x

Mahasiswa asal Papua melakukan aksi unjuk rasa di Bandung, Jawa Barat, Senin, 19 Agustus 2019. Mereka mengecam tindakan represif dan penangkapan aktivis serta mahasiswa Papua di Jawa Timur dan Jawa Tengah, serta pelarangan diskusi terkait New York Agreement atau pemindahan kekuasaan Papua dari Belanda ke Indonesia tahun 1962. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

Dewa Made

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 23 Agustus 2019 09:23 WIB

Mulai Keranjingan Blokir Internet?

Selain membatasi penyebaran hoaks, pemblokiran akses internet juga bisa membatasi kebebasan publik untuk menyuarakan kejadian sebenarnya dan mendapat informasi yang transparan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya pikir, pembatasan internet pada Mei 2019 pasca pemilihan presiden kemarin adalah yang pertama dan terakhir. Namun pemerintah menggunakan strategi yang sama dalam menghadapi gejolak di Papua setelah aksi pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Alasannya tidak jauh beda dengan pembatasan internet yang pertama, yakni meminimalisir penyebaran hoaks dan menjaga situasi tetap kondusif.

 

Dari pengalaman saya yang terbiasa dekat dengan smartphone, pembatasan internet sungguh tidak nyaman, apalagi sampai berhari-hari. Kegiatan atau pekerjaan yang bergantung dengan internet dipastikan terganggu. Yang paling menjengkelkan, saya kesulitan mengakses informasi dengan praktis. Tolong digaris bawahi bahwa yang saya akses adalah informasi valid, bukan hoaks. Perasaan jengkel ini pula yang saya bayangkan tengah dihadapi warga Papua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Padahal di tengah polaritas informasi mengenai Papua, antara yang pro dan anti pemerintah, internet bisa saja menjadi penyelamat. Internet bisa menjadi saluran penyebaran informasi yang lebih transparan. Tidak dipungkiri, terlalu cekaknya anggaran media nasional untuk sering-sering berkunjung ke Papua membuat media nasional hanya mengutip dari pihak pro dan anti pemerintah. Tanpa sering terjun langsung dan menginvestigasi ke Papua. Dampaknya, setiap ada gejolak di Papua, kita seperti dipaksa untuk mempercayai kutipan pro atau anti pemerintah. Semuanya kemudian mengambang seiring berjalannya waktu. Tertutup urusan pribadi para artis ibukota.

 

Di sinilah peran internet. Penyebaran informasi yang bersumber dari warga bisa menjadi kontrol sosial yang efektif. Melihat situasi sebenar-benarnya, apa adanya. Apakah gejolak ini ditanggapi represif atau justru sebaliknya. Laporan warga di media sosial akan menjawab kubu mana yang sebenarnya menyajikan informasi yang valid. Dengan begitu, masyarakat di luar Papua bisa mengetahui kondisi terkini di Papua.

 

Kalaupun misalnya berita hoaks dianggap pemerintah sebagai biang keladi kerusuhan di Papua. Kurang canggih apalagi teknologi yang dimiliki pemerintah. Buktinya, banyak penyebar hoaks saat pemilu kemarin bisa tertangkap. Berarti tinggal menangkap pelaku utamanya dan segera umumkan hoaks apa yang telah beredar di masyarakat. Dan untuk menangkal hoaks yang semakin berkembang, pemerintah sebaiknya membuka informasi seluas-luasnya untuk publik. Bukannya malah dibatasi, yang kemudian memicu kecurigaan di masyarakat.

 

Paling tidak, pemerintah telah melancarkan strategi ‘internet lambat’ untuk kedua kalinya. Kalau sampai tembus untuk ketiga kalinya, jelas pemerintah mulai keranjingan menggunakan cara instan dalam menghadapi gejolak sosial. Dan patut dipertanyakan publik.

 

Ikuti tulisan menarik Dewa Made lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB