x

Cover buku Padang Ilalang di Belakang Rumah

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 22 Oktober 2019 09:24 WIB

Padang Ilalang di Belakang Rumah

Perenungan Nh Dini tentang perempuan yang harus mandiri dan berani keluar dari kungkungan tradisi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Padang Ilalang di Belakang Rumah

Penulis: Nh Dini

Tahun Terbit: 2009 (cetakan kesembilan)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama                                                                    

Tebal: 98

ISBN: 979-403-039-2

 

Dari antara novel dan cerpen Nh Dini, “Padang Ilalang di Belakang Rumah” adalah yang paling mendekati potongan biografinya. Dini menulis cerita berdasarkan pengalaman hidupnya. Ia menggunakan pengalaman hidup sebagai daging kisah yang dirangkainya. Tentu saja beberapa tokoh dan detail kisah direkanya sedemikian rupa sehingga menjadi sarana untuk mengungkapkan pemikiran-pemikirannya. Namun dari sekian banyak cerita pendek dan novel yang dihasilkannya, dalam novel “Padang Ilalang di Belakang Rumah” inilah Dini menuliskan pengalaman masa kecilnya dengan sedikit saja modifikasi.

Dini menggambarkan rumahnya di Semarang yang luas dengan sangat detail. Ia menjelaskan kebun di belakang rumah yang berada di dekat sungai. Ia memberikan informasi yang cukup gamblang tentang hubungan keluarganya. Ia tak menyembunyikan pekerjaan ayahnya sebagai pegawai kereta api. Dalam novel ini bahkan Dini menyebut sepupunya dengan nama sesungguhnya: Edi Sedyawati dan Astuti!

Dini mengisahkan masa kecilnya di Semarang, saat menjelang kedatangan Jepang sampai dengan datangnya tentara Sekutu. Novel dibuka dengan kedatangan dua tentara Jepang di belakang rumah. Tentara yang tiba-tiba muncul itu memaksa untuk mendapatkan tali. Ayahnya menyerahkan kawat tali jemuran kepada tentara Jepang tersebut. Kedatangan tentara Jepang yang tiba-tiba dan berperilaku memaksa ini adalah sebuah pembuka novel yang sangat menarik. Sebab paragraf-paragraf pembuka ini memberikan tekanan betapa tidak siapnya masyarakat saat itu menerima kedatangan Jepang.

Kedatangan Jepang membawa petaka bagi masyarakat. Jepang yang mulanya disangka sebagai pembebas, ternyata justru membawa kekejaman kepada orang Indonesia. Dini menggunakan kondisi keluarganya dan kondisi Kota Semarang sebagai sarana mengisahkan penderitaan ini. Keluarganya yang dulunya sejahtera dengan beberapa pembatu, tiba-tiba jatuh miskin. Ayahnya harus berhenti bekerja. Ibunya yang dulunya menganggap berdagang adalah sebuah kenistaan, tiba-tiba harus menjadi buruh batik dan membuat kue-kue yang harus dijual untuk menyambung hidup.

Dini juga menyelipkan kisah sang Paman yang secara sembunyi-sembunyi ikut berjuang mengusir Jepang. Sang Paman sampai harus meninggalkan istri dan dua anak perempuannya yang masih kecil dalam perjuangan ini. Tentu saja perjuangan sang Paman berakibat pada penderitaan bagi istri dan kedua putrinya.

Ada hal menarik dalam novel pendek ini. Dini secara jelas menyampaikan pendapatnya bahwa perempuan harus kuat dan tidak tergantung kepada laki-laki. Perempuan harus bisa menerima perubahan jaman. Ia mengisahkan bagaimana ibunya yang dididik dalam tradisi Jawa yang ketat, ternyata mampu mengubah pendapatnya saat keluarganya memerlukan dukungannya.

Ibunya yang dulu membuat batik sebagai sebuah karya seni dan digunakan untuk keperluan keluarga atau hadiah, terpaksa harus mau memproduksi batik untuk dijual. Ibunya yang dulu membuat kue-kue untuk keperluan keluarganya dan menjamu tamu, tiba-tiba harus membuat kue untuk dijual. Melalui pekerjaan ibu inilah maka keluarganya bisa terus bertahan hidup.

Kisah ibunya yang menjual kain-kain simpanan adalah contoh lain. Saat kakak perempuannya akan menikah, keluarga Dini memerlukan banyak biaya. Ibunya dengan berani menjual kain-kain simpanan untuk biaya pernikahan tersebut. Menjual kain simpanan tentu sebuah tabu bagi perempuan Jawa. Namun Dini dengan berani menunjukkan bahwa kelangsungan hidup lebih penting daripada segala tabu yang mengikat tersebut.

Selain masalah ekonomi, masalah bagaimana memperlakukan anak perempuan dalam keluarga Jawa juga disingguh oleh Dini. Ibu marah besar saat anak gadisnya diajak menonton film oleh pacarnya. Meski terjadi pertengkaran hebat dengan sang ayah, Ibu tetap tidak mengijinkan anak gadisnya diajak nonton film hanya berdua oleh sang pacar. Namun di kemudian hari, sang Ibu ternyata bisa mengerti dan merelakan anak gadisnya diajak oleh sang pacar menonton. Bahkan sang Ibu mengijinkan anak gadisnya mengunjungi rumah kos sang pacar dan menginap. Meski perjalanan mengunjungi rumah sanga pacar itu sang gadis ditemani oleh adik perempuannya.

Tema perempuan yang harus tegar dan berani keluar dari kungkungan tradisi demi menghadapi hidup sangat kuat dalam novel-novel dan cerpen-cerpen Dini. Dalam novel ini memang Dini tidak segalak novel-novel lain yang menggunakan tokoh perempuan yang sudah dewasa. Namun ia sangat kuat menyatakan pendapatnya tersebut melalui sosok Ibu.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler