Sungguh menarik mengamati manuver para tokoh politik akhir-akhir ini, menjelang pengumunan kabinet baru oleh Presiden Joko Widodo. Mula-mula Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang bersua Jokowi di Istana pada 10 Oktober lalu. Sehari kemudian giliran Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang bertemu Jokowi di tempat yang sama.
Hasil dua lobi agaknya berbeda. Partai Demokrat, yang mungkin akan menyodorkan putra SBY, Agus Yudhoyono, untuk masuk kabinet, belum mencapai kesepakatan dengan Jokowi. Indikasi ini terlihat pula dari pernyataan seorang politikus Demokrat yang memberikan sinyal bahwa SBY kemungkinan akan bertemu lagi dengan Jokowi untuk finalisasi.
Kesepakatan Jokowi dengan Partai Gerindra pun sebetulnya juga belum final. Namun hasil lobi partai ini mungkin lebih baik, setidaknya terlihat dari langkah Prabowo yang amat percaya diri dan lincah. Setelah bertemu Jokowi, ia mengadakan safari ke sejumlah pemimpin partai koalisi pemerintah, yakni Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Golkar. Jauh sebelumnya, Prabowo juga pernah bertemu dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Maju mundur sikap Demokrat
Kendati mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno pada pemilu presiden lalu, Partai Demokrat sebetulnya bersikap mengambang. Saat itu Demokrat berharap memasangkan jagonya sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo. Tapi keinginan itu tak tercapai.
Renggangnya hubungan Demokrat dengan koalisi penyokong Prabowo-Sandi itu terlihat sekali dalam kampanye pemilu lalu. Bahkan, jauh hari Demokrat menyatakan akan berpisah dengan koalisi Prabowo begitu hasil pilpres diumumkan. Saat itu pula Demokrat mulai melirik ke kubu Jokowi.
Ikhtiar SBY yang jauh lebih dahulu mendekati Jokowi itu rupanya tidak serta merta membuahkan hasil positif. Faktor X, yakni perseteruan SBY dengan Megawati di masa lalu, boleh jadi masih selalu menjadi ganjalan.
Adapun Prabowo lebih cepat membuka lagi hubungannya dengan Megawati. Kebetulan ia pernah calon wakil presiden mendampingi Mega pada pilpres 2009. Dari aspek ideologi, Partai Gerindra juga tidak jauh berbeda dengan PDIP.
Hal itu jelas membantu mempercepat proses pengakraban kembali Prabowo-Mega. Ini pula yang mungkin menjelaskan: Prabowo kemudian lebih gesit dan percaya diri untuk menemui partai-partai penyokong Jokowi.
Siapa yang mau oposisi?
Inilah pertanyaan yang jauh lebih penting karena menyangkut masa depan demokrasi kita. Jika tidak ada partai besar yang beroposisi, maka pemerintah akan bisa melakukan kebijakan apa saja dan tidak ada yang menentang atau mengkritiknya,
Bila Gerindra dan Demokrat sama-sama bisa dirangkul oleh Jokowi, maka tak ada lagi oposisi yang kuat. Mungkin tinggal Partai Keadilan Sejahtera dan satu-dua partai lain yang tersisa di luar pemerintahan.
Menjadi oposisi di era sekarang sebetulnya akan menguntungkan secara politik . Hal ini perlu dipertimbangkan lagi oleh Gerindra dan Demokrat, mumpung belum kebacut masuk ke pemerintahan. Ketika masyarakat banyak yang kecewa terhadap kebijakan pemerintah, mereka akan cenderung mengeluk-eluknya partai penentang. Bukankah hal ini bisa menjadi tabungan politik yang berharga untuk berlaga dalam pemilu 2024? ***
Baca juga:
Nyinyir di Medsos, PNS Bisa Dipecat: Kenapa Aturan Ini Agak Ngawur?
Ikuti tulisan menarik Anung Suharyono lainnya di sini.