x

Presiden Joko Widodo bersama Ibu Iriana Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla bersama Ibu Mufidah Jusuf Kalla berfoto bersama sejumlah Menteri Kabinet Kerja Periode 2014-2019 saat acara perpisahan di Istana Negara, Jakarta, Jumat 18 Oktober 2019. TEMPO/Subekti

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 19 Oktober 2019 16:54 WIB

Siapapun Menterinya, yang Penting Kerja untuk Rakyat

Siapapun orangnya yang dipilih jadi menteri, sebaiknya ia berpikir dan bekerja untuk rakyat dan bangsa ini, bukan untuk tujuan lain, kepentingan pribadi maupun kelompok, termasuk partai politik dan elitenya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Susunan kabinet Presiden Jokowi periode kedua dan siapa yang akan duduk di dalamnya tampaknya jadi materi ramalan yang menarik perhatian berbagai kalangan: dari yang serius seperti pengamat dan akademisi sampai wong cilik. Para akedemisi membangun argumentasi untuk mendukung ramalan mereka, sedangkan wong cilik ya sekedar menebak-nebak sembari minum kopi di warung. Para jurnalis juga senang ikut main tebak-tebakan dengan membuat judul tulisan yang memancing rasa ingin tahu, walau isinya ternyata sama saja dengan yang sudah beredar di medsos.

Tebak-tebakan dan ramal-meramal semacam ini bukanlah fenomena baru. Bahkan sejak zaman presidennya masih Pak Harto hingga Pak SBY, fenomena serupa juga terjadi. Masyarakat kita senang tebak-tebakan lantaran sensasinya ketika nama-nama anggota kabinet diumumkan: senang, tertawa, terperangah [lho, kok dia?], kecewa, marah, hingga ngedumel. Tiap-tiap orang punya penilaian sendiri mengenai orang yang dipilih Presiden untuk jadi menteri maupun pejabat tinggi lainnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika rakyat saja begitu, apa lagi orang-orang yang sudah digosipkan bakal jadi menteri: entah karena dicalonkan kelompok masyarakat tertentu, dititipkan oleh ketua umum partai, ditelepon oleh ‘orang Istana’, dan bahkan ditelepon sendiri oleh presiden terpilih—padahal itu bukan kepastian. Ingat bukan, bahkan dalam urusan calon wapres saja, Mahfud Md. yang sudah diukur jasnya ternyata batal jadi cawapres Jokowi di menit-menit terakhir dan digantikan oleh KH Ma’ruf Amin.

Politik itu dinamis, maksudnya ya berubah-ubah arah anginnya karena banyak orang, banyak pihak, dan banyak kepentingan yang bermain. Dalam kasus Pak Mahfud, bahkan Pak Jokowi pun mungkin terkejut sebab cawapresnya ternyata berganti di saat hendak diumumkan. Begitu pula dalam soal memilih menteri, dinamika itu tak bisa dihindari, tapi mesti dihadapi.

Karena merasa punya hak prerogatif, Presiden pun jadi gemar bermain teka-teki. “Yang lama ada, yang baru banyak,” kata Presiden menjawab pertanyaan jurnalis. Ada yang bilang, nama-nama calon menteri sudah ada di kantong Presiden. Presiden terpilih memang punya hak prerogatif, tapi toh ia tak bisa mengabaikan desakan para elite. Megawati, misalnya, terang-terang meminta kursi menteri terbanyak untuk PDI-P. Lho, bisa apa Pak Jokowi walaupun ia presidennya?

Calon menteri dari anak muda milenial juga dikumandangkan—semangatnya bagus, tapi menteri ini bakal menghadapi tantangan mengejutkan ketika harus berhadapan dengan intrik-intrik politik. Ia mesti belajar cepat menghadapi lingkungan baru, dari birokrasi hingga beraneka orang dengan bermacam motif. Mudah-mudahan sih, penunjukan menteri milenial ini bukan untuk gaya-gayaan dan agar masuk trending topic di media sosial, sebab tanggungjawabnya menyangkut jutaan orang.

Mudah-mudahan saja banyak menteri yang berpikir visioner, tidak takut mengambil keputusan yang benar dan baik buat rakyat, yang tahan banting menghadapi intrik dan tekanan [tentang hal ini, menteri baru bisa belajar dari Bu Susi yang tukang menenggelamkan kapal pemancing ilegal itu, yang dikenal menter [bahasa Jawa tahan banting dan tidak mempan] menghadapi desakan-desakan, bahkan dari dalam kabinet sekalipun].

Siapapun orangnya yang dipilih jadi menteri, sebaiknya ia berpikir dan bekerja untuk rakyat dan bangsa ini, bukan untuk tujuan lain, kepentingan pribadi maupun kelompok, termasuk partai politik dan elitenya—sudah cukup banyak contoh menteri yang akhirnya memakai rompi oranye, jadi jangan ikut mode yang ini. Memang tidak mudah, karena mereka akan menghadapi tarikan-tarikan dari partai yang sedang bersiap-siap menghadapi masa transisi generasi lima tahun mendatang. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler