x

Cover buku Dilema Tionghoa miskin

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 6 September 2019 14:10 WIB

Dilema Tionghoa Miskin dan Problem Identitas

Bagaimana Tionghoa miskin mengidentifikasikan dirinya sebagai Tionghoa dan sebagai orang miskin? Identitas mana yang mereka pilih?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Dilema Tionghoa Miskin

Penulis: Stefanus Rahoyo

Tahun Terbit: 2010

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Tiara Wacana

Tebal: xvi + 183

ISBN: 978-979-1262-30-9

Stereotipe Tionghoa adalah pedagang, pelit dan kaya. Benarkah semua orang Tionghoa pedagang, pelit dan kaya? Tidak semua. Banyak orang Tionghoa yang bekerja tidak di bidang perdagangan. Jika saat ini kebanyakan orang Tionghoa bekerja di bidang perdagangan, hal itu disebabkan karena kultur warga pendatang memang mempunyai semangat hidup yang tinggi.

Selain semangat hidup yang tinggi, sejak jaman Belanda orang Tionghoa di Indonesia memang diarahkan untuk menjadi pedagang. Apalagi saat Orde Baru, dimana profesi lain selain menjadi pedagang sangat dibatasi. Tentang kultur pendatang ini kita bisa membuktikan bahwa orang Jawa yang berada di luar Jawa juga banyak yang menjadi pedagang bahkan pengusaha. Orang Minang di luar Sumatra Barat juga sangat terkenal ulet dalam berdagang. Orang Bugis di luar Sulawesi Selatan banyak yang berhasil dalam perniagaan.

Benarkah semua orang Tionghoa kaya? Cobalah tengok di Semarang, Solo, Medan dan tempat-tempat lain dimana warga Tionghoa tinggal. Anda akan menemukan betapa banyak dari etnis Tionghoa yang hidupnya susah. Saya pernah menemukan etnis Tionghoa yang menjadi tukan becak dan tukang semir sepatu di Medan. Saya bergaul dengan orang-orang Tionghoa yang hidupnya sulit di Solo. Banyak dari mereka yang harus berhutang saat anaknya harus membayar uang sekolah. Banyak dari mereka miskin warisan. Artinya mereka miskin karena lahir dari keluarga miskin.

Buku karya Stefanus Rahoyo ini sangat menarik. Menarik bukan karena membahas stereotype, tetapi menarik karena mencari tahu mengapa mereka (orang Tionghoa) yang miskin tersebut ada yang tetap miskin, namun ada yang mampu mengentaskan dirinya keluar dari kemiskinan. Lebih tepatnya Stefanus Rahoyo ingin menjawab pertanyaan: apa akibat dari kemiskinan bergenerasi yang melilit kehidupan Tionghoa miskin ini? Penelitian Stefanus Rahoyo di Jagalan Semarang membuat kita mengerti bahwa ada dinamika dalam definisi diri dari dua kelompok yang bisa keluar dari kemiskinan dan mereka yang tetap terbelenggu dalam kemiskinan.

Untuk menjawab hal ini, Stefanus Rahoyo meneliti dua kelompok orang Tionghoa miskin di Kelurahan Jagalan di Kota Semarang. Satu kelompok adalah mereka yang tetap miskin sampai masa tuanya dan kelompok kedua adalah mereka yang berhasil keluar dari lingkaran kemiskinan. Stefanus Rahoyo melakukan wawancara langsung dengan para informannya tersebut.

Stefanus Rahoyo mengumpulkan informasi dari respondennya tentang: (1) nenek moyang, (2) potret kehidupan, (3) hubungan dengan orang tionghoa kaya, dan (4) perkawinan dan mobilitas sosial. Ia menyajikan datanya secara deskriptif dengan mencantumkan ungkapan-ungkapan langsung dari para respondennya. Ia membandingkan keempat faktor tersebut untuk mengambil kesimpulan, apa yang sesungguhnya terjadi di dua kelompok yang berbeda padahal berasal dari etnis dan tempat hidup yang sama.

Temuan studi Stefanus Rahoyo sangat menarik. Sifat kerja keras, hemat, jujur, pragmatis, disiplin dan berani mengambil risiko bukanlah faktor yang membuat para Tionghoa miskin bisa keluar dari kemiskinan. Sebab kedua kelompok yang diteliti ternyata menunjukkan sifat-sifat yang sama dalam bekerja. Akses terhadap informasi dan modal adalah faktor yang “mungkin” lebih berperan dalam pengentasan kemiskinan orang Tionghoa tersebut. Namun ternyata di kedua kelompok juga ada yang sama-sama mendapatkan akses terhadap informasi dan modal. Namun hasil akhirnya berbeda.

Kesimpulan menarik yang ditarik oleh Stefanus Rahoyo dari penelitiannya adalah tentang identitas. Mereka yang berhasil keluar dari kemiskinan adalah mereka yang bertahan dengan identitas etnis (Tionghoa), sementara mereka yang tetap terbelenggu dalam kemiskinan cenderung melakukan redefinisi edintitasnya menjadi identitas kelas (miskin). Orang-orang Tionghoa yang tidak berhasil memenuhi identitasnya sebagai etnis Tionghoa yang hidup mapan, membuat mereka mencari identitas baru.

Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa identitas kelas ini tidak mampu mengikis stereotyping tentang Tionghoa? Mengapa mereka yang menggeser identifikasi dirinya dari identitas etnis menjadi identitas kelas tetap eksis ke-Tionghoa-annya? Semoga ada penelitian lain yang menjawab hal ini.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler