x

Wadah Pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat Anti Korupsi melakukan aksi renungan dan malam di gedung KPK, Jakarta, Selasa, 17 September 2019. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 22 September 2019 11:56 WIB

Bagaimana Obituari KPK akan Ditulis?  

Bagaimana sejarah dan obituari KPK akan ditulis? Siapa nama-nama yang harus ditulis tebal di obituari KPK karena dianggap berperan besar? Dari sudut pandang siapa obituari itu mesti ditulis? Akankah ditulis dari sudut pandang pemenang, seperti yang kerap terjadi dalam penulisan sejarah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Malam itu, di gedung KPK telah berlangsung ‘pemakaman KPK’. Acara yang dihadiri berbagai unsur masyarakat itu menandai terkuburnya ‘spirit pemberantasan korupsi’. Suasananya penuh haru. Lilin-lilin menyala di tengah kegelapan yang pekat sebagai simbol masih adanya harapan walaupun kecil.

Sebaliknya, kegembiraan menguar di ruang sidang paripurna DPR. Para politisi DPR dan wakil pemerintah tampak sumringah ketika revisi UU KPK berhasil disetujui bersama. Sidang paripurna persetujuan atas langkah-langkah yang ditentang masyarakat itu berjalan sangat singkat dan tanpa interupsi. Gemuruh suara ‘setujuuuu..’ membahana di ruang sidang DPR. Seakan-akan beban yang selama ini menggayuti pundak politisi lepas. Napas lega seakan memenuhi ruangan.

Begitu pula sebelumnya, ketika pimpinan baru KPK pilihan panitia seleksi disahkan oleh DPR. Pimpinan DPR dan pimpinan terpilih KPK berfoto bersama. Mereka terlihat tersenyum manis. Senyum kemenangan, barangkali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitulah cerita tentang bagaimana ‘yang disebut’ demokrasi dipraktikkan di negeri ini oleh politisi yang dipilih oleh rakyat tapi mengabaikan suara rakyat. Drama tragedi yang berlangsung beberapa pekan ini secara gamblang memperlihatkan bagaimana para politisi yang duduk di pemerintahan maupun badan legislatif enggan mendengarkan suara pemilihnya—rakyat yang memberi kepercayaan kepada mereka untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.

Prosesnya mulus tanpa rintangan. Bayangkan, menurut tempo.co, hanya dalam 13 hari, KPK yang tangguh dibuat bertekuk lutut melalui kehadiran aturan yang baru. Singkatnya masa pembahasan tersebut menyiratkan bahwa gagasan mengenai apa yang tertuang dalam revisi undang-undang itu sangat mungkin sudah lama ada. Hanya saja, gagasan itu disimpan rapat dan tidak diungkapkan kepada masyarakat, termasuk di masa kampanye pilpres dan pileg. Karena itu pula, kesepakatan pemerintah dan DPR itu sangat mungkin juga sudah lama ada—toh partai pendukung pemerintah adalah juga mayoritas DPR.

Hanya selang sehari setelah pengesahan revisi UU KPK, dalam pembahasan RUU KUHP, DPR dan pemerintah juga sepakat untuk memudahkan pemberian remisi kepada koruptor, sehingga seorang akademisi hukum menanggapi: “Koruptor kini diperlakukan layaknya maling ayam, bukan pelaku kejahatan luar biasa.” Pengesahan RUU KUHP memang ditunda, tapi apakah ini substansial atau sekedar untuk meredam gejolak agar tidak membesar?

Para politisi itu terlihat tidak lagi memerlukan rakyat karena pemilu sudah selesai dan mereka merasa sudah memegang blanko mandat yang kosong: “Terserah saya mau saya isi apa.” Mereka bukan orang baru di parlemen maupun eksekutif, sehingga tahu benar bagaimana menyiasati rakyat. Dalam pemilu yang baru lalu rakyat memilih sebagian besar mereka untuk duduk kembali di kursi yang sama hingga lima tahun ke depan. Merekalah yang membuat rakyat meratapi nasib KPK. Believe it or not?

Jika demikian, apakah kematian KPK yang lama untuk digantikan KPK versi baru mesti dilukiskan sebagai konsekuensi tragis dari ‘yang disebut’ [so called] demokrasi? Apakah kisah tentang  para politisi yang semula gontok-gontokan dalam pemilu ternyata kompak dalam melihat isu KPK akan ditulis panjang lebar sebagai ‘kelakar demokrasi’? Apakah ini risiko yang tidak terhindarkan bahwa pemilu yang dipandang demokratis pun dapat berujung pada pengingkaran terhadap spirit yang dibawanya? Bahkan oleh pihak-pihak yang memenangkan pemilu?

Nah, selanjutnya, bagaimana obituari dan sejarah KPK akan ditulis? Siapa nama-nama yang harus ditulis tebal di obituari KPK karena dianggap berperan besar? Mungkinkah para penggagas pelemahan KPK, para elite politik yang bungkam, presiden yang setuju revisi, anggota parlemen yang menyanyikan koor setujuuuu, peran para aktivis lingkar istana yang diam seribu basa, panitia seleksi yang acuh tak acuh, dan pemain di balik layar? Dari sudut pandang siapa obituari itu mesti ditulis? Akankah ditulis dari sudut pandang pemenang, seperti yang kerap terjadi dalam penulisan sejarah? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB