x

Cover buku Menuju Kamar Durhaka

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 18 September 2019 10:50 WIB

Menuju Kamar Durhaka

Kisah tentang masyarakat kecil, khususnya perempuan yang senantiasa menderita dan para pejabat yang tidak kompeten tetapi memanfaatkan jabatannya untuk kepentingannya sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Menuju Kamar Durhaka

Penulis: Utuy Tatang Sontani

Tahun Terbit: 2018 (edisi elektronik)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Pustaka Jaya                                                                                           

Tebal: 217

ISBN: 978-979-419-696-0

Cerpen-cerpen karya Utuy Tatang Sontani (UTS) dikumpulkan oleh Ajip Rosidi. Di bagian pengantar, Ajip Rosidi telah memberikan ulasan singkat terhadap masing-masing cerpen. Pengantar yang sudah menyentuh isi cerita setiap cerpen ini membuat saya harus berpikir kreatif untuk menemukan hal-hal lain yang belum tercakup dalam komentar Ajip Rosidi. Bukankah karya sastra memang bisa diapresiasi dari berbagai sisi? Seharusnyalah begitu.

Cerpen pertama yang sekaligus menjadi judul buku ini “Menuju Kamar Durhaka” berkisah tentang seorang istri yang baru saja bertengkar hebat dengan suaminya. Suaminya terpikat kepada seorang pelacur bernama Nety. Karena sudah tidak tahan, sang istri mendamprat suaminya yang baru saja pulang dari rumah pelacuran. Bukannya suaminya sadar, tetapi sang istri malah diluluskan keinginannya bercerai. Sang istri yang keluar dari rumah sambil menenteng koper akhirnya menuju ke lokasi dimana sang suami tertambat pada seorang perempuan. Sepanjang perjalanan menuju lokasi pelacuran dan saat berada di salah satu kamar yang diduga menjadi tempat suaminya mengumbar nafsu, sang istri mengungkapkan kemarahan dan merenungi nasibnya.

UTS mengeksploitasi perasaan marah tokohnya untuk mengungkapkan betapa kompleksnya hubungan suami istri. Istri yang dulu dicintai di awal pernikahan perlahan-lahan mulai diabaikan oleh suaminya. Kemajuan jaman dan perbedaan intelektualitas menjadi penyebabnya. Sang suami yang adalah pegawai negeri merasa tidak lagi tertarik kepada istrinya yang terlalu udik. Modernitas telah mengubah tampilan perempuan menjadi semakin menarik bagi laki-laki. Sementara sang istri tetap pada dandanan ala kampung. Pembicaraan sang suami yang menyangkut modernitas yang diselingi dengan Bahasa Belanda (ciri modernitas) tak bisa diimbangi oleh sang istri yang hanya bisa berbahasa Sunda.  Sang suami pun akhirnya menemukan tempat yang dirasanya lebih cocok bagi dirinya. Selain dari masalah lelaki yang memang suka mesum, keseimbangan intelektualitas memang sangat penting dalam perjodohan.

Cerpen kedua berjudul “Berita Dari Parlemen” berkisah tentang Halimah, perempuan sederhana yang baru saja bercerai. Halimah memutuskan untuk kembali ke rumah orangtuanya di Bandung. Saat di stasiun Cikampek yang ramai, ia mendengarkan tiga perempuan yang sedang bergunjing tentang Negara Pasundan. Halimah tidak tahan saat orang Sunda dikata-katai. Apalagi yang dicaci adalah para pejabat Negara Pasundan, dimana bekas suaminya adalah salah satu pejabat di dalamnya. Maka pertengkaran pun terjadi antara Halimah dengan salah satu perempuan kaya yang menggunjingkan kejelekan para pejabat Negara Pasundan. Pertengkaran antara perempuan kaya intelek dengan Halimah yang hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Benarkah lawan bertengkar Halimah seorang intelek? Ternyata, lawan bertengkar Halimah adalah istri muda seorang Menteri yang baru saja dicerai karena ketahuan oleh istri pertamanya. Absurd? Ya.

Cerpen ketiga berjudul “Paku dan Palu” berkisah tentang seorang lelaki yang berprofesi sebagai tukang memperbaiki sepatu. Saat Kota Bandung diserang Belanda, namuak orang kota yang mengungsi ke desa. Termasuk sang lelaki tukang memperbaiki sepatu. Di desa sang lelaki tidak bisa menjalankan profesinya. Sebab orang-orang desa tidak ada yang bersepatu. Sementara orang kota yang mengungsi, tidak berani memakai sepatu karena takut dikenali oleh Belanda. Akhirnya si lelaki harus kehilangan anaknya karena mati kelaparan. Ia pun harus menjual peralatan untuk memperbaiki sepatu karena dijual untuk menyambung hidup.

Sejak saat itu sang lelaki menjadi murung. Ia berniat untuk kembali ke kota mencari nafkah. Dibawanya palu dan paku sebagai alat, seperti saat ia memulai kariernya dulu. Namun saying ia ditangkap oleh lascar karena diduga sebagai mata-mata. Setelah diketahui bahwa ia bukan mata-mata ia dilepaskan dan dianjurkan untuk pulang ke desa. Tetapi sang lelaki tetap saja menuju kota untuk mencari sesuap nasi. Sang lelaki tertembak Belanda dan mati. Istrinya tidak bisa memahami kejadian yang dialami suaminya tersebut.

Cerita keempat berjudul “Doger.” Kisah tentang seorang doger (ronggeng) bernama Selendang Merah. Pertunjukan doger biasanya dilanjutkan dengan membawa sang penari untuk dikencani. Dalam pertunjukan doger malam itu, ada seorang polisi yang meminati untuk membawa Selendang Merah. Namun saying, sang polisi telah keduluan lelaki lain. Namun sang polisi tetap sabar menunggu. Saat Selendang Merah sudah selesai dengan lelaki yang membawanya, sang polisi meminta kawannya untuk menjemput Selendang Merah supaya bisa dikencani. Namun, sebelum Selendang Merah kembali ke panggung, ada pemuda yang membawanya ke tempat gelap. Sang polisi minta supaya kawannya tadi merebut Selendang Merah dari pemuda yang membawanya. Ternyata sang pemuda yang membawa Selendang Merah adalah suaminya. Maka kawan polisi tidak meneruskan upayanya merebut Selendang Merah.

Cerpen kelima berjudul “Mengarang” sepertinya ditulis berdasarkan pengalaman sesungguhnya UTS. Dilema seorang penulis yang sedang sakit. Ia harus istirahat, sesuai dengan nasihat dokter, tetapi ia juga membutuhkan uang untuk membeli obat. Tawaran untuk menulis pengalamannya menulis cerita dari sebuah penerbitan membuat sang penulis yang sakit memaksa diri untuk menulis. Saat sedang menuangkan gagasannya dalam karangan, ia terganggu dengan anaknya yang masih kecil dan selalu menangis. Akhirnya ia memilih untuk menulis karangan yang ringan saja supaya tetap bisa mendapat uang dan berdamai dengan anaknya dan kesehatannya.

Cerpen keenam berjudul “Jaga Malam.” Cerpen ketujuh berjudul “Keluarga Wangsa.” Kedua cerpen ini menggunakan penyerahan kedaulatan sebagai latar belakang. Kedaulatan Republik Indonesia yang sudah secara sah diakui oleh Pemerintah Kerajaan Belanda tidak serta-merta membuat semua masalah selesai, dan perilaku berubah. Dalam cerpen “Jaga Malam,” ditunjukkan bahwa kemiskinan tetap menjadi isu utama. Cerpen “Jaga Malam” juga menunjukkan bahwa perilaku malas yang tidak cocok dengan ciri bangsa berdaulat ternyata masih menempel. Melalui “Keluarga Wangsa” UTS menyindir sifat feudal yang seharusnya ditanggalkan di era bangsa berdaulat.

Cerpen kedelapan berjudul “Badut.” Dalam cerpen ini UTS menyindir pejabat yang tidak kompeten karena posisinya didapat melalui nepotisme. Alih-alih mendengarkan pendapat anak buahnya yang lebih paham, ia malah menyingkirkan sang bawahan yang dianggap membencinya. UTS memakai humorisme dalam bercerita. Tokoh utamanya adalah seorang yang memandang hidup dengan cara humor.

“Kekasih Pujaan” adalah cerpen ke sembilan yang sepertinya diambil dari kisah hidupnya. Dalam buku “Di Bawah Langit Tak Berbintang,” UTS juga menulis cerita tentang gadis cantik tetangganya. Dalam dua tulisan di dua buku berbeda ini UTS bercerita bahwa ia memang jatuh cinta. Tentu ceritanya tidak sama persis.

Cerpen kesepuluh berjudul “Lukisan.” Dalam cerpen ini ia bercerita tentang seorang pejabat tinggi yang ingin memberi hadiah sebuah subang mahal. Subang tersebut adalah milik Haji Ahmad. Supaya ia bisa membujuk Haji Ahmad menghadiahkan subang tersebut, atau setidaknya menjual kepadanya, ia mengajaknya melihat pameran lukisan, sehari sebelum acara Ulang Tahun Perkawinan sang Pejabat Tinggi. Di depan sebuah lukisan yang harganya mahal, sang pejabat membual tentang kualitas lukisan tersebut kepada Haji Ahmad. Kejutan terjadi karena Haji Ahmad justru menghadiahkan lukisan yang tidak dimengerti artinya tetapi mahal di ulang tahun perkawinan. Melalui cerita ini UST seperti hendak menyindir pejabat yang seringkali sok tahu.

Cerpen kesebelas “Ditraktir” berkisah tentang pertemuan dua sahabat. Sahabat yang telah sukses menjadi pejabat tinggi secara kebetulan bertemu dengan sahabatnya saat masih jaman Belanda. Sang sahabat yang sukses ini mentraktir sahabatnya di sebuah restoran paling mewah, dengan makanan yang melimpah sambil menyampaikan bagaimana ia menjadi sukses. Sementara sahabat yang ditraktir hanya bisa mengiyakan dan seolah-olah kagum karena dia sadar bahwa makanan yang dinikmatinya adalah dibayar oleh sahabatnya.

Sang sahabat yang ditraktir semakin mati kutu saat sang sahabat menunjukkan teks pidatonya yang berapi-api, menganjurkan kerja keras dan hidup hemat serta mengecap pejabat yang boros. Bagaimana bisa sahabatnya ini pidato seperti itu sementara dia sendiri hidup sangat boros? Memang pejabat banyak yang hebat di mulut dan kacau di perilaku.

Cerpen keduabelas adalah “Suami-Istri.” Dalam cerpen ini diceritakan suami yang mulai bosan kepada istrinya. Namun akhirnya sang suami tidak berkutik ketika istrinya tidak memasak dan tidak melayaninya. Sang istri akhirnya harus berbagi tempat tidur dengan suaminya yang mengiba.

Pada cerpen “Bendera,” dikisahkan bahwa sang ayah begitu bangga dengan bendera tinggalan dua putranya yang gugur dalam revolusi. Namun suatu saat ia terpaksa harus memotong tinga bendera karena tidak mampu membeli kayu bakar. Saat anak perempuannya mengingatkan bahwa saatnya memasang bendera, sang ayah marah dan mengatakan supaya anak perempuannya memasang kutang dan celana dalam saja di tiang bendera. Kedaulatan memang tidak serta-merta menghilangkan kemiskinan.

Cerpen yang paling satir dari kumpulan ini adalah cerpen berjudul “Usaha Somad.” Satir karena UTS menabrakkan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai ekonomi. Somad yang dengan penuh percaya diri berangkat ke kota untuk menjual buku-buku agama, akhirnya harus menjual foto perempuan telanjang. Anehnya Somad merasa bahwa yang ia lakukan adalah usaha berdagang.

Cerita kelima belas berjudul “Onih dan Ibunya” berkisah tentang tabrakan budaya. Ibunya yang dibesarkan dalam budaya timur tidak lagi bisa memahami apa yang dilakukan Onih. Onih mempunyai banyak teman laki-laki. Onih bergaul bebas dengan mereka. Bahkan saat ulang tahun ketujuhbelas, Onih mendapat ciuman dari salah satu pemuda tersebut. Onih juga tidak mau dijodohkan dengan Hamid yang masih menunggunya.

Cerpen keenambelas berjudul “Si Sapar” berkisah tentang orang miskin bernama Sapar yang dating ke Jakarta untuk menjadi tukang becak. Sapar bertemu dengan seorang pelacur bernama Onih. Sapar menjadi tukang becak langganan Onih. Sampai suatu saat Sapar ingin menikmati Onih dan kemudian membunuhnya. Sapar membawa becak dan mayat Onih menuju rel kereta. Sapar bersama becak dan mayat Onih tertabrak kereta. Sejak itu Sapar dan Onih menjadi hantu. Nasip orang kecil yang tidak beruntung saat hidup pun masih harus menjadi hantu saat mati.

Berbeda dengan keenambelas cerpenlainnya yang berlatar belakang Indonesia, cerpen ketujuhbelas berjudul “Anjing” berlatar belakang Tiongkok. Sepertinya cerpen ini ditulis saat UTS sudah berada di Tiongkok untuk berobat, dan kemudian menjadi exile karena tidak bisa pulang. Melalui kisah tawanan “penentang” yang memelihara anjing, UTS bercerita tentang bagaimana para exile terbelah menjadi dua kelompok.

UTS menyebut bahwa para exile asal Indonesia itu ada yang pro pemerintah Tiongkok, yang disebutnya sebagai kelompok “pemerintah” dan kelompok yang tidak taat kepada aturan para exile yang dia sebut sebagai kelompok “penentang.” Kelompok “pemerintah” mempunyai kekuasaan untuk mengatur kamp dimana para exile ini berada. UTS yang memelihara anjing karena rindu kepada anaknya yang sudah lama ditinggalkan di Indonesia begitu kecewa saat anjingnya akhirnya dibunuh oleh kelompok “pemerintah.”

 Cerpen-cerpen UTS dalam kumpulan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) kisah-kisahnya adalah tentang orang kecil. (2) latar belakang kejadian sekitar awal kemerdekaan, khususnya periode penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada NKRI, (3) ceritanya banya menyindir perilaku pejabat yang suka selingkuh dan (4) kebanyakan cerpen ditulis dengan sudut pandang tokoh perempuan.

Kisah-kisah orang kecil diwakili oleh tokoh-tokoh orang biasa yang miskin dan hidup susah seperti tukang sepatu (Palu dan Paku), kuli (Jaga Malam), pengarang miskin (Mengarang), Sapar (Si Sapar), dan sebagainya.

Kisah-kisah dibangun dengan latar belakang awal masa kemerdekaan seperti akhir masa negara federal (Berita Dari Parlemen), penyerahan kedaulatan (Jaga Malam dan Keluarga Wangsa), era awal kedaulatan (Badut), jaman Jepang (Onih dan Ibunya) dan sebagainya. Hanya cerpen terakhir, yakni “Anjing” yang berlatar belakang kehidupan para exile di Tiongkok.

Sindiran kepada pejabat memenuhi hampir semua cerpen dalam buku ini, seperti klerk (Menuju Kamar Durhaka) dan Menteri (Berita Dari Parlemen) yang suka berselingkuh, polisi yang suka perempuan (Doger), tentara yang nonton film tanpa bayar (Keluarga Wangsa), pejabat yang tidak kompeten (Badut), pejabat yang sok tahu dan gengsi tinggi (Lukisan), pejabat yang pidatonya heroik dan mengajarkan kerja keras dan hidup hemat, tetapi dia sendiri foya-foya (Ditraktir) dan banyak pejabat yang disindirnya karena menjadi pejabat karena koneksi, tidak kompeten tapi pongah dan memanfaatkan jabatan untuk kepentingan sendiri.

Tokoh-tokoh perempuan muncul sangat dominan dalam cerita-cerita UTS yang dikumpulkan dalam buku ini. Sebagai contoh bisa diberikan sebagai berikut, seorang perempuan desa lugu yang marah karena dicerai suaminya (Menuju Kamar Durhaka), perempuan yang kehilangan suami karena revolusi (Palu dan Paku), perempuan modern (Sang Kekasih), perempuan tangguh yang marah kepada suami tetapi tetap mengasihinya (Suami Istri) dan seterusnya.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler