas profesi atau tanggung jawab kita, tanpa distraksi sama sekali, hasilnya akan menentukan seluruh repertoar atau performance kita hari itu.

“Emas di mulut pagi” itu juga dapat makin bertambah nilainya karena peran pihak lain, sebagaimana orang-orang sukses di dunia yang selalu dikelilingi tim yang saling percaya, saling support, penasihat, mentor, coach (atau bahkan coaches).

Hidup ini sebagian merupakan realitas (fungsi diri kita), sebagian hasil persepsi dan respon kita terhadap keadaan, sebagian imajinasi, sebagiannya lagi persepsi mahluk lain terhadap kita. Kita praktis tidak bisa mengklaim menguasai totalitas hidup kita. Realitas dan fungsi kita di Bumi ini mewujud karena ada peran pihak lain, mahluk dan, tentunya, Pencipta Alam Semesta. Kita berdoa kepada Tuhan juga karena ingin mendapatkan pengakuan bahwa kita ada, kan?

Interaksi dengan alam semesta, dan Penciptanya, di awal pagi bisa merupakan upaya memperlihatkan kita siap berhijrah menuju hari baru, melakukan self-improvement dan menjemput kemungkinan-kemungkinan baru bersama stakeholders kita -- dan siap pula menerima saran dan masukan mereka.

Bagaimana dengan manusia yang – bisa karena mabok sukses -- menolak peran pihak lain dalam kehidupannya, termasuk tidak mau belajar menerima perspektif berbeda dalam kehidupan pribadi dan peran kepemimpinannya di organisasi?

Orang semacam itu bisa disebut kafir. Kaafir adalah subjek yang hatinya tertutup, mengelak dari kebenaran yang diajarkan Tuhan. Peluang memperbaiki diri terus-menerus merupakan anugerah Tuhan, kebutuhan setiap mahluk yang siap berkembang, sebagaimana contoh dari ulat menjadi kupu-kupu. Menyangkal peluang tersebut sama dengan kafir.

Menurut Dr. Komaruddin Hidayat, “kafir berasal dari Bahasa Arab, yang memiliki arti sama dengan cover dalam Bahasa Inggris, yaitu orang yang menutup cahaya kasih dan petunjuk Tuhan, sehingga dia berjalan dalam lorong gelap.” (Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, 2005).

Kalangan ilmuwan lain menyebutkan, perilaku menolak perubahan atau menutup diri semacam itu disebut kufr amaly atau kufr nikmat. Tidak mensyukuri pemberian Tuhan (melalui pintu-pintu mana saja) atau menolak masukan dan saran positif dari pihak lain – dari tim, kolega, atasan, mentor, dan pelanggan.

Tradisi pengembangan kepemimpinan metode Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) membiasakan kita berani membuka diri, merambah wilayah level profesionalisme baru, rendah hati menghargai masukan dan saran, feedforward, sebagai gift -- anugerah yang wajib kita syukuri.

Kebiasaan menjemput “emas di mulut pagi” dan mensyukuri anugerah Tuhan setiap hari, termasuk berterima kasih kepada tim pendukung keberhasilan, dilakukan tokoh-tokoh mega sukses, seperti Steve Jobs atau Richard Branson, pemilik Virgin Group. Ucapan terima kasih tulus para pemimpin puncak kepada tim, menurut survei, juga membantu membentuk budaya kerja positif.

Bersyukur memiliki bobot tinggi untuk kelanjutan kepemimpinan dan membuat Anda bahagia, kata Mark C. Thompson, coach para CEO dan C-Suites, termasuk Richard Branson. Katanya, Steve Jobs 2.0, saat kembali memimpin Apple, perilakunya sudah berubah. Setiap usai kerja Steve mengecek pencapaian bersama dan siapa saja yang mendukung keberhasilan tersebut, lalu berterima kasih. Tanpa mengusik masa lalu, tidak ada drama, sehingga bisa fokus ke depan.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(https://sccoaching.com/coach/mcholid1)

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler