Kepekaan elite politik kita terhadap keinginan dan harapan rakyat mungkin tidak begitu tajam. Andaikan elite politik sensitif terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan rakyat, kehebohan dalam beberapa hari terakhir sebenarnya tidak perlu terjadi. Baik elite yang duduk di pemerintahan, parlemen, maupun partai politik seakan-akan merasa dirinya lebih tahu dan paling tahu mengenai apa yang terbaik bagi rakyat dan bangsa ini. Karena itu, mereka enggan mendengar suara rakyat.
Rakyat, yang suaranya diperebutkan di masa pilpres dan pileg, diabaikan dan tidak diajak berbicara. Kepekaan elite politik terlihat tumpul karena begitu jarang mereka terjun menemui rakyat secara langsung untuk mengetahui, memahami, dan berempati pada persoalan yang dihadapi rakyat serta menyerap aspirasi mereka.
Inti demokrasi terletak pada praksis yang substantif—bukan sekedar prosedur, slogan, maupun komitmen. Komitmen pada demokrasi tidak cukup berhenti di atas kertas, tidak cukup diucapkan sebagai slogan, juga tidak cukup ditekankan berulang-ulang hanya agar orang lain percaya bahwa dirinya pro-demokrasi. Komitmen pada demokrasi harus dipraktikkan dalam sikap dan tindakan.
Ketika pemerintah dan DPR begitu tergesa-gesa menyelesaikan berbagai perundangan maupun revisinya dalam waktu yang singkat, dan suara rakyat tidak didengarkan, apakah demokrasi semacam itu yang ingin kita wujudkan? Ketika praktik demokrasi yang tergesa-gesa dan sembunyi-sembunyi itu dijalankan, kelirukah jika rakyat mempertanyakan? Apakah karena eksekutif dan legislatif sudah saling berbicara, maka praktik demokrasi sudah terlaksana?
Ketika suara protes rakyat tidak juga didengar dan diperhatikan, salahkah bila mahasiswa turun ke jalan? Tatkala mahasiswa akhirnya berdemonstrasi, seorang menteri bilang: “Turun ke jalan itu tidak etis, mestinya mereka bisa berdialog.” Bagaimana bisa menyebut mahasiswa tidak etis, padahal justru pemerintah dan parlemen yang tidak pernah mengajak rakyat bertukar pikiran dan berdialog? Andaikan sejak awal pemerintah dan parlemen menghimpun pandangan rakyat dari berbagai lapisan dan unsur, kehebohan ini tidak akan terjadi. Lihatlah bagaimana proses pemilihan calom pimpinan baru KPK, bahkan suara rakyat pun tidak dipedulikan oleh panitia seleksi maupun pemerintah dan DPR.
Praktik demokrasi yang sehat tidak cukup hanya diwujudkan dalam pilpres dan pileg yang mengundang rakyat untuk datang ke TPS atau eksekutif dan legislatif sudah bertemu dan berbicara—soalnya ialah bagaimana bila ternyata kehendak rakyat tidak diadopsi oleh keduanya? Praktik demokrasi yang sehat juga harus menyertakan rakyat dalam membicarakan aturan-aturan yang akan mengikat kehidupan mereka.
Demokrasi adalah ikhtiar menemukan kesepakatan di tengah keragaman masyarakat, bukan mendiktekan kemauan elite politik-ekonomi kepada mayoritas rakyat. Dan komitmen pada demokrasi mesti ditunjukkan melalui ikhtiar-ikhtiar untuk menemukan kesepakatan itu atas dasar saling menghargai. Ketika presiden sudah terpilih dan anggota DPR/DPD pun sudah terpilih, tidak berarti mereka boleh mengisi blanko sesuka hati, apa lagi jika untuk menyenangkan para elite politik-ekonomi. Sebab, mandat itu berasal dari rakyat. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.