x

Iklan

Hima Wati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 21 Oktober 2019 14:50 WIB

Radikalisme dan Terorisme, Kenapa Selalu Muslim?

Gambaran Radikalisme dan Terorisme Di Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pasca-penyerangan terhadap salah satu pejabat penting negeri ini, isu radikalisme dan terorisme seketika menjadi brand yang kembali laris diperbicangkan media. Pemerintah bergerak cepat, respon berupa kecaman dan pernyataan perang terhadap terorisme dan radikalisme lantang digaungkan. Semua orang mulai memberikan perhatian, respon yang random bermunculan.

Ada yang prihatin, ada juga yang terkesan ‘nyinyir’, dan ada pula yang tidak peduli. Kemudian, orang-orang yang dianggap nyinyir tadi, yang sejatinya adalah orang-orang yang memberikan kritik dan ketidaksetujuan atas tindakan pemerintah, juga mulai menjadi viral di sosial media. Sebab mereka mendapatkan sanksi pendisiplinan, ada yang sampai ranah peradilan, ada tindakan pencopotan jabatan, hingga pemecatan dari pekerjaan.

Seolah-olah negeri ini hanya punya dua kutub saja, kutub bersama pemerintah atau kutub bersama orang-orang radikal. Jika seseorang tidak memihak kepada pemerintah, secara otomatis orang itu akan dijustifikasi sebagai pemihak radikalisme. "Anda bersama pemerintah atau Anda bersama teroris", terkesan pilihannya hanya itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Padahal rasa-rasanya belum ada penjelasan yang baku mengenai definisi radikalisme atau terorisme yang diedukasikan kepada masyarakat. Batasannya sejauh mana? Pengertiannya segamblang apa? Tidak pernah jelas.

Kalau yang disebut terorisme adalah orang-orang yang melakukan tindakan teror berupa perusakan atau pembunuhan, maka harusnya para pelaku kerusuhan Wamena yang membakar rumah dan membunuh penduduk juga disebut teroris. Juga yang membakar perkampungan di Rohingnya lalu membunuh dan mengusir penduduknya. Bagaimana dengan yang di Suriah? Atau yang di Palestina? Mereka juga melakukan tindakan teror secara terang-terangan dengan skala besar, tapi tidak pernah ada julukan teroris untuk mereka.

Julukan teroris hanya berlaku untuk orang-orang yang memiliki visual ala Islam, semisal jenggot, berjubah, bercadar, atau punya kitab-kitab bertulisan arab. Jika perawakannya lain, apalagi di KTP-nya tertulis agama selain Islam, maka hampir tidak mungkin diberitakan sebagai kelompok teroris, umumnya julukan dari media adalah ‘kelompok bersenjata’ saja.

Ini adalah anomali, harusnya jika tetap berpegang teguh pada definisi makna, maka siapapun orangnya, bagaimanapun ras dan warna kulitnya, serta apapun agamanya, bila melakukan tindakan teror harus disebut teroris. Faktanya di negeri ini, kasus radikalisme dan terorisme hanya menimpa umat Islam. Ketika korbannya adalah muslim, semisal kasus penyerangan terhadap kelompok minoritas muslim di Papua ketika sholat ied di tahun 2015, tidak mungkin pelakunya disebut sebagai kelompok radikal, apalagi teroris.

Ini adalah wajah dari ketidakadilan. Media tidak lagi netral, begitupun penguasa, mereka sudah berat sebelah. Dan sekarang, lebih parahnya adalah isu radikalisme dan terorisme sering kali dimanfaatkan untuk melawan orang-orang muslim, yang tidak mendukung pemerintah. Orang-orang yang menyuarakan kritik atas kebijakan pemerintah, atau memberikan gagasan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah, sangat mudah untuk tersandung kasus radikalisme.

Didukung oleh media masa yang seolah telah menjadi tangan kanan penguasa, siapapun orang atau kelompok, golongan yang berseberangan dengan pemerintah, akan pasti dituding sebagai kelompok radikal, yang dengungkan akan memecah belah NKRI, menghancurkan negara, menodai Pancasila, mengajak pada aksi teror, berbahaya dan fitnah lain sebagainya. Ini kengerian yang luar biasa. Mulai timbul curiga, orang-orang mulai fobia dengan Islam dan apa-apa yang berbau Islam. Islam seolah telah dianaktirikan di negeri dengan mayoritas muslim terbesar di Asia ini.

Kekerasan dan perusakan adalah buruk, dan bertentangan dengan Islam sebagai agama rahmat. Tetapi tidak ada yang salah dengan kritik, dan tidaklah buruk menyuarakan ide atau gagasan yang berbeda.

Dalam Islam, mengatakan yang haq di depan penguasa adalah jihad yang utama, begitu Rasulullah bersabda. Pemerintah yang anti kritik adalah cerminan penguasa yang diktator. Bukankah itu yang bertentangan dengan Pancasila? Dan tentu bukan pemerintahan ala diktator yang dikehendaki oleh rakyat Indonesia. (red_Uhiwa)

Ikuti tulisan menarik Hima Wati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler