x

Dialog Arjuna dan Kresna mengatasi kebimbangan

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 14 Oktober 2019 13:57 WIB

#SeninCoaching: Fakta “Ngeri-Ngeri Sedap” Setiap Prestasi

Lebih lugas lagi, Darren Hardy mengatakan, mereka menjadi seperti para badut yang mengecet wajah ceria, smiling face, untuk mengelabui publik atas situasi batin masing-masing. Karena orang-orang yang senang memelihara excuses, selalu membuat alibi menolak kerja dengan benar, disiplin, dan sulit diajak rendah hati untuk terus memperbaiki diri, sesungguhnya mengalami penderitaan batin. Mohon maaf, apa pantas orang yang mengaku pemimpin, eksekutif profesional, dalam kehidupan kerja dan pribadi berperilaku seperti ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: Achievement is Temporary

 

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Life is like riding a bicycle. To keep your balance you must keep moving” – Albert Einstein.

Di medan pertempuran Kurukshetra itu Arjuna melempar busur panahnya ke lantai kereta. Badannya lemes, hati dan pikirannya galau demi melihat orang-orang yang saling kenal, sebagiannya sesama saudara atau teman main masa kecil, saat itu terpisah dalam dua kelompok pasukan yang siap saling bertempur.

Arjuna, pangeran Pandawa yang dikenal piawai dalam memanah, menolak ikut bertempur. Ia merasa punya ikatan kuat dengan kedua pihak. Batinnya seperti dilanda angin puyuh, tidak mampu memilih. Ia tidak bisa action melakukan eksekusi.

Krishna, juga kita kenal sebagai Batara Kresna, punya perspektif berbeda. Secara fisik saat itu Krishna menjadi sais kereta perang Arjuna. Namun sesungguhnya ia mentor Arjuna. Setelah berdialog mendalam dengan Krishna dan mata hatinya melihat lebih gamblang dimensi lain kehidupan, Arjuna jadi yakin bahwa Batara Kresna mustahil membiarkan dirinya bertempur untuk melahirkan dosa.

Setelah meyakini bahwa bertempur saat itu sebagai “dharma”, tugas mulia atau “selfless action” sebagaimana disampaikan Krishna, dengan mantap Arjuna mengambil kembali busur dan anak panahnya. Arjuna memimpin pasukan Pandawa memenangi pertempuran melawan Kurawa.

Di antara Anda tentu banyak yang sudah tahu tentang pergulatan batin Arjuna dan dialognya dengan Batara Kresna dalam Bhagawat Gita (dalam Bahasa Inggris disebut “The Song of God”). Banyak dari kita yang juga sudah memahami, dalam situasi apa pun kita sebagai pemimpin tetap wajib mengambil keputusan, membuat pilihan, dan melakukan eksekusi–kalau perlu mengenyampingkan selera dan kehendak pribadi atau selfless, demi kepentingan lebih agung.

Pesan moral Bhagawat Gita sama dengan ajaran para utusan Tuhan dalam tradisi agama-agama besar, yaitu: Kita tidak boleh terikat dengan dunia, seperti prestasi yang memanjakan diri (membuat diri berbangga) atau bergelayut dalam ikatan sentimental yang dapat merusak profesionalisme atau mengganggu dharma.

Karena semua itu dapat mengaburkan atau menumpulkan mata batin seseorang, sehingga tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang seolah-olah benar, seperti dialami Arjuna sebelum dapat pencerahan dari Batara Kresna.

Dalam ajaran Islam, Rasulullah Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam antara lain mengatakan, “Dunia itu penjara bagi orang Mukmin dan surga bagi orang kafir.” (Kafir adalah orang yang hati dan pikirannya masih tertutup, belum mau bersyukur, belum mau menerima hidayah untuk menjadi lebih baik).

Dalam kenyataan sehari-hari di organisasi bisnis, nonprofit, dan pemerintahan, prestasi atau achievement sering dijadikan berhala, mengundang sederet pemujaan, dan memenjarakan batin (pelaku dan bahkan pengikutnya). Para pemimpin atau eksekutif yang terjebak dalam kondisi itu, zaman sekarang disebut terkena “leadership blind spot”.  

Bukan berarti kita tidak boleh membangun usaha meraih prestasi atau menjadi kaya di dunia. Sebaliknya dari itu. Kita justru sepantasnya memacu diri memiliki achievement dalam bidang intelektual, spiritual, finansial  agar bisa berkontribusi ke lingkungan kita.

Semua agama di dunia mendorong para pengikutnya bekerja rajin dan secara benar, menjadi kaya atau berkecukupan, agar dapat membantu orang-orang yang memerlukan pertolongan, mengangkat derajat orang miskin, dan memuliakan anak-anak yatim, serta membantu membuat dunia lebih beradab. Hanya saja kita perlu membangun kesadaran dan perilaku lebih cerdas, mampu menyikapi bahwa semua achievements tersebut (intelektual, spiritual, dan finansial) selalu bersifat sementara.

Kalangan eksekutif dan leader yang sudah matang jiwanya selalu menyadari, “achievement is temporary”. Maka mereka terus melakukan perubahan, continuous improvement meningkatkan kompetensi, agar dapat menjemput sederet prestasi dan achievements berikutnya.

Sebaliknya, kalangan orang yang mengaku profesional dan merasa sudah punya prestasi, lalu terikat pada hasil prestasi kemarin, memuja-muja achievement tersebut bak berhala, serta menolak perubahan, umumnya hidup dalam gelembung ego masing-masing. Ego yang menjadi rentan.

Manusia golongan ini sangat hebat dalam menyampaikan excuses, sejumlah alasan dan sederet alibi untuk menikmati kenyamanan hidup dalam kepompong yang dibangunnya. Dari hal sederhana, seperti menolak olah raga dengan alasan sibuk, menghindari kegiatan pengembangan kompetensi (mentoring atau coaching) dengan alasan banyak kerjaan, sampai hal lebih serius seperti malas beribadah kepada Tuhan karena mementingkan mengejar karir dan harta dunia.

Umumnya, kata mentor para CEO dan eksekutif di AS Darren Hardy, “People would rather fall to a good alibi rather than struggle for achievement.

Lebih lugas lagi, Darren Hardy mengatakan, mereka menjadi seperti para badut yang mengecet wajah ceria, smiling face, untuk mengelabui publik atas situasi batin masing-masing. Karena orang-orang yang senang memelihara excuses, selalu membuat alibi menolak kerja dengan benar, disiplin, dan sulit diajak rendah hati untuk terus memperbaiki diri, sesungguhnya tengah mengalami penderitaan batin. Mohon maaf, apa pantas orang yang mengaku pemimpin, eksekutif profesional, dalam kehidupan kerja dan pribadi berperilaku seperti ini?  

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(https://sccoaching.com/coach/mcholid1)    

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB