Judul: Berbagi Api Kehidupan - Memoar Rusdhy Hoesein
Penulis: Rudi Pekerti
Tahun Terbit: 2019
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: xx + 238
ISBN: 978-602-412-694-0
Banyak sekali dokter yang juga berkarya di luar dunia medis. Ada dokter yang mendirikan organisasi yang menjadi cikal-bakal kemerdekaan Indonesia (Dr. Sutomo), ada dokter yang menjadi penerbang (Abdul Rahman Saleh), ada dokter yang ikut berjuang (dr. Wahidin Sudiro Husodo, dr. Mahar Mardjono, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Oen Boen Ing), ada dokter yang menjadi penulis (dr. Rudi Pekerti, dr. Aditya Surya Pratama) dan masih banyak lagi profesi di luar kedokteran yang diperankan dengan baik oleh para dokter. Belum lagi para mahasiswa kedokteran yang tidak selesai pendidikan kedokterannya, seperti Sujadmoko.
Mengapa para dokter dan mahasiswa kedokteran bisa menjadi garda depan dalam kehidupan berbangsa di Indonesia? Tidak dipungkiri mereka adalah orang-orang yang terseleksi dalam dunia pendidikan. Sejak Politik Etis diterapkan di Hindia Belanda, kesempatan pemuda Bumi Putera untuk mengambil bagian dalam menata pemerintahan mulai terbuka. Belandapun memberi kesempatan yang lebih luas kepada ratyat Hindia Belanda untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Sekolah calon guru, sekolah calon dokter dan sekolah calon ahli teknik dibuka. Anak-anak Hindia Belanda tidak lagi hanya bisa mengakses sekolah untuk menjadi pegawai rendahan di kantor-kantor, tetapi berkesempatan membangun karier di bidang yang lebih elit. Salah satu dokter yang juga berkarya di luar dunia kesehatan adalah Dokter Rusdhy Hoesein.
Pertemuan pertama saya dengan dr. Hoesein terjadi pada tahun 2017 di Solo. Saat itu saya menghadiri peluncuran buku “dr. Oen – Pejuang danPengayom Rakyat Kecil” karya Ravando. Pada kegiatan di Balai Sudjatmoko itu Pak Hoesein mengisahkan sejarah Pendidikan Kedokteran dengan sangat rinci. Hoesein menceritakan angkatan demi angkatan dengan tokoh-tokoh yang menonjol di setiap angkatan tersebut. Termasuk salah satunya adalah dr. Oen. Saya sangat kagum dengan presentasi beliau. Saya menduga bahwa beliau adalah seorang sejarawan yang memfokuskan diri pada isu pendidikan kedokteran di Indonesia.
Ternyata dugaan saya tidak sepenuhnya meleset. Beliau memang doktor di bidang sejarah. Namun fokus penelitiannya bukanlah tentang pendidikan kedokteran. Disertasi yang dipertahankannya adalah tentang peran Sukarno di Perjanjian Linggarjati. Selama ini Perjanjian Linggarjati hanya dihubungkan dengan Sutan Sjahrir. Hoesein membuktikan bahwa kehadiran Sukarno dan pertemuan makan malam di Linggarjati telah membuat kemacetan perundingan kemudian menjadi lancar. Perundingan yang terancam macet karena perbedaan pandang yang begitu tajam antara pihak Republik dengan pihak Belanda menjadi cair karena Sukarno berani mengambil risiko terhadap pasal-pasal yang pelik. Bahkan akhirnya enam pasal lain yang juga mengganjal bisa disetujui bersama antara pihak Republik dengan pihak Belanda.
Meski disertasi beliau adalah tentang Perjanjian Linggarjati, namun tentu saja latar belakangnya sebagai seorang dokter tidak serta merta menghanguskan minatnya pada sejarah kedokteran. Hoesein kembali ke almamaternya – Kedokteran Universitas Indonesia sebagai dosen atas ajakan Dr. Firman Lubis. Hoesein mengajar kuliah umum, sejarah kedokteran dan sejarah obat-obatan di tahun 2000 (hal. 156). Selain mengajar di Fakultas Kedokteran UI, Hoesein juga mendirikan Perhimpunan Sejarah Kedokteran Indonesia (hal. 161). Itulah sebabnya beliau sangat fasih saat memberi ulasan kepada bukunya Ravando.
Bukti bahwa beliau adalah benar-benar ahli sejarah, di buku memoarnya ini dimuat banyak penggalan sejarah penting tentang Kemerdekaan Indonesia. Kisah-kisah menjelang kemerdekaan sampai dengan awal jaman Republik dijalin mesra dengan kisah hidupnya. Tokoh Sukarno, Hatta, Tan Malaka, Adam Malik dan lain-lain muncul setara bersama dengan abah dan mamahnya, istri anak dan cucu-cucunya.
Rusdhy Hoesein bukan sekadar dokter yang doktor sejarah. Beliau juga adalah seorang produser film. Kegemaran beliau dalam hal fotografi dan film diawali dari rumah. Ayahnya yang adalah anggota Kantor Kebudayaan Amerika Serikat (USIS) mempunyai akses terhadap film-film yang dipinjam dari kantor tersebut (hal. 74). Saat lulus SMA Hoesein berhasil membeli kamera 16 mm bekas. Dengan kamera bekas inilah Hoesein memahirkan diri dalam membuat film.
Bukan saya berlatih membuat film sendiri, Hoesein juga pernah terjun ke dunia produksi film. Ia pernah menjadi penulis scenario dan produser film berjudul Drakula Mantu yang dibintangi oleh Tan Tjeng Bok, Binyamin Sueb dan lain-lain (hal. 83). Ia sukses sebagai produser. Namun kariernya di dunia perfilman selesai karena pemodalnya berhenti.
Sebagai kurator, karya beliau bisa dinikmati di Musium Linggarjati. Hoesein mengumpulkan engetahuan tentang Linggarjati saat membuat disertasi. Pengetahuannya ini sangat bermanfaat saat ia menjadi kurator Musium Linggarjati. Benda-benda yang dipilih dan ditata di musium tersebut mampu berbicara tentang fakta-fakta dan nuansa pada saat perundingan dilaksanakan.
Dalam buku ini Rusdhy Hoesein juga bercerita tentang masa kecilnya, pernikahannya dan kariernya sebagai dokter beneran. Kisah keluarganya tak bisa dipisahkan dari kariernya dalam dunia kedokteran. Sebab melalui penugasannya sebagai dokterlah ia bertemu pendamping hidupnya. Ia mengawali profesi dokter di sebuah Puskesmas di Magetan, tepatnya di Puskesma Parang (hal 92). Setelah sukses memimpin Puskesmas Parang, Hoesein dipromosikan menjadi Wakil Direktur RSUD Magetan, Di Magetan inilah Hoesein bertemu dengan istrinya yang kedua. Saat istri keduanya ini hamil. Rusdhy Hoesein pindah ke Jakarta. Ia kemudian berkarier di Departemen Kesehatan.
Seperti di berbagai bab yang diselingi dengan puisi dan syair lagu, bab terakhir buku ini ditulis dalam bentuk puisi. Puisi tentang “Pancasila Uji Imajiku Berbangsa.” Ternyata Rusdhy Hoesein juga sangat akrab dengan Chairil Anwar, Gombloh dan Sitor Situmorang. Puisi dan syair lagu yang menyisip di antara uraian adalah sebuah sentuhan memoar yang sangat Indah.
Sudah terbukti bahwa para dokter ini adalah orang-orang yang mumpuni. Selain berkarya di sektor kesehatan, mereka juga menonjol dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka juga mewarnai sektor lain, seperti kepenulisan, perfilman, transportasi dan lain-lainnya. Dokter memang manusia multi-talent.
Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.