Ada perubahan aturan perzinahan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KHUP) yang kini menjadi polemik. Kalau dalam KUHP yang sekarang berlaku, hukum zina hanya berlaku bagi pria atau wanita yang sudah menikah. Nah, zina dalam RKUHP diperluas hingga pria atau wanita yang belum menikah. Artinya, hubungan seks antara pasangan yang sama-sama belum menikah dilarang dan mendapat ancaman hukuman penjara 1 tahun atau denda Rp 10 juta.
Agar lebih jelas, mari kita bandingkan aturan sekarang dengan Rancangan KUHP.
Aturan zina KUHP lama
Pasal 284 KUHP : Pelaku tindak pidana perzinahan diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan.
Sesuai pasal ini rumusan zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Persetubuhan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan tidak merupakan paksaan dari salah satu pihak.
Sifat pasal ini merupakan delik aduan yang absolut. Artinya tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (dipermalukan). Pengaduan tersebut berlaku bagi pihak yang dirugikan dan pasangan perzinahan.
Aturan zina dalam Rancangan KUHP baru
Rumusan zina diperluas seperti tercantum dalam Pasal 417 ayat 1:
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Rp 10 juta.
Dalam penjelasan disebutkan rincian hubungan seks yang bisa dihukum:
1. Laki‑laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
2. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki yang bukan suaminya;
3. Laki‑laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
4. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki, padahal diketahui bahwa laki‑laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
5.Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.
Pasal 417 ayat 2: Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya.
Yang berhak mengadukan sudah direvisi
DPR bersama pemerintah sebetulnya sudah mengubah orang-orang yang berhak mengadukan.
Dalam draf versi yang lama, Pasal 417 Ayat 2 berbunyi: Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.
Nah, “pihak ketiga yang tercemar” itulah kemudian diganti dengan “anaknya”. Draf versi lama itu jelas bisa menimbulkan tindakan main hakim sendiri. Siapapun bisa mengadukan pasangan yang dianggap berzina dan hal ini memang bisa menimbulkan tindakan yang sewenang-wenang atau bertujuan untuk mempermalukan orang lain.
Artikel lain:
RUU Pemasyarakatan: Asyik, Napi Boleh Cuti dan Jalan-jalan
Santet Masuk Rancangan KUHP, Ternyata Begini Cara Menjerat Pelaku
Ikuti tulisan menarik safira Suryawati lainnya di sini.