x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 17 September 2019 15:12 WIB

Gerakan Tutup Mulut Elite Politik

Berharap para elite politik bersuara kritis terhadap revisi UU KPK sama saja dengan berharap hujan turun di puncak kemarau. Tidak ada pernyataan apapun mengenai isu KPK dari Megawati, SBY, Prabowo, Muhaimin, Surya Paloh, Airlangga, Suharso Monoarfa, Zulkifli Hasan, Sohibul Iman, maupun ketua umum partai-partai yang tidak lolos ke Senayan. Mereka kompak melakukan gerakan tutup mulut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Biasanya, jika muncul isu-isu kontroversial yang jadi perhatian masyarakat luas, para elite politik tidak mau melewatkan kesempatan untuk berkomentar. Mereka akan berbicara kepada jurnalis dan menggelar konperensi pers ihwal pandangan mereka tentang isu yang sedang ramai dibicarakan. Viralnya isu-isu penting adalah momen-momen berharga bagi politisi, khususnya elite politik yang menjabat petinggi partai—ketua umum, untuk menunjukkan sikap dan pandangan mereka di hadapan rakyat.

Bagi elite politik, situasi seperti itu merupakan momen untuk menarik perhatian masyarakat terhadap dirinya maupun partai yang ia pimpin. Mereka tahu, inilah momen untuk menghimpun credit point yang penting terkait keberpihakan kepada kepentingan rakyat banyak—entah sungguh-sungguh berpihak, untuk pencitraan, atau sekedar bersiasat. Mereka juga tahu, sikap yang tegas terhadap sebuah isu merupakan pernyataan moral partai dan bentuk tanggungjawab kepada nasib bangsa. Karena itu, para elite politik kerap berlomba-lomba memberi komentar dan senang diliput media.

Namun mengapa hal itu tidak terjadi dalam isu pemilihan pimpinan KPK maupun revisi UU KPK? Bukankah ini momen politik sekaligus momen moral yang sangat berharga untuk menunjukkan komitmen elite politik kepada masa depan bangsa dan negara ini? Tapi mengapa mereka tidak bersuara? Mengapa elite politik, khususnya ketua umum partai politik, tampak bungkam? Kompak, bahkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila kita ikuti pemberitaan media dari hari ke hari, khususnya pekan-pekan terakhir ini, tidak ada pernyataan apapun mengenai isu KPK yang diutarakan Megawati, SBY, Prabowo, Muhaimin, Surya Paloh, Airlangga, Suharso Monoarfa, Zulkifli Hasan, Sohibul Iman, maupun ketua umum partai-partai yang tidak lolos ke Senayan. Mereka seakan kompak melakukan gerakan tutup mulut terkait isu krusial ini. Bahkan, suara lantang Amien Rais pun tidak terdengar.

Para elite itu mungkin saja sedang duduk-duduk memperhatikan rakyat yang gelisah, para profesor yang menyuarakan kritik dan saran hingga suara serak, para ‘aktivis luar kekuasaan’ yang kurang tidur karena berusaha menyelamatkan KPK, maupun unsur masyarakat lain yang prihatin menyaksikan perkembangan situasi. Para elite itu terlihat tenang-tenang saja melihat rakyat tidak tahu harus mengadu kepada siapa lagi ketika pemerintah dan DPR begitu asyik berbicara sendiri antarmereka di ruang-ruang tertutup.

Apakah para elite politik, para ketua umum parpol itu, lupa bahwa baru beberapa bulan yang lalu mereka membujuk rakyat dengan menebarkan beragam janji, termasuk memperkuat pemberantasan korupsi? Mengapa sekarang, di saat-saat genting, mereka diam seribu basa? Mengapa mereka bungkam ketika rakyat membutuhkan dukungan? Rasanya sih, mereka belum lupa, lain hal jika melupakan.

Mungkinkah karena para elite itu justru berkepentingan terhadap KPK yang lemah, sehingga jika mereka menyatakan ‘kami tidak mendukung revisi UU KPK’ maka hal itu merugikan mereka sendiri? Di lain pihak, mereka mungkin juga malu jika harus menyatakan secara terang-terangan ‘kami mendukung revisi UU KPK’. Karena itu lebih baik bungkam, toh di lapangan sudah ada petugas partai yang ngebut bekerja siang dan malam agar revisi disahkan sebelum masa kerja mereka habis. Mereka tak lain politisi yang duduk di DPR, yang lima tahun lalu memperoleh kepercayaan dari rakyat untuk menyuarakan aspirasi rakyat, walaupun nyatanya mereka lebih tepat disebut penyambung lidah para elite partai ketimbang wakil rakyat.

Para elite memang bungkam di hadapan rakyat, tapi diam-diam mereka menyuarakan kehendaknya melalui para politisi di Senayan. Mana mungkin anggota DPR bersikap di ruang sidang tanpa petunjuk dan persetujuan ketua umum partai? Jadi, berharap para elite politik bersuara kritis terhadap revisi UU KPK sama saja dengan berharap hujan turun di puncak kemarau, kecuali jika Sang Pencipta hujan berkehendak lain. Faktanya, siang ini, sejarah pun terjadi, revisi UU KPK pun disetujui pemerintah dan DPR tanpa ada yang mampu membendungnya. Gerakan tutup mulut elite politik berujung kemenangan.

Inilah tragedi demokrasi: menjelang hari pemilihan, para elite politik membujuk rayu rakyat untuk memberi mandat, namun setelah terpilih para elite politik menjalankan agenda mereka sendiri. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler