x

Sekelompok warga dari Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Demokrasi melakukan aksi saat berlangsungnya Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad, 15 September 2019. Aksi yang bertepatan dengan Hari Demokrasi Internasional tersebut sebagai bentuk penolakan terhadap revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). ANTARA/Aprillio Akbar

Iklan

Tuhombowo Wau

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 September 2019

Senin, 23 September 2019 05:41 WIB

Perlukah Ada Pasal yang Wajibkan Hewan Ternak Tercatat di Kartu Keluarga?

Bagaimana mungkin nanti setiap hari kantor polisi penuh sesak orang-orang yang melapor dugaan pelanggaran pasal 278 dan 279 oleh tetangganya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pengesahan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Revisi KUHP) diputuskan ditunda sementara waktu, mengingat masih ada beberapa hal yang perlu dipelajari lebih lanjut untuk disempurnakan.

Inisiasi penundaan berasal dari pihak pemerintah, yang disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat, 20 September 2019. Presiden Jokowi meminta pengesahan dilakukan bersama anggota DPR RI di periode mendatang.

"Setelah mendengar masukan-masukan, saya berkesimpulan masih ada materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahan tidak dilakukan DPR periode ini. Saya juga memerintahkan Menteri Hukum dan HAM menjaring masukan dari pelbagai kalangan masyarakat sebagai bahan menyempurnakan RUU KUHP yang ada," ujar Presiden Jokowi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika menurut Presiden Jokowi penundaaan terjadi sebab adanya masukan-masukan dari masyarakat, sebenarnya lebih tepat adalah ada beberapa pasal yang mestinya tidak diakomodasi karena dinilai tidak logis dan cenderung multitafsir (pasal karet).

Pasal-pasal karet tersebut misalnya yang mengatur tentang keberadaan hewan peliharaan warga. Aturannya tercantum dalam pasal 278 dan 279, yang masing-masing bunyinya sebagai berikut:

Pasal 278 berbunyi: "Setiap orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II."

Sementara pasal 279 berbunyi: 

Ayat 1: "Setiap orang yang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II," dan 

Ayat 2: "Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas untuk negara."

Sebagai keterangan, jumlah denda yang masuk dalam Kategori II yang dimaksud adalah sebanyak Rp 10 juta. Selanjutnya, mewakili Anggota Panja Revisi KUHP, Nasir Djamil menjelaskan bahwa kedua pasal di atas dibuat untuk menjawab keluhan masyarakat di desa terkait hewan ternak yang tidak bisa ditertibkan, misalnya tiba-tiba ada di jalan raya dan kemudian mengakibatkan kecelakaan.

"Ketika terjadi kecelakaan biasanya pemiliknya enggak mengaku. Oleh sebab itu aturan untuk mengatur itu ada," ujar Nasir Djamil, Kamis, 19 September 2019.

Jenis hewan ternak apakah yang tidak bisa ditertibkan itu? Rasanya hewan yang tergolong tertib itu adalah bebek atau itik. Lihat saja kalau berjalan bergerombol, mereka cukup rapi dan berbaris di antrian.

Apakah maksudnya hewan sejenis bebek atau itik yang dianjurkan untuk dipelihara? Bagaimana dengan hewan jenis lain, apakah sebaiknya dilepasliarkan? 

Baiklah bahwa supaya setiap orang yang mau memelihara hewan mestinya memberi perhatian sungguh-sungguh. Pertanyaannya, apakah hewan seperti manusia yang mudah diatur dan cepat mengerti?

Bagaimana dengan ayam, apakah maksudnya tetap berada di kandangnya dari pagi sampai malam dan tidak boleh sedikit pun mengais makanan di pekarangan atau di taman?

Adakah bukti seseorang yang tertangkap mata dan/atau tangan membiarkan ayam (unggas) peliharaannya masuk lahan orang padahal di sana sudah ditaburi benih tanaman (meskipun sulit membedakan lahan yang sudah ada benih dengan yang belum, khususnya di desa)?

Terkait penegakkan sanksi, bagaimana mungkin nanti setiap hari kantor polisi penuh sesak orang-orang yang melapor dugaan pelanggaran pasal 278 dan 279 oleh tetangganya?

Harus dipahami, dengan adanya dua pasal itu, masyarakat desa pada akhirnya akan lebih senang lapor-melapor ke polisi daripada melakukan mediasi kekeluargaan jika ada masalah, sekecil apa pun itu. Dan ini sangat membahayakan keharmonisan bersama di desa.

Semoga dampak dari penerapan dua pasal tersebut tidak membuat seseorang atau kelompok tertentu sampai berniat mendirikan sekolah atau lembaga pendidikan khusus untuk menertibkan hewan ternak.

Sekali lagi, selain multitafsir, dua pasal "mahakarya" di atas sulit diterima akal sehat. Apalagi seandainya betul diterapkan, belum tentu semua orang tahu dan paham.

Sepertinya butuh waktu 101 tahun untuk menyosialisasikannya ke masyarakat, sama dengan usia keberadaan KUHP (lama) yang dianggap produk kolonial, yang sampai sekarang juga belum mengakar di masyarakat.

Semoga pula tidak ada aturan (yang dimuat juga dalam pasal-pasal) yang mewajibkan setiap hewan yang dipelihara harus didaftarkan pada Kartu Keluarga lengkap dengan nama, agar jika suatu saat hewan itu melanggar langsung diketahui siapa pemiliknya.

Ikuti tulisan menarik Tuhombowo Wau lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB