x

Eka Kurniawan. Facebook/@Eka Kurniawan

Iklan

tuluswijanarko

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 11 Oktober 2019 20:26 WIB

Kegelisahan Eka Kurniawan: Belum Ada yang Bisa Menggantikan Pram dan Chairil Anwar

Eka memang jenis sastrawan yang memiliki banyak kegelisahan, yang  terentang dari mulai problem estetika penulis hingga lingkungan kebudayaan yang lebih luas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sastrawan Eka menyatakan menolak penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 yang akan diberikan pemerintah kepada dirinya. Penulis sejumlah novel itu mengatakan alasan penolakan adalah karena pemerintah tidak cukup memberi pengheragaan kepada kerja-kerja kebudayaan.

Eka Kurniawan menuliskan sikapnya itu di akun Facebook miliknya pada Rabu, 9 Oktober 2019. Dia menuliskan sikapnya dengan judul: Apakah Negara Sungguh-Sungguh Memiliki Komitmen dalam Memberi Apresiasi Kepada Kerja-Kerja Kebudayaan? "Saya memutuskan tidak datang pada tanggal 10 Oktober 2019 bahwa saya menolak Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019," tulis penerima penghargaan Princa Claus Award, 2018, ini.

Di laman itu Eka Kurniawan juga membeberkan berbagai kondisi yang terjadi pada sastrawan, jaminan kebebasan berkarya, sampai pemberangusan buku-buku yang dianggap berbahaya oleh pemerintah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Eka memang jenis sastrawan yang memiliki banyak kegelisahan, yang  terentang dari mulai problem estetika penulis hingga lingkungan kebudayaan yang lebih luas. Dalam sebuah wawnacara dengan Majalah Tempo (Maret, 2016), ia mengungkapkan salah satu kegelisahannya yakni hingga kini belum ada yang bisa menggantikan posisi Pramoedya Ananta Toer dan penyair Chairil Anwar.

“Ada satu hal yang sangat menggangguku. Secara pribadi, aku merasa sampai sekarang novelis terbaik masih Pramoedya Ananta Toer dan penyair terbaik masih Chairil Anwar. Ini mengganggu karena sudah berlalu 70 tahun dari generasi mereka tapi tidak ada pengganti,” kata dia, waktu itu.

Menurut Eka, salah satu hambatan yang ada adalah belum ada penulis yang yang memiliki dedikasi seperti mereka. Eka mencontohkan bahwa Pram hingga usia 60-an tahun masih terus menulis. "Tidak banyak yang bisa mempertahankan dedikasi sepanjang itu."

Problem lain, kata dia, adalah sastra mainstream Indonesia tidak mengakomodasi banyak genre. “Di arus utama, misalnya, kita tidak membicarakan Kho Ping Hoo secara kritis. Itu hanya dibaca tanpa ditelaah sebagai sastra,” kata dia

Kalau di luar, penulis seperti Edgar Allan Poe dan Agatha Christie punya tempat. Mereka tidak lebih rendah dari genre lain. Banyak kajian serius dilakukan atas karya-karya mereka. “Di Indonesia, genre-genre seperti itu hampir tidak tersentuh. Karya-karya itu seharusnya mendapat tempat dan kita membicarakan itu dengan selayaknya.”

Eka bertekad akan meneladani Pramoedya yang menjadi panutannya sebagau penulis. “Pengaruh Pram paling besar pada aku adalah spiritnya. Banyak aspek terkait dengan spiritnya dalam menulis yang aku adopsi. Meskipun dalam cara pandang tentu berbeda.”

Ikuti tulisan menarik tuluswijanarko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler