x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 1 November 2019 15:18 WIB

Lebih Bagus Menteri tidak Merangkap Jabatan

Rangkap jabatan memang menjadikan seseorang merasa lebih ‘powerful’ karena memiliki akses kunci menuju pusat-pusat pengambilan keputusan. Namun, akan menjadi teladan yang sangat baik apabila para pejabat tinggi negara mau melepas jabatan-jabatan lain dan fokus mengabdi kepada bangsa dan negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang menteri menerima tamunya di kantor merupakan hal wajar. Karena itulah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mungkin merasa tidak ada yang aneh ketika menerima beberapa kader Partai Golkar di kantor Menko. Namun, sebagian masyarakat menilai pertemuan tersebut salah tempat. Mengapa? Urusan yang dibicarakan adalah tentang Golkar, tapi pembicaraan dilakukan di kantor Menko. Menurut penilaian ini, kantor Menko disediakan untuk urusan negara, bukan untuk urusan partai politik.

Boleh jadi, bagi orang-orang yang rangkap jabatan seperti Airlangga, yang juga menjabat Ketua Umum Golkar, inilah cara yang efisien dalam menggunakan waktu. Barangkali, karena itu pula Presiden Jokowi memperbolehkan para menteri merangkap jabatan di organisasi lain asalkan ‘bisa mengatur waktu’. Waktu yang 24 jam sehari itu mesti pintar-pintar dibagi untuk urusan keluarga, negara, dan organisasi lain—mungkin partai politik, ormas, maupun perusahaan.

Pendekatan ‘asal bisa mengatur waktu’ terkesan pragmatis, padahal di dalam rangkap jabatan tersimpan persoalan yang lebih mendasar: seberapa besar waktu dan perhatiannya dikonsentrasikan pada tanggungjawabnya sebagai menteri. Tanggung jawab menteri demikian besar karena menyangkut hajat hidup lebih dari 250 juta warga, sehingga memerlukan pengabdian yang sungguh-sungguh tanpa terganggu oleh urusan organisasi lain yang jadi tanggung jawabnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Becermin pada kritik terhadap pertemuan Menko Airlangga dan kader Golkar itu, kita dapat melihat bahwa dengan rangkap jabatan, batasan antara urusan publik yang menyangkut nasib jutaan orang itu dengan urusan lain berpotensi menjadi kabur. Juga ada potensi benturan jika sewaktu-waktu menteri harus memilih di antara dua urusan. Jika urusan organisasinya sedang genting, akankah dia tetap mendahulukan urusan kenegaraan selaku menteri?

Benturan kepentingan juga dapat terjadi dalam wujud yang berbeda, misalnya penggunaan fasilitas negara untuk organisasi lain. Sebagai contoh, ketika melakukan kunjungan dinas sebagai menteri di luar kota, menteri menyempatkan diri membuka acara temu kader partainya. Bukankah ia dibiayai negara untuk melakukan perjalanan tugasnya tersebut, mengapa kemudian dimanfaatkan pula untuk urusan partainya? Belum lagi soal penggunaan waktunya, yang mestinya untuk urusan negara tapi terbagi untuk urusan partai politik atau organisasi lain yang ia pimpin, ataupun sebagai komisaris perusahaan.

Ada pula yang lain, yaitu benturan kepentingan yang membuka peluang penggunaan kewenangan untuk memberi keuntungan pada organisasinya atau pada orang lain yang terkait dengan organisasinya. Misalnya, pemenang tender suatu proyek di kementerian adalah pebisnis yang juga menjadi pengurus partai tempat ia menjadi ketua umum. Di dalam jabatan menteri terdapat potensi bahaya yang menggoda menteri jika ia bermaksud menghimpun dana untuk partainya. Godaan untuk melakukan tindakan ini begitu terbuka.

Lagi pula, merangkap jabatan itu mengingkari fakta bahwa manusia memiliki keterbatasan untuk mengurus dua urusan berskala besar pada saat bersamaan. Betapapun, fokus perhatian, pikiran, tenaga, maupun waktunya pada kedua urusan itu akan terpecah. Multitasking untuk urusan besar hanya akan membuat semua urusan yang ditangani tidak akan membuahkan hasil yang optimal.

Rangkap jabatan juga menghapus peluang orang lain untuk menempati jabatan-jabatan yang dirangkap. Ketika seorang ketua partai politik atau komisaris perusahaan atau ketua organisasi kemasyarakatan merangkap jabatan publik, peluang orang lain untuk menduduki jabatan publik tersebut dengan sendirinya hilang, begitu pula dengan peluangnya untuk menduduki jabatan lain tadi.

Para pejabat publik yang merangkap jabatan lain niscaya punya pertimbangan lain mengapa ia memilih merangkap jabatan. Alasannya jelas lebih mendasar dari sekedar ‘bisa mengatur waktu’. Dengan menempati kedua jabatan, atau mungkin lebih, posisi tawarnya terhadap organisasi-organisasi terkait menjadi lebih tinggi. Ke dalam internal partai, jabatan publik sebagai menteri menjadikan posisinya sebagai ketua umum partai lebih kuat.

Begitu pula dengan relasinya dalam kabinet, posisinya di hadapan Presiden menjadi lebih kuat. Di sisi lain, Presiden diuntungkan dengan memiliki menteri seorang ketua umum partai politik. Dengan ‘sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui’, Presiden dapat ‘memanggil’ ketua umum partai yang sekaligus menteri kapan saja.

Rangkap jabatan memang menjadikan seseorang merasa lebih ‘powerful’ karena memiliki akses kunci menuju pusat-pusat pengambilan keputusan. Tidak heran bila beberapa menteri Kabinet Indonesia Maju, yakni Airlangga Hartarto, Suharso Monoarfa, maupun Prabowo Subianto, tidak melepas jabatannya sebagai ketua umum partai politik. Begitu pula beberapa pejabat tinggi publik masih menjabat sebagai komisaris perusahaan. Bahkan, Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun masih menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia sekalipun diembel-embeli atribut ‘non-aktif’.

Akan menjadi teladan yang sangat baik apabila para tokoh ini mau melepas jabatan-jabatan lain dan fokus mengabdi kepada bangsa dan negara sebagai pejabat tinggi. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler