x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 14 September 2019 13:45 WIB

Ketika Suara Rakyat Tak Dibutuhkan Lagi

Para politisi gemar menyimpan agenda-agenda penting di dalam saku mereka dan baru membukanya setelah pilpres dan pileg berakhir. Tampak jelas bahwa suara rakyat hanya diperhatikan saat politisi memerlukannya di hari-hari pemilihan presiden dan legislatif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masih ingatkah Anda pada ingar-bingar pemilihan presiden yang baru lalu? Masih ingat bagaimana kedua kubu capres beserta koalisi pendukungnya berseteru dengan begitu seru di medan kampanye dalam ikhtiar mereka meyakinkan kita, rakyat pemegang hak suara, bahwa merekalah pilihan terbaik untuk memimpin bangsa dan negeri ini.

Masih ingatkah Anda bagaimana mereka saling menyerang dan mengerahkan ‘pasukan tempur’ di medan politik—yang riil maupun yang virtual—untuk merebut suara rakyat pemilih? Masih ingatkah bagaimana pasukan mereka saling menebarkan sindiran, makian, hingga kabar-kabar yang jungkir balik membingungkan? Masih ingatkah bagaimana para elite itu membuat kita jadi pendukung yang nyaris fanatik dan kehilangan sikap kritis?

Masih ingatkah Anda bagaimana para politisi kedua kubu dengan berbusa-busa mengumbar janji-janji mereka untuk menegakkan hukum, menyejahterakan rakyat, menyediakan lapangan kerja, membangun infrastruktur, dan banyak janji lainnya? Mereka terkesan berbeda pandangan mengenai banyak hal, saling mengritik, dan menawarkan jalan keluar yang mereka anggap paling jitu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nyatanya, kini, baru lima bulan setelah pilpres, kedua kubu sudah tampak mesra dan kompak—silaturahim antara elite baik, tapi jika kekompakan itu lantaran punya agenda bersama yang disembunyikan dari mata dan telinga rakyat, maka itu sungguh tidak elok. Cobalah kita amati. Dalam beberapa isu penting yang tidak pernah dicuatkan di masa-masa kampanye, seluruh elite politik tampak berpandangan sama. Isu-isu penting itu mencakup pemilihan pimpinan baru KPK, revisi UU KPK, rencana amendemen UUD, dan pemindahan ibukota negara.

Capres dan para politisi berjanji akan memperkuat KPK, namun kenyataannya mereka menempuh jalan sebaliknya. Panitia seleksi calon pimpinan KPK, yang dipilih Presiden Jokowi, enggan mendengarkan masukan-masukan dari masyarakat. Mereka tidak peduli, bahkan menutup mata dan telinga, terhadap masukan masyarakat dan malah menganggap masukan dan kritik itu sebagai bentuk perundungan terhadap Pansel.

Pansel mengaku senang atas pujian anggota Komisi 3 DPR bahwa 10 calon pimpinan KPK pilihan mereka memenuhi harapan. Wakil-wakil seluruh partai di komisi ini memuji kerja pansel dan akhirnya sepakat memilih figur yang sama tanpa perdebatan. Munculnya kesan yang kuat bahwa wakil-wakil partai [terus terang, agak sukar menyebut mereka wakil rakyat meskipun rakyat yang memilih] sudah punya kata sepakat sebelum pemilihan oleh DPR dilakukan.

Dalam isu lain, situasinya tak kalah memprihatinkan. Menjelang berakhirnya masa kerja anggota DPR periode 2014-2019, rencana revisi UU KPK digulirkan dan menjadi bola yang menggelinding dengan sangat cepat. Sejumlah perubahan yang diusulkan DPR tampaknya tidak akan terhalang. Seluruh politisi DPR sudah setuju terhadap materi yang direvisi dan Presiden Jokowi terbukti tidak dapat diharap terlampau banyak oleh rakyat untuk menghentikan proses revisi tersebut. Para penghuni kedua institusi negara ini sama-sama memiliki kepentingan dan mereka sama-sama tahu bahwa bersikap saling mengerti merupakan jalan keluar yang dianggap saling menguntungkan.

Dalam isu amendemen UUD, yang juga tidak pernah dimunculkan selama pilpres maupun pileg, Megawati Sukarnoputri bahkan menjadikan persetujuan terhadap amendemen sebagai syarat bagi siapapun yang menginginkan dukungan PDI-P untuk bisa duduk di kursi pimpinan MPR. Para politisi mengatakan bahwa amendemen akan bersifat terbatas, tapi siapa yang bisa menjamin? Dalam pilpres dan pileg yang baru lalu, isu amendemen tidak muncul, tapi begitu pilpres dan pileg berakhir, isu ini menggelinding dengan cepat. Seluruh partai politik setuju dilakukan amendemen tanpa menanyakan bagaimana suara rakyat. Apa jaminan bahwa materi yang diamendemen tidak akan lari ke sana kemari? Di masa kini, rasanya sukar memperoleh jaminan yang andal dari politisi.

Isu pemindahan ibukota juga menggelinding dengan cepat. Seperti dilaporkan tempo.co, rupanya pembicaraan diam-diam di kalangan terbatas sudah berlangsung. Bagaimana isu sepenting ini, dengan biaya pemindahan ibukota negara yang teramat besar, hanya menadi pembicaraan sedikit orang? Jika kalaupun disebut-sebut tidak akan membebani APBN, siapakah yang akan diuntungkan oleh pembangunan ibukota negara baru ini? Kita, rakyat awam, belum bisa tahu; mungkin nanti, tapi mungkin pula tak akan pernah tahu.

Begitulah, para politisi gemar menyimpan agenda-agenda penting di dalam saku mereka dan baru membukanya setelah pilpres dan pileg berakhir. Tampak jelas bahwa suara rakyat hanya diperhatikan saat politisi memerlukannya di hari-hari pemilihan presiden dan legislatif. Mereka mendekati rakyat dengan beragam cara. Ketika tiket dari rakyat sudah ada di tangan, politisi memperlakukannya sebagai blanko kosong yang mereka anggap boleh diisi sesuka hati.

Mau merevisi UU KPK, kek, mau mengamendemen UUD kek, mau pindah ibukota negara kek, suara rakyat tak perlu lagi didengarkan. Mereka mungkin berdalih, sebagai presiden dan sebagai anggota DPR, mereka sudah memperoleh mandat dari rakyat. “Jika mandat sudah diberikan, untuk apa kalian protes?” begitulah jalan pikiran mereka.

Menyedihkan pula, di tengah kerisauan masyarakat terhadap pemilihan ketua KPK dan revisi UU KPK yang sedang bergulir, para elite partai diam seribu basa. Tidak ada satupun ketua umum partai politik yang bersuara di tengah kegelisahan masyarakat luas terhadap situasi yang berkembang saat ini. Tidak seorang pun. Mereka semua bungkam, sebab suara mereka telah dikumandangkan oleh wakil-wakil partai di ruang sidang DPR dan kita semua tahu apa suara mereka. Ketua umum partai-partai yang tidak berhasil mendudukkan wakilnya di Senayan juga bungkam seribu basa.

Begitulah politisi ketika tidak lagi membutuhkan suara rakyat. Lima tahun mendatang, barulah mereka akan kembali datang membujuk-bujuk kita. Mengapa kita kerap lupa akan sejarah yang berulang seperti ini? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler