x

Iklan

M Khasbi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 Juli 2019

Kamis, 1 Agustus 2019 18:31 WIB

Islamisasi Politik Prof. Dr. Kuntowijoyo

Kontestasi umat Islam dalam perpolitikan Indonesia tak bisa terbantahkan. Bahkan, sebelum Indonesia merdeka, umat Islam telah melakukan kegiatan politik dengan mendirikan kongsi-kongsi saudagar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Muhammad Khasbi M.

Politik bukan jadi barang baru bagi umat Islam. Semenjak merdeka, kontestasi umat Islam dalam perpolitikan Indonesia tak bisa terbantahkan. Bahkan, sebelum Indonesia merdeka, umat Islam telah melakukan kegiatan politik dengan mendirikan kongsi-kongsi saudagar (perdagangan).

Lebih menarik lagi, jika politik kemudian diidentikan dengan partai sebagai instrumen penting dalam kegiatannya. Maka, umat Islam juga tak bisa ketinggalan untuk disebut di situ. Sebut saja, Partai Masyumi yang terkenal dengan partai Islam terbesar kala itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Puzzle Islamisasi Politik Prof. Dr. Kuntowijoyo 

Dengan pengetahuan yang sudah terbangun soal dinamika politik dan umat Islam, membaca buku Identitas Politik Umat Islam karya Prof. Dr. Kuntowijoyo dapat melengkapi puzzle-puzzle pengetahuan yang masih bolong.

Menarik membaca karya dari Prof. Dr. Kuntowijoyo ini. Dia punya pandangan yang sama sekali baru terhadap kondisi umat Islam kala itu. Ia menyatakan bahwa umat harus sadar. Umat Islam harus mengerti seperangkat pengetahuan tentang politik. Atau dalam bahasa Kuntowijoyo disebut sebagai juklak dan juknis.

Kuntowijoyo kemudian mengingatkan bahwa umat Islam yang dibangun dengan dasar emansipasi, humanisasi, liberalisasi dan transendensi akan mencapai 'civil sociation' (masyarakat madani) yang, dalam bahasanya; "baldatun toyyibatun warrobbun ghofur." Utamanya, ketika ia membahas apa yang seharusnya dilakukan umat islam kala kesadaran akan realitas sudah tercerabut dari alam pikiran.

Kuntowijoyo kemudian memecut umat Islam dengan sebuah kalimat yang luar biasa; bahwa agama selama ini hanya dijadikan simbol, sedang politik adalah realitas yang tak terjamah ruangnya.

Ia kemudian memberondong kesadaran umat dengan berbagai term-term yang, menurut Kuntowijoyo, belum dimiliki (diketahui lebih dalam) oleh umat Islam kontemporer. Di antara yang disinggungnya adalah term (espitemologi) politik, term demokrasi, dan term hubungan agama dengan negara.

 

Epistemologi Politik Islam

Kuntowijoyo mendedel kesadaran umat Islam dengan menghidangkan sepiring pengetahuan tentang epistemologi politik. Dalam sepiring hidangan itu, Kuntowijoyo membagi menjadi 4 sub yang sangat prinsipiel.

Pertama, epistemologi relasional. Menurutnya, epistemologi rasional adalah cara berpikir integralistik. Yaitu sebuah pandangan yang meyakini bahwa semua kenyataan berasal dari Tuhan (inna lillah) dan akan kembali pada Tuhan (wa inna ilaihi Raji'un). Atau dengan gambar yang lebih linier dari pada siklus, bahwa segala kenyataan berpangkal pada Tuhan dan berujung pada Tuhan. (Hlm. 2-3)

Kedua, ummatan wasathan. Dalam Al Quran dinyatakan bahwa umat Islam adalah umat pertengahan (Al Baqarah: 143). Berada di tengah dapat dicapai dengan berdiri persis di tengah dua gejala yang bertentangan. Misalnya, pilihan antara individu atau negara, maka jawabannya adalah umat Islam berada di tengah-tengah. Kuntowijoyo mengingatkan bahwa berada di tengah bukan menggunakan cara negatif seperti bersikap tidak kapitalisme juga tidak sosialisme.

Ia kemudian mengutip kalimat Dawam Rahardjo, "Islam harus mendayung di antara dua karang." Islam tidak berdasar kemerdekaan mutlak individu atau kekuasaan mutlak negara; ada hak-hak asasi dan kemerdekaan individual, tetapi ada juga hak-hak kolektivitas. (Hlm. 5)

Ketiga, pemihakan. Kaum dhu'afa' (Al Baqarah 266) dan mustadh'afin (An Nisa 75) adalah yang harus dibela. Dalam pemihakan (dan pembelaan) yang mulia terhadap kaum dhu'afa' (orang kecil) dan mustadh'afin (teraniaya), tidak boleh disertai perilaku sebaliknya: Islam melarang semua bentuk ketidakadilan, termasuk kepada orang kaya (aghniya, the have) (Al Kaidah 32). (Hlm. 9-10)

Keempat, iman sebagai kriteria perubahan. Umat Islam menghendaki perubahan. Tapi perubahan yang dimaksud umat Islam tidak sama dengan perubahan milik kaum Marxisme atau perubahan yang dibidani oleh the idea of progress Turgot dan Condorcet dari Barat pada Zaman Pencerahan serta juga teori modernisasi dari Barat yang sekuler. Perubahan yang berkemajuan tidaklah diukur dari sisi luarnya (matrealistik) saja, tetapi lebih kepada aspek bertambahnya iman, wama zadahum illa imana (Al Ahzab). (Hlm. 14)

Begitulah sepiring hidangan dari epistemologi politik, dalam hal ini adalah epistime politik Islam. Sangat kontras dengan epistime politik kaku yang dimiliki Islam pada umumnya, bahkan oleh bangsa yang pertamakali mencuatkan bahasa politik.

Pandangan Kuntowijoyo ini didasarkan pada paradigma Qur'ani. Sebuah cara pandang yang mengedepankan transendensilitas dalam menelaah fenomena sosial. Atau yang disebut oleh M. Syafi'i Anwar dalam pengantar Buku Indentitas Politik Umat Islam sebagai Ilmu Sosial Profetik (ISP).

Referensi:
Kuntowijoyo, 2018. Identitas Politik Umat Islam, (Yogyakarta: IRCiSoD).

 

 

Ikuti tulisan menarik M Khasbi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler