x

Sha Ine Febriyanti memerankan Nyai Ontosoroh dalam film "Bumi Manusia"

Iklan

Hasan Aspahani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 3 September 2019 11:01 WIB

Ontosoroh: Kemandirian dan Perlawanan Seorang Nyai

Nyai Ontosoroh adalah metafora dan manusia tertindas yang bangkit melawan. Ia tahu dia akan kalah, tapi ia tahu perlawannya tak sia-sia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.” (Bumi Manusia, halaman 59).

Dia menolak dipanggil dengan kata sandang mefrouw apalagi jufrouw. Nyonya pun tidak. Dia hanya ingin dipanggil Nyai. Karena dia memang cuma seorang Nyai — dengan segala beban yang dibebankan masyarakat pada sebutan itu: perempuan murahan, gundik pria Belanda, hanya sedikit lebih baik dari pelacur, dan sedikit lebih beruntung daripada budak.

Tapi dia melawan. Dia memang hanya tokoh fiktif yang ada dalam novel besar karangan Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Dan dia bernama Nyai Ontosoroh, tapi mari kita belajar dari sosok ini. Nama aslinya, Sanikem, sudah ia kubur bersama kepedihan dan kepahitan masa lalu yang ingin ia lepaskan.

Dia melawan lewat dan dengan semangat entrepreneurship. Dengan itu dia membangun kemandirian.

Ia belajar pembukuan dan adminstrasi dagang. Ia membaca majalah berbahasa Belanda dan belajar lewat praktik langsung bagaimana merawat sapi, memerah susu, menanam rumput pakan ternak, memproduksi susu menjadi mentega dan keju, sampai bagaimana memasarkan dan melayani pelanggan.

Usahanya berkembang dengan baik. Ia tumbuh menjadi sosok pribadi perempuan yang mandiri, berdaya secara ekonomi, meski secara sosial tetap saja direndahkan.

Yang terakhir itu menyebabkan ia — dan Annelies, bungsu perempuannya — seperti mengurung diri dalam benteng rumah mewah di Wonokromo. Rumah yang merangkap sebagai kantor administrasi peternakan dan industri pengolah hasil ternak yang ia kelola.

Ia tak percaya laki-laki. Bagaimana hendak percaya, demi jabatan ayahnya telah menjualnya pada Tuan Mellema yang mempergundiknya. Robert Mellema, anak sulungnya, memperkosa adiknya sendiri Annelies Mellema. Ia hanya percaya pada pendekar Madura bernama Darsam, dalam hubungan kerja profesional: centeng (merangkap kusir delman) dan majikan pemberi kerja.

Sampai Minke datang untuk sebuah pertaruhan konyol — menaklukkan hati Annelies — antarpelajar HBS. Robert Surhoff, kawan sekelas Minke itulah yang membuat Minke datang ke rumah Nyai Ontosoroh di Wonokromo, dan sejak kedatangan pertamanya itu Minke seakan terjerat pesona Annelies, dan terutama terpikat pada Nyai, yang pada pertemuan kedua telah ia panggil sebagai Mama.

Minke adalah anak muda pribumi, pelajar HBS di Surabaya yang pintar, pengritik masyarakat feodal Jawa, calon pengganti bupati kota B yang menolak nasib baik itu, belajar mandiri dengan menjadi tenaga pemasaran produk toko dan bengkel meubel seorang Prancsis bernama Jean Marais, dan menjadi penulis teks iklan di sebuah kantor lelang.

Keterpesonaan Minke pada Nyai Ontosoroh adalah kemandirian perempuan itu. Dalam satu dialog antara Nyai dan Minke, ada disebutkan cerita Nyai Dasima, perempuan yang secara sosial persis sama dengan Nyai Ontosoroh. Dasima terbunuh. Nyai Ontosoroh melawan nasib buruk itu dengan menjadi perempuan mandiri.

Ia menyiapkan dengan mendidik sendiri Annelies menjadi perempuan yang mandiri. Ia sudah membayangkan bagaimana nasib anak perempuannya yang dalam struktur masyarakat kolonial kala itu tak dapat dibayangkan baik: anak yang lahir dari perempuan gundik, berdarah indo yang Eropa bukan (meski banyak yang setengah mati berusaha menjadi Eropa), pribumi juga bukan.

Robert Surhoff melupakan taruhannya dengan Minke. Minke jelas memenangkannya, bahkan memperoleh lebih dari sekadar Annelies. Ia mendapatkan kepercayaan besar dari ibu-anak yang tak pernah percaya pada laki-laki.

Ontosoroh melihat sosok lelaki yang ia percaya bisa mencintai dan melindungi hidup Annelies kelak dan ia percaya mengelola peternakan dan pabrik pengolah susu yang ia bangun.

Jika Minke ingin menjadi modern dalam pemikiran, Nyai Ontosoroh modern dalam praktik langsung. Bagaimana dia bisa mengelola sapi-sapi itu dengan sedemikian efektif dan produktif? Bagaimana merawat ladang rumput untuk pakan ternaknya itu? Bagaimana sebuah usaha terkontrol dengan baik lewat pembukuan yang rapi?

Minke percaya pada aksara. Ia menulis. Dengan sangat jeli, Pramoedya membuat cerita bahwa cerita pertama yang ditulis oleh Minke adalah sebuah cerita dalam bahasa Belanda di koran berbahasa Belanda yang dia tulis dari kisah Nyai Ontosoroh. Minke tampak naif di titik itu. Tak ia bayangkan bahwa kisah yang ia tulis menjadi perhatian luas.

Nyai Ontosoroh harus bertanya pada Minke siapa Max Tollenar si penulis, dan Minke tak bisa berbohong bahwa itu adalah dia.

Guru sastra dan bahasa Belandanya yang sangat ia hormati — dan dicemburui oleh Annelies — Magda Peters, sangat bangga bahwa akhirnya ada juga muridnya yang mampu menulis dengan hebat, meskipun itu membuat Minke nyaris dikeluarkan dari HBS karena “hidup di rumah seorang Nyai”.

Kabar itu pula yang sampai pada ayahnya di kota B. Kabar yang memperburuk hubungan Minke dengan ayahnya yang menjadi simbol feodalisme Jawa yang ditentang oleh Minke.

Karena satu dan lain hal, saya membaca lagi “Bumi Manusia”, tepat di sekitar hari kelahiran sang pengarang yang ke-92 tahun ini. Dan sebagaimana karya sastra hebat lainnya, setiap kali membaca lagi, kita akan menemukan makna yang baru, dari sebuah karya yang sama yang sebelumnya sudah pernah kita baca. — hasan aspahani

Ikuti tulisan menarik Hasan Aspahani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler