Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan H.O.S Tjokroaminoto adalah sosok yang memilih menjadi rakyat biasa ketimbang mengikuti sesuai garis keturunan untuk menjadi bupati. Tjokro yang sempat menjadi pegawai negeri Belanda di Ngawi, Jawa Timur, memilih menjadi buruh pabrik gula.
“Kalau mengikuti garis hidupnya dari keluarga mapan, seharusnya Tjokroaminoto menjadi bupati atau minimal wedana. Tapi dia melakukan bunuh diri kelas,” kata Bonnie, di Yogyakarta, Sabtu, 26 Oktober 2019. Tjokro melakukan bunuh diri kelas, kata dia, karena menanggalkan baju priyayinya demi menjadi proletar atau seorang marhaen.
Bonnie Triyana mengungkapkan hal itu Diskusi Publik bertajuk Membedah Pemikiran H.O.S Tjokroaminoto: Islam Politik, dan Negara, di kampus guru bangsa Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY). Diskusi ini diselenggarakan oleh Tempo bekerjasama dengan UCY.
Diskusi ini juga menghadirkan narasumber lain, yakni Abdul Wahid (dosen Universitas Gadjah Mada) dan cicit Tjokroaminoto, N. Robbi Sepang. Acara dihadiri sejumlah dosen dan mahasiswa dari dalam maupun kampus.
Bonnie mengungkapkan Tjokroaminoto berdarah biru dari garis ayahnya, Raden Mas Tjokroaminoto, seorang wedana (asisten bupati). Begitu pun kakeknya yang pernah menjabat sebagai bupati Ponorogo. Hal itu menyebabkan Tjokro mendapatkan kesempatan belajar di pendidikan khusus pemerintahan untuk calon PNS yang dibuat Belanda, yaitu Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang.
Namun, jalan hidupnya tak ingin ia habiskan dengan menikmati segala fasilitas hidup yang memang sejak lahir sudah ia dapatkan. “Jalan yang ia pilih adalah menjadi seorang pejuang, menyamakan dirinya dengan rakyat biasa,” kata Bonnie.
Sebagai pejuang, kelak, dia “melahirkan” banyak tokoh-tokoh nasionalis, seperti Soekarno, Kartosuwiryo, dan lain-lain.
Ikuti tulisan menarik Lely Nurarifah lainnya di sini.