Kini isu radikalisme bagaikan menghantui pemerintah. Presiden Joko Widodo tampak serius memeranginya. Ia sampai menitipkan urusan ini ke menteri baru seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md.
Jokowi pun mengangkat mantan Kapolri, Tito Karnavian, --figur yang amat berpengalaman memerangi terorisme-- menjadi Menteri Dalam Negeri. Presidan bahkan menempatkan mantan Wakil Panglima TNI Fachrul Razi untuk menjaga pos Kementerian Agama.
Keadaan ini sungguh ironis jika kita menengok sejarah bangsa ini, satu abad silam. Kala itu bendera Islam dikibarkan oleh Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto justru untuk membebaskan bangsa dari penindasan Belanda. Melalui organiasi Sarekat Islam yang dipimpinnya, Islam menjadi inspirasi yang mencerahkan rakyat untuk menuntut hak-haknya.
HOS Tjokroaminoto pun berhasil membesarkan Sarekat Islam yang berdiri sejak 1912. Menurut sejarahwan Bonnie Triyana, keunggulan Tjokro adalah sikapnya yang egaliter. Dia tak memandang usia, status, atau jabatan. Yang terpenting para anggota beragama sama. Ini membuat banyak orang bergabung dengan Sarekat. Sejak awal, anggaran dasar yang disusun Tjokro tak hanya berupaya melindungi kaum pribumi dalam perdagangan. “Ada kepentingan memajukan kesejahteraan dan pendidikan umat Islam. Kepentingannya lebih luas,” kata Bonnie dalam edisi khusus Tempo, 15 Agustus 2011
Guru para tokoh nasional
HOS Tjokroaminoto lahir di Desa Bakur, Sawahan, Madiun, Jawa Timur pada 16 Agustus 1882. Ia pernah menjadi juru tulis di Ngawi, lalu pindah ke Semarang menjadi kuli pelabuhan sebelum akhirnya hijrah ke Surabaya. Di kota ini aktivitas politik Tjokro amat tinggi. Ia juga pernah tinggal di Yogyakarta hingga meninggal pada 17 Desember 1934, saat berusia 52 tahun.
Pengaruh pemikiran HOS Tjokroaminoto sungguh luar biasa di zaman pergerakan nasional. Dengan pidato-pidatonya, Tjokro menumbuhkan semangat kebangsaan, juga harapan. Rakyat jelata menganggapnya ”Ratu Adil”. Pemerintah Belanda menjulukinya ”Raja tanpa Mahkota”.
Perjuangan menuntut hak-hak rakyat dan kesetaraan itu terlihat jelas dalam pidato dan tulisan-tulisan Tjokro. Pada 1914, di koran Doenia Bergerak, ia pernah menulis sajak:
- Lelap terus, dan kau pun dipuji seba-gai bangsa terlembut di dunia.
Darahmu dihisap dan dagingmu dila-hap sehingga hanya kulit tersisa.
Siapa pula tak memuji sapi dan ker-bau?
Orang dapat menyuruhnya kerja, dan memakan dagingnya.
Tapi kalau mereka tahu hak- haknya, orang pun akan menamakannya pongah, karena tidak mau ditindas. - Bahasamu terpuji halus di seluruh dunia, dan sopan pula.
Sebabnya kau menegur bangsa lain dalam bahasa kromo dan orang lain mene-gurmu dalam bahasa ngoko.
Kalau kau balikkan, kau pun dianggap kurang ajar.
Tjokro juga dikenal sebagai guru para tokoh nasional. Rumahnya di Surabaya sempat dijadikan rumah kost para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, bahkan Tan Malaka pernah berguru padanya.
Relevansi pemikiran Tjokro
Ketika Sarekat Islam mulai pecah, Tjokro meresponsnya dengan menulis buku Islam dan Sosialisme (1924) Menurut sejarawan Bonnie Triyana, buku ini menyiratkan hasil perenungannya terhadap Islam dan buah pemikiran reflektif menanggapi apa yang terjadi selama dia memimpin Sarekat Islam. “Ia menyuguhkan cara pandang sosialisme yang bertopang pada Islam: perikemanusiaan, persaudaraan, persamaan, dan kemerdekaan berdasarkan kekuasaan Allah,” tulis Bonnie dalam edisi khusus Tempo,
Lalu apa relevansi sejak terjang dan pemikiran Tjokro untuk Indonesia saat ini? Pembaca bisa mengambil inspirasi sendiri dari pemikiran tokoh ini. Yang jelas, Islam sebagai ideologi mengalami banyak pergeseran sesuai perubahan zaman. Di zaman pergerakan nasional, Islam harus menghadapi ideologi sosialisme dan komunisme yang sedang populer di dunia. Di era sekarang, tentu lain lagi persoalannya.
Diskusi Pemikiran Tjokroaminoto
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta bersama Indonesiana.id juga akan mengadakan diskusi untuk membedah sejak terjang dan pemikiran tokoh besar ini pada Sabtu, 26 Oktober 2019 pukul 09.00 sampai 11.30 WIB. Tempat di Auditorium Universitas Cokroaminoto Yogyakarta. Pembicara : Bonnie Triyana (Sejarahwan), Abdul Wahid ( Sejarahwan), dan N Robbi Sepang ( Cicit Tjokroaminoto, dosen UAI). Dalam diskusi ini kita akan melihat lebih jauh pemikiran Tjokro tentang Islam, politik dan negara. ***
Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.