x

Perempuan pejuang yang seharusnya mengibarkan Bendera Pusaka saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 17 Agustus 2019 11:20 WIB

S.K. Trimurti, Perempuan Pejuang yang Seharusnya Mengibarkan Bendera Pusaka

S.K. Trimurti mendapat kesempatan mengibarkan Bendera Pusaka saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Namun beliau menyerahkan kepada Latif Hendraningrat yang berseragam militer, supaya Proklamasi lebih afdol.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: S.K. Trimurti – Pejuang Perempuan Indonesia

Penulis: Ipong Jazimah

Tahun Terbit: 2016

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tebal: xiv + 268

ISBN: 978-602-412-019-1

 

Surastri Karma Trimurti atau yang lebih kita kenal dengan nama S.K. Trimurti adalah perempuan pejuang kemerdekaan, penulis dan sekaligus pejuang kaum perempuan. Perempuan yang lahir dengan nama Surastri di Boyolali tanggal 12 Mei 1912 ini mengabdikan seluruh hidupnya untuk perjuangan kemerdekaan, pengembangan press dan memperjuangkan kaum perempuan.

S.K. Trimurti terlibat dalam perjuangan melawan Belanda, Jepang dan ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih. Sebagai penulis dan wartawan, ia bersama suaminya – Sayuti Melik terlibat dalam banyak penerbitan dan menghasilkan tulisan-tulisan yang bertema perjuangan kemerdekaan dan perjuangan perempuan.

Sebagai seorang pejuang perempuan, ia berjasa dalam mendirikan berbagai organisasi perempuan yang berwawasan kebangsaan. Ia anti poligami sehingga memilih cerai dari suami yang dicintainya ketika suaminya ingin kawin lagi. Tidak hanya itu, Trimurti juga berani mengeritik Sukarno yang beristri banyak.

Pribadi, keluarga dan pendidikan

S.K. Trimurti lahir dengan nama Surastri dari keluarga priyayi yang menjadi pegawai negeri Hindia Belanda (asisten wedana). Sebagai anak pegawai negeri Surastri mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Ia masuk Sekolah Ongko Loro (Tweede Inlandsche School - TIS). Setelah lulus ia melanjutkan ke sekolah Meisjes Normaal School (sekolah guru di Jebres, Solo). Ia menjadi lulusan terbaik dan diberi kesempatan mengajar di Sekolah Latihan di Solo.

Selanjutnya ia memilih berkarier sebagai guru di Banyumas. Di masa tuanya, ia melanjutkan ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia saat usianya sudah 41 tahun dan diwisuda pada tahun 1960.

S.K. Trimurti menikah dengan Sayuti Melik walaupun tidak direstui oleh keluarganya (72). Sebenarnya ia pernah berfikir untuk tidak menikah supaya perjuangannya bisa berjalan tanpa halangan. Ia mengagumi para pastor yang tidak berkeluarga. Namun ketika merasa cocok dengan teman seperjuangan, ia tidak menolak kieta diajak menikah oleh Sayuti Melik.

Sayuti Melik sendiri adalah pejuang yang pernah dibuang ke Digul. Bukannya jera, Sayuti Melik malah terus berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Sayuti Melik adalah orang yang mengetik konsep proklamasi yang ditulis tangan oleh Bung Karno.

Pernikahannya dengan Sayuti Melik tidak direstui, sebab Sayuti hanyalah anak seorang pamong desa. Orangtua Surastri mengharapkan menantu yang berasal dari kelas yang sama dan mempunyai kedudukan sebagai pegawai negeri. Pernikahannya dengan Sayuti Melik menghasilkan dua anak, yaitu Musafir Karma Budiman dan Heru Baskoro. Kedua anak ini diasuh dalam perjuangan. Mereka berdua sering ditinggal, baik karena dipenjara maupun karena tugas organisasi.

S.K. Trimurti meninggal pada 12 Mei 2007 dalam usia 96 tahun (hal. 228).

 

Karier Politik

Karier politik S.K. Trimurti dimulai saat ia bergabung dengan organisasi Rukun Wanita di Banyumas. Ia rajin ikut rapat-rapat yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di Banyumas (hal. 17). Saat ia mendengar bahwa Sukarno akan datang ke Purwokerto, ia datang ke Purwokerto dengan temannya untuk mengikuti pidato Bung Karno. Karena begitu tertarik dengan perjuangan kemerdekaan, S.K. Trimurti memilih untuk pindah ke Bandung dan bergabung dengan Partindo cabang Bandung (1933). Ia memilih bergabung dengan Partindo Cabang Bandung karena cabang Bandung dipimpin oleh Sukarno.

S.K Trimurti mengakui bahwa ia belajar politik dan menulis dari Sukarno. Saat di Bandung ia pernah ditahan oleh PID (Polisi mata-mata Belanda) saat berpidato dalam rapat umum wanita (hal. 32).

Karena ijin mengajarnya dicabut oleh Belanda, maka ia tidak mempunyai penghasilan di Bandung. Akhirnya ia memilih pulang ke Klaten. Namun ia tidak tahan tinggal lama di Klaten. Ia kembali aktif di perjuangan. Mula-mula di Solo kemudian ke Jogja dan Semarang. Di Jogja ia bersama Sri Panggihan mendirikan Persatuan Marhaeni Indonesia (PMI) pada tahun 1935 (hal. 43). Sebagai ketua PMI ia harus ke Semarang. Di Semarang ia ditangkap karena menyebarkan pamplet perjuangan kemerdekaan (hal. 49). 

Menjelang kedatangan Jepang dan di jaman Jepang Trimurti tidak kendor berjuang. Ia pernah ditangkap Belanda karena dianggap pro Jepang pada 8 Desember 1941 (hal. 82). Ia ditahan di Ambarawa kemudian dipindahkan ke Garut. Para tawanan Belanda ini dibebaskan saat Belanda menyerah kepada Jepang. Namun nasib Trimurti tidaklah baik. Ia dituduh pro Jepang oleh Belanda, tapi juga ditahan oleh Jepang karena dianggap pro Tiongkok. Ia dibebaskan atas campur tangan Sukarno (1943) dan kemudian bergabung dengan Putera.

S.K Trimurti adalah satu dari sedikit orang yang ikut menyaksikan pembacaan teks Proklamasi. Trimurti bisa berada di rumah Sukarno karena ia sangat dekat dengan Sukarno. Saat pembacaan proklamasi, ia diminta untuk mengibarkan bendera. Tetapi ia tidak mau (hal. 124). Akhirnya Latif Hendraningratlah yang mengibarkan bendera.

Trimurti ditugasi oleh Bung Karno untuk menyebarkan berita proklamasi ke Semarang dan sekitarnya (hal. 130). Saat itu Semarang dalam kondisi perang. Sebab tentara Jepang belum mau menyerah. Saat ia mau melaporkan kondisi Semarang, Tegal dan Pekalongan kepada Sukarno ke Solo, ia malah ditangkap Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) bentukan Bung Tomo (hal. 144). Ia dicurigai sebagai mata-mata musuh. Namun akhirnya ia dibebaskan dan berhasil bertemu Sukarno.

Setelah NKRI lumayan stabil, di tahun 1946 ia bergabung dengan Partai Buruh Indonesia. Posisinya sebagai ketua partai ini membuat ia diminta menjadi Menteri Perburuhan dibawah Kabinet Amir Sjarifuddin. Pada thun 1947 ia menjabat Menteri Perburuhan selama du periode Kabinet. Yaitu Kabinet Amir Sjarifoeddin I dan Kabinet Amir Sjarifoeddin II.

Setelah tidak menjabat menteri, ia diminta oleh Bung Karno untuk menjadi anggota Dewan Nasional (hal. 182). Saat Dewan Nasional dibubarkan dan diganti dengan Dewan Perancang Nasional, Trimurti masih tetap terpilih menjadi anggota. Demikian pun saat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dibentuk, Trimurti menjadi anggotanya.

Di masa tuanya, perjuangan S.K. Trimurti tidak kendor. Ketika melihat bahwa negara akan diselewengkan oleh Suharto, ia ikut menandatangani Petisi 50 pada tahun 1980 (hal. 215). Petisi ini adalah bentuk keprihatinan dari mereka-mereka yang ikut berjuang untuk kemerdekaan terhadap Suharto yang mengatakan dalam pidatonya untuk menyuruh ABRI menculik anggota MPR. Akibat dari Petisi 50, S.K. Trimurti dibatasi kehidupannya. Ia tidak boleh menulis, tidak boleh keluar negeri, tidak boleh wawancara dengan media dan TV.

Karier sebagai penulis dan wartawan

Perjuangan S.K. Trimurti salah satunya dilakukan melalui tulisan-tulisannya. Ia mengaku bahwa ia belajar menulis dari Sukarno. Tulisan pertama dimuat di Fikiran Rakyat. Tulisannya adalah tentang sejarah penjajahan Belanda yang disisipi dengan semangat kemerdekaan (hal. 28).

Saat di Solo, setelah sempat pulang ke Klaten, ia mendirikan Majalah Bedug (1934) yang kemudian berganti nama menjadi Terompet (hal. 39). Selanjutnya ia ikut membesarkan Suluh Kita, majalah milik Suwondo (hal. 53). Kemudian membesarkan Sinar Selatan milik Mashud Hardjokusuko (53).

Saat bekerja di Sinar Selatan inilah ia mengakui tulisan Sayuti Melik di Majalah sebagai tulisannya. Tulisan tersebut sangat menyinggung penguasa. Jika ketahuan Sayuti Melik yang menulis maka ia akan ditangkap dan dipenjara. Sebab Sayuti Melik adalah orang yang diawasi. Maka Trimurti mengakui bahwa tulisan tersebut adalah karyanya.  Ia dikenai tahanan luar karena tulisannya dianggap menyinggung pemerintah tersebut. Namun kemudian dihukum 6 bulan (hal. 77).

Bersama suaminya – Sayuti Melik, Trimurti mendirikan Majalah Pesat (hal. 75). Majalah ini berkembang dengan baik. Namun Pesat ditutup Jepang pada 1 Juni 1942 (hal. 88). Sebab Jepang melarang semua penerbitan. Sayuti Melik diminta untuk menjadi pimpinan Sinar Baru (harian yang diterbitkan oleh Jepang). Namun karena dicurigai sebagai anggota komunis bawah tanah, Sayuti Melik ditahan Jepang (hal. 89).

Bukan hanya Sayuti Melik, Trimurti juga ikut ditahan oleh Jepang.  Ia dibebaskan oleh jasa Soekarno. Selanjutnya Trimurti bergabung dengan Putera di Jakarta. Ia tetap bergabung ketika Putera dibubarkan dan diganti menjadi Jawa Hokokai. Saat di Jakarta ia bekerja sambilan di Jawa Shinbunkai Honbu (kantor berita pusat). Ketika kemerdekaan tiba, ia sibuk dengan perjuangan dan organisasi. Kegiatan menulisnya agak berkurang. Baru saat ia tinggal di Jogja, ia menjadi kolumnis di beberapa penerbitan yang ada di Jogja (ha. 147).

Dalam karier kepenulisannya, ia pernah menggunakan nama Karma yang kemudian dijadikannya bagian dari nama yang sekarang kita kenal. Ia juga pernah menggunakan nama Mak Ompreng saat menulis di Api Kartini dan Harian Rakyat Tahun 1955 (hal. 188).

Di masa tuanya, tahun 1975 mendirikan majalah Mawas Diri yang berisi tulisan-tulisan filosofis untuk mengenal diri sendiri

 Perjuangan Perempuan

Selain sebagai pejuang kemerdekaan dan penulis handal, S.K Trimurti juga adalah pejuang hak-hak perempuan.

Perjuangan S.K. Trimurti mula-mula ada di jalur organisasi perempuan. Saat menjadi guru di Banyumas ia aktif di Rukun Wanito di Banyumas. Ia juga rajin ikut rapat-rapat Boedi Oetomo cabang Banyumas. S.K. Trimurti mendirikan Persatuan Marhaeni Indonesia (PMI) pada tahun 1935 bersama Sri Panggihan di Jogjakarta (hal. 43). Organisasi perempuan ini didirikan untuk mendukung perjuangan kemerdekaan. Ia tidak suka organisasi perempuan yang hanya membahas hal-hal yang berhubungan dengan tugas domestik perempuan saja.

Bukti bahwa ia adalah pejuang hak-hak perempuan juga ditunjukkan saat ia menikah. Ia menikahi Sayuti Melik atas pilihan sendiri. Meski pernikahan tersebut ditentang oleh orangtuanya, ia tetap memilih untuk melanjutkan.

Kegigihannya membela perempuan menyebabkan ia ditangkap Jepang 1942 dan dipukuli (90) karena tidak mau mengijinkan adiknya dinikahi oleh tentara Jepang. Baginya, perempuanlah yang harus memutuskan sendiri dengan siapa ia harus menikah.

Ia juga aktif mendidik buruh perempuan Bahkan saat di Jogja ia mengadakan kursus kader Barisan Buruh Wanita (hal. 150). Dalam kursus tersebut, ia mengajarkan bahwa wanita harus ikut mengisi kemerdekaan. Pada tahun 1950 mendirikan Gerakan Wanita Sedar (GERWIS) (184). Gerakan wanita yang menolak bentuk negara serikat. Saat menjabat Menteri Perburuhan berhasil memperjuangkan hak cuti haid dan hak cuti hamil (hal. 169).

S.K. Trimurti adalah seorang yang anti poligami. Mengkritik Sukarno yang banyak istri. Ia memilih bercerai dengan suami yang dicintainya, karena sang suami memilih untuk menikah lagi.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler