Polemik mengenai buzzer belum reda. Staf Khusus Presiden bidang komunikasi, Adita Irawati, membantah adanya buzzer istana yang terdengar di kalangan warganet.
“Buzzer istana ini kan istilah yang diciptakan oleh netizen sendiri. Kami itu secara official enggak pernah ada buzzer istana,” ujar ujar Adita di Jakarta, 5 Oktober 2019. Namun, Adita tidak memungkiri banyak netizen membentuk blok tertentu. Di antara blok-blok tersebut, menurut dia , ada yang bersifat organik, asli manusia bukan mesin, tetapi ada pula yang bersifat anorganik.
“Nah yang organik ini, ini betul-betul militansinya luar biasa sehingga (dalam tanda kutip) membela, men-defense, apa yang menjadi program atau keputusan dari pemerintah,” kata Adita. Ia mengakui sebagian besar adalah relawan Jokowi yang melakukan tanpa ada instruksi.
Boleh jadi, tidak ada buzzer yang secara formal terhubung dengan Istana. Tapi setidaknya ada sejumlah dampak buruk dari buzzer militan pro Jokowi di medsos, dan justru merugikan Presiden Jokowi.
1.Membikin keruh perbincangan publik
Banyak buzzer membikin polemik di media sosial amat keruh. Topik yang diperbicangkan menjadi kurang jelas. Terkadang bukan esensi persoalan yang bicarakan, melainkan melenceng ke urusan lain. Tidak sedikit buzzer yang menyerang pihak yang mengritik pemerintah. Serangan seringkali tidak berkaitan langsung dengan esensi persoalan.
Masalahnya, citra buzzer pendukung yang buruk akan membikin citra Presiden Jokowi juga ikut buruk. Karena itu, Presiden seharusnya tidak membiarkan pula warganya diserang atau jadi bulan-bulan kelompok pendukungnya.
2.Menutup kritik terhadap pemerintah
Aktivitas buzzer yang militan dalam mendukung pemerintah juga menimbulkan dampak negatif yang lain. Pemerintah menjadi tidak mendengar secara jelas kritik masyarakat. Padahal kritik dan aspirasi masyarakat amat penting agar pemerintah bisa membikin kebijakan yang pas.
Persoalan itu menjadi amat krusial karena lembaga politik formal seperti DPR cenderung tidak memperhatikan lagi aspirasi publik. Medsos yang sebetulnya menjadi andalan masyarakat sebagai saluran kritik bisa terhambat oleh para buzzer pro pemerintah.
3.Melemahkan fungsi juru bicara dan humas pemerintah
Jika pemerintah membiarkan para buzzer terlalu dominan dalam menyokong dan menjelaskan kebijakan pemerintah, maka fungsi lembaga formal akan berkurang. Juru bicara dan humas menjadi tenggelam dalam menyebarkan program pemerintah, terutama di media sosial.
Juru bicara dan humas resmi seharusnya lebih aktif dan berani menjelaskan secara gamblang setiap kebijakan pemerintah. Bahkan berani adu argumen dengan publik. Soalnya, merekalah yang digaji resmi dengan menggunakan anggaran negara. ***
Ikuti tulisan menarik Ratna Asri lainnya di sini.