x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 12 Agustus 2019 19:08 WIB

Pembangkangan Ibrahim

Sebagai manusia rasional dengan spiritualitas yang tangguh, Ibrahim menolak tradisi yang mengingkari kebenaran. Ia seorang pembangkang tanpa kompromi. Ia menolak untuk menerima tradisi hanya karena sudah dianut oleh kaumnya sejak lama. Baginya, kebenaran lebih penting ketimbang tradisi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nama Ibrahim, sang nabi, selalu disebut-sebut setiap kali Iedul Adha tiba—sejak peristiwa yang terjadi sekitar 4.000 tahun yang silam hingga sekarang, bahkan sampai nanti. Doanya agar ia dikenang oleh manusia yang hidup pada masa-masa sesudahnya terbukti dikabulkan, sebagaimana doanya yang lain: agar jazirah Arab yang tandus dilimpahi buah-buahan, agar orang berdatangan dari berbagai penjuru dunia ke Tanah Suci, dan agar ia diberi keturunan yang saleh.

Di balik spiritualitasnya yang kuat, Ibrahim adalah sosok pencari kebenaran yang rasional pula. Ia tidak memercayai tradisi yang dianut kaumnya dan berusaha mencari kebenaran yang sejati. Ia bertanya-tanya apakah bintang-bintang dan bulan adalah tuhan, dan kemudian ia menyanggahnya sebagai kemustahilan ketika menyaksikan benda-benda langit itu tenggelam. Pertanyaan serupa ia ajukan ketika melihat matahari yang perkasa di langit, dan setelah memikirkan mengapa tuhan tenggelam di ufuk barat, ia pun menolaknya sebagai tuhan.

Kepada dirinya sendiri, Ibrahim mengajukan pertanyaan-pertanyaan rasional yang keras, yang menuntut penjelasan yang dapat diterima oleh nalarnya. Jika nalarnya menolak, ia akan menampik apa yang oleh orang lain dianggap sebagai kebenaran. Ia akan berusaha mencari jawaban lain yang lebih dapat diterima.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ibrahim juga seorang yang radikal dalam ikhtiarnya menemukan kebenaran. Ia hancurkan patung-patung kecil milik kaumnya, dan ketika kaumnya menuding Ibrahim sebagai pelaku penghancuran, Ibrahim menjawab: “Bertanyalah kepada berhala-berhala besar itu, jika mereka memang bisa berbicara.” Kaumnya tahu bahwa patung besar itu tidak mampu memberi jawaban, sekalipun begitu mereka tak mau meninggalkan tradisi.

Sebagai manusia rasional dengan spiritualitas yang tangguh, Ibrahim menolak tradisi yang mengingkari kebenaran. Ia seorang pembangkang tanpa kompromi. Ia menolak untuk menerima tradisi hanya karena sudah dianut oleh kaumnya sejak lama. Baginya, kebenaran lebih penting ketimbang tradisi. Dalam konteks ini, ia manusia konsisten—teguh berpikir, teguh pendirian, dan teguh berikhtiar.

Begitu pula ketika Ibrahim dihadapkan pada ujian yang disampaikan melalui mimpinya untuk mempersembahkan Ismail sebagai kurban. Ini ujian spiritualitas yang sangat besar bagi manusia: berpuluh tahun mendambakan seorang anak kandung, dan setelah isterinya melahirkan dan mereka membesarkan anak ini, ia diuji apakah sanggup melepaskan anaknya.

Ibrahim akhirnya tunduk kepada Tuhan yang berpuluh tahun ia cari dan kemudian temukan. Inilah jenis ketundukan yang orisinal dan konsisten, dan karena itu tidak akan mudah goyah. Manusia-manusia sesudahnya berusaha menapak-tilasi jejak pencarian kebenaran Ibrahim dengan berziarah ke Tanah Suci, mengunjungi Baitullah yang terbebas dari patung, menyusuri jejak-jejak historis pengalaman rasional dan spiritual Ibrahim, Hajar, serta Ismail.

Perjalanan spiritual dan fisikal itulah yang dijalani oleh jutaan manusia, sedikitnya sekali seumur hidup, untuk merasakan gigihnya perjuangan Ibrahim dan keluarganya dalam ikhtia menemukan dan menegakkan kebenaran. Ke sanalah manusia-manusia yang percaya seperti halnya Ibrahim percaya berusaha merasakan ketundukan yang orisinal dan konsisten, lewat perjalanan berhari-hari yang penuh harap dan cemas, perjalanan meninggalkan kegelapan menuju cahaya. >>>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler