x

Najwa Shihab. Instagram.com

Iklan

Febrianto Edo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2019

Sabtu, 12 Oktober 2019 21:14 WIB

Najwa Shihab, Dromologi dan Framing Media Sosial

Kepekaan masyarakat maya akan informasi berkelindan dengan ekspresi mereka di media sosial. Artinya, masyarakat maya cenderung mengikuti dan mengunyah informasi di media sosial yang kebenarannya dipertanyakan, alias hanya segumpalan riuh dan chaos di media sosial (baca; post truth).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pro dan kontra Undang-Undang KPK dan RUU KUHP terus bergulir mewarnai media sosial. Tak ayal, jurnalis senior Najwa Shihab terseret framing media sosial dan dituduh sebagai antek Orde Baru. Framing itu bermula dari foto lamanya dengan Tomy Soeharto, Lieus Sungkharisma dan Ichsanuddin Noorsy, pada 22 November 2017 lalu. Hal ini menarik untuk dikaji, sejauh mana media sosial mempengaruhi persepsi publik dengan framing yang dibangun.

Propaganda baik dalam bentuk foto dan narasi di media sosial sudah menjadi konsumsi publik, baik yang dikapitalisasi oleh pelaku politik, tim sukses, relawan, maupun insiatif pribadi masyarakat maya. Media sosial merupakan tempat memainkan wacana yang absurd. Memantik emosi masyarakat dengan wacana yang fitnah, kebencian secara frontal, penuh amarah.

Kepekaan masyarakat maya akan informasi berkelindan dengan ekspresi mereka di media sosial. Artinya, masyarakat maya cenderung mengikuti dan mengunyah informasi di media sosial yang kebenarannya dipertanyakan, alias hanya segumpalan riuh dan chaos di media sosial (baca; post truth). Dengan kata lain, persepsi masyarakat mengikuti pola informasi baik dalam bentuk meme, foto, video maupun narasi di media sosial. Seperti framing foto dan narasi antek Orba untuk Najwa Shihab yang berkelindan dengan program acara Najwa Shihab di Trans7.

Framing yang dibangun tentu memiliki makna tak tunggal. Sebagai presenter terkenal Najwa Shihab tentu memiliki daya tarik tersendiri dalam mengurai berbagai persoalan di negeri ini. Persoalan tersebut salah satunya adalah Undang-Undang KPK yang mungkin membuat sebagai orang geram karena Najwa Shihab terkesan membela KPK. Kegeraman tersebut diwujudkan menjadi framing fitnah di media sosial.

Lewat instrumen media sosial framing tersebut disebar, di mana media sosial erat kaitannya dengan dromologi, bagaimana media sosial menggelinding informasi dengan sistem kecepatan atau dromologi. Framing Najwa Shihab adalah salah satu indikator bagaimana dromologi bekerja, dan menyesakkan dinding media sosial dengan berbagai tanggapan publik. Masyarakat maya pun kelimpungan, bersahutan komentar antara satu sama lain.

Media sosial selalu gemar melemparkan wacana tak beratur kepada publik sehingga membingungkan publik dengan diksi yang digunakan. Bahkan menjerumus pada komentar tidak substansial. Publik riuh, media sosial bising. Masyarakat maya saling curiga, adu kecepatan, argumentasi, kreatifitas bahkan adu kebohongan di media sosial. Terkadang tertawa terbahak-bahak, tersenyum, terharu bahkan marah sekalipun terpampang di media sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Magis Dromologi

Dromologi berasal dari kata “drome” yang merujuk pada jalur lomba lari atau tempat balapan mobil, dalam kajian, Virilio (199a:91). Ini mengindikasikasi minat utamanya pada “pentingnya kecepatan yang menentukan”. Pada tingkat yang lebih luas, Virilio tertarik dengan hancurnya batas-batas yang disebabkan oleh perubahan teknologi dalam bentuk transportasi, komunikasi, telekomunikasi dan komputerisasi.

Teknologi informasi mempengaruhi persepsi publik dengan metode kecepatan merupakan efek yang tak terhindarkan dari industri informasi 4.0. Merekam denyut dunia teknologi hari ini, konsekuensi logis pesatnya perubahan yang harus didukung dengan sumber daya manusia.

Peran media sosial dalam aktifitas politik baik Facebook, Twitter, Instagram, dan Whatsapp, ikut meramaikan pesta lima tahunan itu.Tak dapat disangkal, demokrasi kita sudah beranjak pada cyberdemokrasi sebagai alternatif melakukan aktifitas politik. Bahkan, saban hari kita merasakan geliat vitual yang berhala (simulacra). Kita berharap semua itu tidak mengabaikan fakta dan substansi, cita-cita sederhana demokrasi, kesejahteraan bersama dan kebahagiaan bersama (bonum commune).


Framing Najwa Shihab

Beredarnya foto lama Najwa Shihab dengan Tomy Soeharto tersebut mencederai profesionalitas jurnalisme. Untuk menjaga profesionalitas itu Najwa Shihab memberi tanggapan lewat akun pribadi media sosialnya, bahwa apa yang dituduhkan adalah framing. Framing itu sendiri merupakan metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atau peristiwa. Atau analisis yang dipakai untuk melihat bagaimana media mengkonstruksikan realitas, (Eriyanto, 2000, hl. 11).

Pada dasarnya media memiliki kekuatan besar untuk menyampaikan fakta dan pendidikan politik kepada masyarakat. Cara bercerita media berkelindan dengan persepsi publik, bahkan ruang gema media sosial sekalipun. Ruang media konvensional dengan story telling yang efektif akan berdampak pada ruang gema media sosial dan persepsi publik.

George Junus Aditjondro mengatakan dalam wacana berita, pihak-pihak yang bersengketa berusaha menampilkan sisi informasi yang ingin ditonjolkan (sambil menyembuyikan sisi-sisi lain), sambil mengaksentuasikan kesahihan pandangannya dengan mengacu pada pengetahuaan, ketidaktahuaan serta perasaan pembaca, (Eriyanto, 2000, hl.232). Apa yang kita saksiskan sekarang adalah framing yang dibangun dalam foto Najwa Shihab dan Tomy Soeharto dengan narasi fitnah guna menghancurkan reputasi jurnalis senior tersebut di mata publik.

Dalam hal ini, media sosial harus memberi sebuah ikhtiar yang benar akan makna kepada publik, dengan menampilkan berita yang bermakna dan efektif. Media sosial harus membawa jalan baru bagi pemahaman publik terhadap isi pesan. Media sosial hendaknya mengkonstruksi secara mendalam dan faktual suatu realitas yang ada. Konstruksi suatu realitas akan berdampak besar bagi pemahaman publik juga ruang gema media sosial. Media sosial kita yang penuh dengan cacian, hoaks dan sensasional akan hilang dari hadapan publik.

Untuk itu, cara bercerita media sangat dibutuhkan di tengah arus informasi yang luar biasa pesat ini. Cara bercerita hendaklah mengkonstruksi suatu realitas yang substansial, sehingga masyarakat tercerahkan melalui berita, kolom atau opini yang ditampilkan media.

Robert N. Entman melihat framing dalam dua isu dan penekanan dari aspek-aspek tertentu. Di mana penonjolan proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti atau lebih diingat oleh khalayak, (Robert Entman, “Framing Toword Clarification Of a Fractured Paradigm”, hl.53).

Dalam ikhtiar itu media sosial selalu membawa nilai kepentingan bersama dalam mengemas suatu informasi. Dengan penonjolan aspek-aspek tertentu yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, konstruksi suatu isu atau realitas harus berkelindan dengan kepentingan publik, seperti apa yang digambarkan oleh Robert Entman.

Pertanyaannya, apakah media tidak tersandera dengan simbol-simbol yang membuat suasana diskursus rasa sensasional. Tetapi, bukankah media seharusnya mampu menekankan dan menonjolkan makna dengan menuangkan ide dan gagasan yang berkualitas bahkan melampaui wacana komunikasi itu sendiri?

Dengan kata lain, wacana yang digaungkan di media sosial, bermanfaat bagi keberlangsungan bangsa, dan mudah dicerna dalam memori publik. Elite harus mempertontonkan wacana yang berkualitas dan sejauh mungkin menghindar dari gimmick, atau simbol komunikasi yang chaos, syarat sensasional.

Oleh karena itu, kecakapan masyarakat harus ada untuk menganalisis suatu informasi atau wacana, bahkan simbol yang disematkan secara aktif, dan kreatif. Keaktifan masyarakat dan media menjadi prinsip penting yang harus dilakukan dalam paradigma interpretif (wawancara mendalam, pengamatan terlibat). Oleh karena itu, informasi atau isu yang disebarkan di media sosial harus sesuai dengan way of life masyarakat Indonesia.

Dengan kata lain, framing media sosial harus berdasarkan fakta dan konteks tanpa menyebarkan fitnah dan narasi kebohongan. Oleh karena itu, program Mata Najwa, adalah salah satu program televisi yang digemari masyarakat karena gaya presenter Najwa Shihab yang tegas dan meringkas persoalan secara mendalam.

 

Penulis: Damianus Febrianto Edo

Sumber: The Columnist.id

Ikuti tulisan menarik Febrianto Edo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB