x

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 21 Oktober 2019 09:32 WIB

Sistem Penjatahan Voters PSSI Tidak Logis

Sepanjang pemilik suara di PSSI tidak logis jangan harap sepak bola nasional bangkit

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berdasarkan statuta PSSI terakhir, tahun 2018, dalam pasal 23 Bab IV PSSI, Delegasi dan Hak Suara hanya terdiri 96 pemilik suara. Secara logika, dibandingkan dengan jumlah publik pecinta sepak bola nasional yang ratusan juta, hal itu tidak masuk akal sama sekali.

Siapa selama ini yang sejatinya menghidupi PSSI bila tidak ada suporter yang menjadikan sponsor tertarik mendukung klub dan kompetisi? Siapa yang mendukung dan mensuport Timnas di berbagai laga?

Jumlah voters yang hanya tercantum 96 dan terus didalihkan itu sebagai sebuah peraturan, bukanlah sesuatu yang baku. Sebab sebenarnya akan sangat mudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Selama ini, hal itu  terus dipertahankan oleh para voters tersebut, padahal sangat tidak relevan dengan realitas dukungan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara dari 96 voters yang diberikan ruang dan hak milik suara, semuanya hanya mewakili suaranya sendiri. Mereka bukan mewakili suara seluruh publik sepak bola nasional yang jumlahnya ratusan juta.

Bila dianalisis, kedudukan voters yang berjumlah 96 sesuai statuta itu, diciptakan juga oleh mereka sendiri, khususnya para mafia sepak bola nasional.

Mereka adalah:

Pertama, ada 18 delegasi Liga 1. Delegasi Liga 1 ini masih masuk akal, karena jumlah klub Liga 1 memang 18. Namun yang tidak masuk akal, dari mana 18 klub liga 1 dapat hidup kalau bukan dari sponsor, sedang sponsor tertarik mendukung karena adanya suporter? Sementara dalam setiap kongres PSSI, suara dari 18 klub Liga 1 tidak pernah mewakili suara suporter yang mendukungnya. Hanya bersuara demi keuntungannya sendiri, terlebih bila sudah masuk situasi lobi-lobi demi katong tebal sendiri.

Itulah klub Liga 1 yang dibanggakan suporter, tetapi tidak pernah membela keinginan dan kepentingan suporter saat bertugas menjadi voters. Kenapa? Karena suara mereka hanya untuk dijual belikan.

Kedua, seluruh publik sepak bola nasional kini tahu, ada berapa klub Liga 2 yang berlaga secara resmi. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama kepada PSSI, namun nasibnya tidak sebaik klub Liga 1. Untuk urusan voters, klub Liga 2 hanya diberi jatah 18 suara. Di mana logikanya, hak dan kewajiban sama, namun ada klub yang lantas tidak dapat bersuara.

Sementara 18 klub yang mendapat hak suara sesuai cara statuta yang mereka atur sendiri, perilakunya juga sama seperti 18 klub Liga 1, yakni bersuara untuk kepentingan diri sendiri. Hak suara itu dijual belikan, dan bukan untuk suporter yang mendukungnya.

Ketiga, adalah hal yang sangat memiriskan hati. Di mana logikanya bahwa ada ratusan klub Liga 3 yang juga memiliki hak dan kewajiban sama kepada PSSI, namun hanya 16 klub Liga 3 saja yang diberikan kursi? Di mana jalan pemikirannya? Di mana logikanya?

Keempat, lebih ironis, jumlah klub Liga 4 yang ratusan di seluruh Nusantara, hanya ada 8 suara.

Celakanya, klub di Liga 2, Liga 3, dan Liga 4, yang diberikan jatah memiliki voters itu, ternyata suaranya dijual belikan. Namun lebih sadis, klub yang lain malah dikebiri tak dapat hak suara meski telah melakukan hak dan kewajiban sama seperti klub yang diberikan suara.

Kelima, seperti voters klub Liga 1, suara voters dari Asosiasi Provinsipun sesuai, 34, namun pertanyaanya, apakah suara Asprov mewakili suara suporter? Setali tiga uang dengan suara klub Liga 1, 2, 3, dan 4, semua suara sudah diuangkan.

Keenam, sampai kapan futsal menjadi anak tiri di sepak bola nasional? Memiliki perwakilan di setiap provinsi, memiliki kompetisi profesional yang artinya ada klub profesional, namun suara dari futsal dalam statuta hanya 1. Dianggap apa klub-klub futsal Indonesia itu?

Ketujuh, sama nasibnya seperti futsal yang hanya sekadar anak tiri, dan kalau boleh dibilang tak dianggap oleh PSSI, karena hanya diberikan 1 suara, wasit yang jumlahnya tidak hanya 1 dan selalu menjadi bulan-bulanan klub dan suporter, juga hanya diberi 1 suara.

Lalu, pelatih dan sepak bola wanita pun bernasib sama, hanya mendapat jatah 1 suara. Padahal tidak akan ada kompetisi bila ratusan klub dari Liga 1, 2, 3 dan 4, pelatih melakukan demonstrasi kepada PSSI.

Lebih apes, lebih miris, keterwakilan stakeholder terkait yang selama ini menjadi urat nadi nafasnya PSSI pun tak pernah digubris untuk masuk dalam lingkaran voters PSSI sesuai statuta. Praktisi, pengamat, lembaga, instansi, hingga keterwakilan suporter, tetap dinihilkan oleh para voters itu yang terus mempertahankan pasal 23 BAB IV Statuta demi kerajaan mereka.

Mungkin bila stakeholder lain akan membahayakan permafiaan di organisasi PSSI, logiskan saja voters sesuai jumlah klub yang terafiliasi di PSSI dari klub Liga 1, 2, 3, dan 4 tanpa terkecuali. Jangan ada pilih-pilih, jadi siapapun calon pengurus pasti akan berpikir dua tiga kali bila bermain uang, karena terlalu banyaknya klub yang harus disogok bukan?

Berikutnya, jangan anak tirikan futsal. Ada organisasi du daerah, ada klub, masa hak suara hanya 1. Begitu juga wasit dan pelatih.

Semakin ke sini, yang tidak masuk akal terus dibaca dan diperhatikan publik lho. Masa, PSSI hanya milik 96 suara yang dibikin dan dipertahankan oleh kalian sendiri. Buat bagi-bagi sendiri.

Cuma satu cara agar sepak bola nasional kembali ke rel, karena kalian memang sudah buta dan tuli, yaitu pemakzulan.

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

14 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB