Hingga jarum jam berdetak mengakhiri tanggal 17 Oktober 2019, Presiden Jokowi ternyata belum jua mengeluarkan Perppu KPK. Undang-undang KPK hasil revisi pun diberi nomor 19/2019 dan mulai berlaku. Padahal selama ini rakyat menunggu pemimpinnya mengambil keputusan mengenai isu krusial yang akan memengaruhi perjalanan bangsa ini. Padahal pula, rakyat menanti pemimpinnya bertindak untuk mencegah agar bangsanya tidak tenggelam lebih dalam di kubangan suap dan korupsi.
Sebanyak 42 tokoh nasional yang diundang Presiden Jokowi ke Istana pada 26 September lalu kemungkinan besar masih ingat ucapan Presiden yang akan mempertimbangkan dulu perkara Perppu. Seorang ahli hukum yang ikut hadir mengutip perkataan Presiden, “... akan memutus dalam waktu secepat-cepatnya...”
Jika Presiden mengatakan bahwa mencari orang untuk menjadi menteri itu gampang, dan dikabarkan pula oleh media bahwa susunan kabinet sudah rampung, berarti kalkulasi untuk memutuskan ihwal Perppu merupakan perkara yang lebih pelik sebab isyarat pun belum muncul. Pelik karena pertimbangannya mungkin lebih politis, padahal nasib bangsa yang dipertaruhkan. Hati nurani mestinya lebih banyak berbicara dan didengar.
Di tengah tekanan elite politik dan partai pengusungnya, Presiden menjadi tampak sangat berhati-hati untuk mengambil keputusan. Hari demi hari berlalu, bahkan sebentar lagi pelantikannya sebagai presiden terpilih akan dilangsungkan, rakyat belum tahu sikap dan keputusan Presiden mengenai usulan Perppu. Rakyat tidak tahu apakah ia sudah selesai membuat kalkulasi, sebab Presiden memilih diam setiap kali ditanya jurnalis: “Bagaimana, Pak, dengan Perppu KPK?”
Apabila kita berpikir baik, kita boleh menyangka bahwa Presiden masih sibuk berunding dengan elite-elite politik, khususnya mengenai kabinet baru. Selain harus mendengarkan keinginan elite pengusungnya, Presiden juga sibuk melakukan penjajagan dengan elite lain yang ingin ia gandeng. Masing-masing orang mungkin punya keinginan yang berbeda, dan Presiden harus mendengarkannya.
Apabila kita berprasangka baik, sebagai rakyat kita masih berharap bahwa Presiden akan memutuskan untuk menerbitkan Perppu yang membatalkan undang-undang baru hasil revisi. Barangkali Presiden sedang mempersiapkan diri untuk pelantikan serta memanggil calon-calon anggota kabinetnya. Setelah agak longgar, mungkin Presiden akan menerbitkan Perppu. Jika kita mengikuti prasangka baik, kemungkinan itu masih ada.
Sayangnya, hingga hari ini Presiden belum memperlihatkan ketegasan sikapnya. Ia memang tidak menandatangani undang-undang hasil revisi itu, tapi undang-undang itu toh langsung berlaku walaupun tidak diteken Presiden. Tanpa meneken undang-undang hasil revisi, Presiden mungkin ingin memberi kesan bahwa ia tidak setuju dengan hasil revisi itu. Namun, di sisi lain, masyarakat juga bisa beranggapan bahwa Presiden ‘membiarkan’ undang-undang hasil revisi itu berlaku dengan sendirinya dan ‘mengarahkan’ masyarakat agar mengetuk pintu Mahkamah Konstitusi. Wallahu a’lam.
Dalam situasi di mana Presiden dituntut untuk menunjukkan sikap yang jelas terhadap sebuah persoalan, diamnya Presiden terhadap pertanyaan rakyat mengenai kemungkinan terbitnya Perppu KPK membuat rakyat gundah. Rakyat trenyuh dan bersedih mengapa pemimpinnya tidak kunjung mengambil keputusan yang terang? Bila setelah menimbang-nimbang, Presiden memutuskan untuk menerbitkan Perppu, maka lakukanlah segera. Jika ternyata Presiden tidak mau menerbitkan Perppu, ya katakanlah agar rakyat tahu. Jangan biarkan rakyat gelisah dalam ketidakpastian karena pemimpinnya tidak kunjung mengambil keputusan. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.