x

Cover buku Merawat Bangsa

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 10 Oktober 2019 11:11 WIB

Merawat Bangsa - Peran Dokter Dalam Dunia Politik dan Kesehatan Rakyat

Peran dokter dan mahasiswa sekolah dokter dalam penumbuhan kesadaran berbangsa dan kiprak profesional mereka di dunia kesehatan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Artikel ini telah terbit di Harian Suara Merdeka, Munggu 6 Oktober 2019 dengan judul "Para Dokter Merawat Kebangsaan."

 

Judul: Merawat Bangsa – Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Judul Asli: Nurturing Indonesia – Medicine and Decolonisation in the Dutch East India

Penulis: Hans Pols

Penterjemah: Thomas Bambang Murtianto

Tahun Terbit: 2019

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tebal: xx + 380

ISBN: 978-602-412-552-3
Pada masa Hindia Belanda, kesempatan pribumi untuk menikmati pendidikan adalah melalui Sekolah Calon Pamongpraja, Sekolah Dokter Jawa dan Sekolah Teknik. Namun kalau kita amati, sebagian besar pejuang Kebangkitan Nasional berasal dari para dokter. Mengapa bisa demikian? Dalam buku ini Hans Pols menjawab sebab musabab mengapa para dokter bisa mempunyai peran yang begitu dominan dan terorganisir dalam penumbuhan rasa kebangsaan para pribumi. Faktor kesamaan latar belakang sosial (orang miskin), sistem asrama saat menjadi mahasiswa dan kondisi kurang dihargai saat telah menjadi dokter membuat para medis ini menjadi pejuang-pejuang kebangkitan nasional yang tangguh dan terorganisir.

Saya mendapat buku ini dari dr. Rudi Pekerti yang saat itu hadir dalam launching buku karya Prof. Hans Pols ini. Saya memesannya melalui dr. Rudi Pekerti supaya mendapatkan buku dengan tanda-tangan penulisnya. Ketika buku ini berada di tangan saya, saya baru saja menyelesaikan membaca buku biografi dr. Rusdhy Hoesen yang berjudul “Berbagi Kehidupan.” Dalam catatan yang saya buat dari buku dr. Rusdhy Hoesen saya menyinggung beberapa nama dokter yang berkarya di luar bidangnya. Dalam buku “Merawat Kebangsaan” ini saya mendapatkan penjelasan yang lebih rinci tentang mengapa dan bagaimana para dokter medis tersebut bisa berperan di luar bidangnya. Saya juga mendapat informasi nama-nama baru yang sebelumnya saya tidak tahu bahwa mereka juga berlatar belakang dokter atau setidaknya pernah belajar di jurusan kedokteran, seperti Soedarpo, Ibnu Sutowo, dan Kartosuwiryo. Peran para dokter ini di bidang kebangsaan mendominasi dari sejak awal kesadaran kebangsaan sampai dengan masa Orde Baru.

Dalam buku ini Hans Pols menggambarkan bagaimana para dokter pribumi berjuang untuk kesetaraan status sosial, status profesional yang bermuara kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada masa awal, para pemuda pribumi yang berhasil menyandang gelar dokter berusaha untuk memperjuangkan kesetaraan sosial dengan orang Belanda. Perjuangan yang sulit ini kemudian berkembang ke perjuangan untuk penghargaan profesi mereka sebagai sesama dokter profesional, dan akhirnya mereka berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Selain dari memperjuangkan status sosial dan profesional, mereka juga mengupayakan kesehatan masyarakat, pendidikan dan perjuangan politik bagi bangsanya.

Hans Pols menggunakan pendekatan kronologis dan memilih tokoh-tokoh utama di setiap periode untuk menguraikan peran dokter sejak jaman Hindia Belanda sampai dengan jaman Orde Baru. Dengan paparan kronologis kita bisa melihat perubahan orientasi perjuangan para dokter. Bisa diringkaskan bahwa perjuangan para dokter dimulai dengan perjuangan status sosial di jaman sebelum Kebangkitan Nasional, perjuangan politik di era Kebangkitan Nasional sampai dengan Kemerdekaan – termasuk di era Jepang, peran di berbagai bidang pemerintahan di era Orde Lama dan perjuangan profesional untuk memperbaiki kesehatan masyarakat di era Orde Baru.

Ilmu kedokteran modern telah mengubah pandangan orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Orang-orang Belanda yang dulunya menganggap bahwa ras kulit putih tidak bisa bertahan di daerah tropis karena banyaknya penyakit, telah berubah pandangannya. Melalui ilmu kedokteran modern, orang Eropa memakai pendekatan baru dalam mencari solusi untuk masalah penyakit tropis. Mereka mencari tahu apa yang menjadi penyebab penyakit sehingga penyakit tersebut bisa diatasi. Sementara itu bagi orang-orang pribumi, ilmu kedokteran modern telah membantu mereka untuk melakukan diagnosa sosial bangsanya. Dengan menggunakan pola pikir kedokteran modern, para dokter pribumi melakukan analisis terhadap kondisi kemiskinan dan keterpurukan bangsanya.

Sekolah kedokteran dibangun pertama di Hindia Belanda tahun 1851. Sekolah kedokteran ini gratis. Lulusannya, sebagai dokter Jawa harus mengabdi selama 10 tahun dengan gaji yang sangat kecil. Itulah sebabnya sekolah dokter Jawa hanya diminati oleh keluarga bangsawan rendahan dan miskin. Sekolah kedokteran tidak cukup menarik bagi keluarga bangsawan kaya. Mereka lebih tertarik memasukkan anak-anaknya ke sekolah calon pegawai dimana lulusannya akan mendapatkan pekerjaan dengan imbalan yang tinggi. Dokter Jawa dianggap sebagai pegawai rendahan saja. Mereka tidak boleh menggunakan simbol-simbol priyayi, seperti paying, kereta kuda dan sebagainya.

Seiring dengan penerapan politik etis, kurikulum pendidikan kedokteran bagi pribumi di Hindia Belanda mulai dibenahi. Namun posisi sosial lulusannya masih tetap ditempatkan sebagai pegawai rendahan. Akibat dari perlakuan ini para dokter Jawa mulai melakukan perlawanan.

Berkembangnya ilmu kedokteran tidak saja menarik bagi orang-orang Eropa, tetapi juga bagi pemuda pribumi. Abdul Rivai adalah salah satu pemuda yang berhasil mendapatkan gelar dokter dari universitas di Eropa. Pemuda Minang ini berupaya untuk menyamakan kedudukan sosialnya dengan orang Eropa. Ia meninggalkan pakaian tradisional Minang dan menggantinya dengan pakaian barat. Perubahan ini ditentang oleh orang-orang di kampungnya di Sumatra Barat. Namun Abdul Rivai tidak peduli dengan hal tersebut. Ia bahkan mendapatkan kewarganegaraan Belanda dan menikahi perempuan Belanda. Meski secara intelektual, hukum dan perilaku telah berubah menjadi Eropa, namun ternyata Abdul Rivai mengalami perlakuan yang tidak baik dari para dokter Eropa. Ia tetap dianggap sebagai pribumi dan tetap direndahkan dalam pergaulan.

Selain berjuang melalui jalur sosial, Abdul Rivai berjuang melalui jalur politik. Ia mendirikan majalah dua mingguan Pewarta Wolanda dan kemudian Bintang Hindia Belanda. Melalui penerbitan ini Abdul Rivai memperjuangkan kemajuan pribumi dengan menyambut kemajuan ilmu pengetahuan untuk menata ulang budaya dan tradisi asli. Ia menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan tidak saja harus diterapkan orang Eropa terhadap Hindia Belanda, tetapi justru harus disesuaikan oleh intelektual pribumi untuk pengembangan platform politik, untuk penataan ulang budaya dan tradisi asli, alat untuk analisis sosial dan akhirnya kritik terhadap aturan-aturan kolonial (hal. 36). Gagasan-gagasan Abdul Rivai ini didukung oleh dr. Tjipto Mangoenkoesoemo.

Abdul Rivai yang sangat Eropa akhirnya menyadari bahwa ia tidak akan bisa menjadi orang Eropa. Ia kembali ke Hindia Belanda dan terpilih menjadi anggota volksraad. Bagaimanapun perjuangannya untuk menuntut kesamaan status sosial telah memberikan gagasan bagi dokter-dokter lain di Hindia Belanda untuk mengorganisir diri demi kemajuan bangsanya.

Sistem pemondokan untuk para mahasiswa kedokteran telah membuat hubungan antar Angkatan begitu erat. Angkatan yang lebih tua menjadi mentor bagi angkatan berikutnya. Model ini membuat mereka mempunyai pengalaman ikatan multi-etnis dan lepas dari ikatan-ikatan tradisional. Model inilah kemudian yang menyuburkan perasaan kebangsaan di kalangan mahasiswa sekolah kedokteran Jawa (hal. 74).

Perlakuan diskriminatif oleh para dokter Eropa dan penghargaan yang sangat rendah oleh Pemerintah Hindia Belanda menjadi penyebab para dokter pribumi untuk Bersatu memperjuangkan nasipnya. Perjuangan yang terus-menerus ini membuka kesadaran mereka tentang rasa kebangsaan. Para dokter pribumi ini tidak hanya memperjuangkan nasipnya sendiri, tetapi juga memperjuangkan nasip bangsanya.

Para mahasiswa sekolah kedokteran (STOVIA) dan alumninya yang berasal dari suku Jawa mendirikan organisasi Boedi Oetomo. Boedi Oetomo adalah hasil dari kehidupan intelektual yang dinamis di STOVIA (hal. 91). Organisasi inilah yang dianggap sebagai tonggak kebangkitan nasional. Boedi Oetomo bergerak di bidang sosial, yaitu berupaya untuk meningkatkan pendidikan bagi kaum bumi putera. Namun demikian, setelah Boedi Oetomo diisi oleh para bupati, sebagian dari pendirinya dan pemrakarsa yang kemudian mencari cara lain dalam berjuang. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soerjadi Soerjaningrat memilih jalur partai.

Berdirinya Boedi Oetomo juga mengilhami dokter-dokter dari suku lain untuk membentuk organisasi-organisasi pelajar yang bersifat kedaerahan. Misalnya Tengkoe Mansoer mendirikan Jong Sumatranen Bond (hal. 118), Djabangoen Harahap mendirikan Jong Batak (hal. 119), Tom Kandau mendirikan Asosiasi Pelajar Minahasa (hal. 121) dan perkumpulan lainnya.

Selain dari perjuangan di bidang sosial dan politik, para dokter pribumi di jaman Hindia Belanda juga berjuang untuk menegakkan posisi profesional mereka. Dokter-dokter Eropa mempertanyakan kualifikasi, karakter, dan moral para dokter pribumi (hal. 127).  Selain direndahkan oleh para koleganya dari Eropa, para dokter pribumi juga dilecehkan oleh Pemerintah dengan imbalan yang sangat kecil. Merespon kondisi yang demikian, para dokter pribumi mendirikan Perkumpulan Dokter-dokter Pribumi. Pada tanggal 17 September 1909 dr. Tehupeiory, seorang dokter asal Maluku mendirikan Perkumpulan Dokter Pribumi. Tujuan perkumpulan ini adalah untuk memperjuangkan nasip dari para dokter pribumi yang tidak dihargai oleh pemerintah. Perkumpulan ini juga memperjuangkan kesamaan dari segi profesi, seperti kesempatan melakukan penelitian dan penerbitan karya ilmiah.

Perkumpulan Dokter Pribumi ini berperan besar ketika teori karakteristik dan mental orang Melayu yang jelek dikumandangkan oleh para psikiater Belanda. Para dokter pribumi ini melakukan serangan balik yang menunjukkan bahwa sifat-sifat jelek, emosional itu juga ada di orang-orang Eropa. Para dokter pribumi telah berhasil melawan pendapat bahwa orang bumi putera mempunyai sifat dan karakteristik yang lebih rendah dari orang Eropa.

Peran lain dari para dokter pribumi yang sudah lebih terorganisir ini adalah dalam menyebarkan gagasan Yayasan Rockefeller tentang kesehatan masyarakat. Melalui pilot proyek di Banyumas, Yayasan Rockefeller meyakinkan bahwa infestasi terbaik dalam kesehatan adalah dengan mendidik masyarakat supaya hidup lebih sehat. Jika masyarakat sehat maka mereka akan lebih produktif. Gagasan ini tidak terlalu direspon oleh para dokter Eropa, tetapi disambut baik oleh para dokter pribumi.

Para dokter pribumi ini berperan sangat besar pada masa Jepang dan awal kemerdekaan. Khususnya di era konfrontasi dengan Belanda. Di era konfrontasi dan era Indonesia Serikat memang suara para dokter pribumi tidak satu. Ada beberapa dokter yang memilih untuk pro Belanda, menyetujui gagasan Indonesia Serikat dan ada yang pro Republik Indonesia.

Di rea Suharto, para dokter berperan besar dalam meningkatkan mutu kesehatan masyarakat. Para dokter ini berperan besar dalam menangani masalah kesehatan ibu dan anak, pemberantasan penyakit menular – khususnya cacar, keluarga berencana dan kesehatan masyarakat melalui Pusat Kesehatan Masyarakat dan Pos Pelayanan Terpadu.  

Buku ini berhenti sampai dengan jaman Suharto. Sekolah kedokteran didirikan oleh Willem Bosch sebagai reaksi terhadap wabah tifus di Jawa Tengah yang parah (hal. 63). Itulah sebabnya orientasi para dokter pribumi di era Hindia Belanda adalah pada kesehatan masyarakat. Buku ini telah menunjukkan mengapa para dokter tersebut menjadi garda depan kebangkitan nasional sehingga mampu mengantarkan rakyat Indonesia menuju gerbang kemerdekaan. Para dokter juga telah berperan besar dalam meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia.

Kondisi dokter di masa kini sudah sangat berbeda dengan jaman Hindia Belanda. Kebanyakan dokter di masa kini sudah sangat makmur. Secara sosial para dokter juga mendapatkan tempat yang tinggi di masyarakat. Apakah peran mereka dalam menjaga bangsa masih sama dengan jaman Hindia Belanda? Apakah oreintasi mereka masih kepada kesehatan masyarakat atau kesehatan individu yang lebih menjanjikan secara ekonomi? Atau mereka sudah kehilangan semangat perjuangan dan lebih menikmati kenyamanan hidupnya? Saya rasa perlu ada penelitian tentang hal ini. Apalagi kondisi bangsa sejak Reformasi masih belum sepenuhnya stabil.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler