x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 14 September 2019 06:23 WIB

Aktivis yang ‘Hilang’ di Lingkaran Kekuasaan

Pada akhirnya, orang banyak nan awam mestilah mafhum bahwa para aktivis yang pernah sangat bersemangat mengritik kekuasaan adalah juga manusia biasa, yang suatu ketika saat berada dalam lingkaran kekuasaan mungkin saja ia merasa dirinya tidak berdaya, atau barangkali memilih berkompromi agar mampu bertahan di dalamnya, atau malah terpesona oleh kekuasaan dan menikmati sebagai orang dalam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekitar lima tahun yang lampau, tak lama setelah Jokowi dinyatakan terpilih, seorang teman berkata: “Ini momen bagus bagi para aktivis untuk masuk ke dalam pemerintahan.” Ia kemudian menguraikan lebih lanjut apa yang disebut ‘momen bagus’ itu.

Pertama, karena aktivis yang sebelumnya memperjuangkan kepentingan masyarakat di luar pemerintahan kini punya kesempatan untuk mewujudkan kepentingan itu dengan lebih konkret. Kedua, dengan masuk ke dalam kekuasaan, para aktivis berpikir dapat memengaruhi pengambilan keputusan yang memengaruhi nasib rakyat. Ketiga, menurut teman saya itu, para aktivis akan punya peluang untuk mengubah sistem buruk yang selama ini mereka kritik agar menjadi lebih sehat.

Para aktivis itu, yang semula kerap bergabung dalam ‘koalisi masyarakat sipil’, akhirnya memang ditarik ke dalam struktur kekuasaan oleh pemenang pilpres sebagai reward atas dukungan yang mereka berikan. Memang, tidak semua aktivis bisa masuk ke lingkaran istana dan sehari-hari berkantor di sana mengingat tempat terbatas. Karena itu, aktivis lainnya disebar ke berbagai institusi, dengan menjadi staf ahli misalnya, maupun badan usaha milik negara [BUMN], dengan menjadi komisaris.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bukan hanya para aktivis yang senang karena akhirnya mereka bisa duduk di kursi-kursi yang sebelumnya kerap mereka kritik, tapi banyak pula komponen masyarakat yang cukup gembira karena merasa punya harapan bahwa ide-ide kemadanian yang selama ini mereka diskusikan, sebarkan, dan perjuangkan akhirnya menemukan peluang untuk dipraktikkan. Harapan itu, tentu saja, digantungkan kepada para aktivis yang masuk ke dalam berbagai institusi negara maupun BUMN, misalnya agar perusahaan negara dikelola dengan mengikuti tata kelola yang benar dan semestinya.

Lima tahun waktu berjalan, harapan perubahan yang digantungkan ke pundak para aktivis itu tak kunjung terwujud. Kasus-kasus hak asasi yang dulu mereka kritik dengan keras, ya masih begitu-begitu saja: acara Kamisan di depan Istana Presiden masih berlangsung, pertanda masalah belum membuahkan pemecahannya. Banyak hal yang dulu mereka kecam tetap saja berjalan. Bahkan juga dalam isu mutakhir, yakni nasib Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK]. Kelantangan para aktivis itu berganti senyap. Entah apa yang mereka pikirkan, karena mereka tidak bersuara.

Mungkin, para aktivis itu sudah menyampaikan pikirannya namun suara mereka membentur dinding-dinding kekuasaan dan bergema hanya dalam ruang yang terbatas; dan tidak berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Mereka tidak mampu berbuat lebih jauh kecuali menerima kenyataan bahwa ‘ya seperti inilah kekuasaan bekerja, saya sudah berusaha’. Walau begitu, mereka memilih untuk tetap berada dalam lingkaran kekuasaan karena beragam alasan.

Mungkin, para aktivis ini mulai terbiasa dengan realitas kekuasaan yang punya watak dan logika khas kekuasaan, dan mereka mulai mengkompromikan idealisme mereka dengan watak dan logika itu. Mereka mungkin berpikir, bermain kekuasan itu mestilah luwes dan lentur. Mereka mungkin akhirnya menyadari bahwa bermain kekuasaan tidak bisa sekaku seperti yang mereka katakan dengan lantang saat jadi aktivis dulu. Ada lobi-lobi, ada take and give, ada kompromi, dan bahkan mungkin ada penyerahan diri.

Senyapnya suara para ‘mantan aktivis’ yang kini berada di dalam lingkaran kekuasan itu dirisaukan benar oleh para aktivis yang masih terjun dalam aktivitas kemasyarakatan sehari-hari. Baru-baru ini, misalnya, ada aktivis yang ‘DICARI’ oleh para sejawatnya yang berada di luar kekuasaan, lantaran suaranya tidak terdengar ketika institusi KPK berada dalam situasi darurat karena tengah dilemahkan. Cukup tragis bahwa aktivis lingkaran Istana itu menjawab bahwa ‘saya orangnya Presiden, karena itu saya setuju dengan revisi UU KPK’. Para aktivis yang masih berada di luar kekuasan mungkin berharap bahwa teman-temannya yang sudah masuk di dalam lingkaran kekuasan tergugah untuk menyelamatkan spirit KPK, tapi mendapati bahwa harapan itu tidak terpenuhi. Di antara mereka kini terbentang kesenjangan pandangan.

Pada akhirnya, orang banyak nan awam mestilah mafhum bahwa para aktivis yang pernah sangat bersemangat mengritik kekuasaan adalah juga manusia biasa, yang suatu ketika saat berada dalam lingkaran kekuasaan mungkin saja ia merasa dirinya tidak berdaya, atau barangkali memilih berkompromi agar mampu bertahan di dalamnya, atau malah terpesona oleh kekuasaan dan menikmati status sebagai orang dalam. Hingga kini, sangat sedikit orang yang mampu bersikap dan bertindak seperti Bung Hatta yang memilih untuk mundur dari kursi wakil presiden ketimbang harus menyetujui sistem yang dibangun oleh kawan seperjuangannya, Sukarno. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler