Dosen Universitas Indonesia Ade Armando dilaporkan ke polisi gara-gara mengunggah foto Anies Baswedan berwajah Joker. Kasus ini memicu kontroversi karena pelaporan itu menggunakan pasal yang sama dengan kasus Buni Yani.
Pengaduan kasus Ade dilakukan oleh anggota Dewan Pimpinan Daerah Fahira Idris pada 1 November lalu. Ia menuduh Ade telah mengedit dan mengunggah ke media sosial Facebook foto wajah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan makeup ala tokoh joker alias badut dalam film Joker yang cukup populer.
Layakkah Ade dilaporkan dengan delik pengubahan dokumen elektronik dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi? Mari kita telaah.
Kasus Foto Anies Baswedan
Fahira Idris mengadukan Ade Armando dengan pasal 132 Ayat 1 Undang-undang ITE. Bunyi lengkap pasal ini:
- Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
Adapun ancaman hukumannya diatur dalam Pasal 48, yakni pidana penjara paling lama 8 tahun atau denda paling banyak dua miliar rupiah.
Polisi semestinya tidak bisa memproses kasus itu jika ternyata Ade cuma mengunggah foto Gubernur Anies yang telah diubah menjadi joker. Ade pun mengakui mengunggah foto itu, tapi ia menyatakan tidak membikin sendiri foto wajah Anies dengan makeup ala Joker.
Masalah lain yang perlu dicermati, yakni motif pembuatan atau penggugahan foto yang telah diubah. Bagaimana jika hal itu merupakan bentuk protes masyarakat terhadap pejabat publik? Proses hukum terhadap Ade justru akan melanggar konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Semangat Ade Armando pun untuk mengkritik Gubernur Anies dan bukan bertujuan merusak atau mengubah dokumen elektronik. "Anies Baswedan memang harus dikecam secara terbuka akibat anggaran Aica Aibon dan bolpen yang tidak masuk di akal," kata Ade.
Kasus Buni Yani
PN Bandung menvonis Buni Yani dengan hukuman 1,5 tahun penjara pada 2017 lalu. Ia dinyatakan bersalah mengubah video pidato Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan Seribu saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Aturan yang digunakan sama dengan pasal yang kini dipakai untuk melaporkan Ade Armando.
Kasus Buni Yani sudah sampai ke Mahkamah Agung. Hasilnya, majelis kasasi memperkuat putusan itu. Buni mulai menjalani hukuman di Lapas Gunung Sindur, Bogor, sejak Februari 2019.
Hingga sekarang kasus Buni juga masih kontroversial. Dalam persidangan, Ahok memang menyatakan bahwa video yang diunggah Buni tidak sesuai dengan aslinya. "Dapat saya jelaskan bahwa kalimat bapak ibu dibohongi surat Al Maidah 51 masuk neraka, tidak sesuai dengan apa yang saya sampaikan saat memberikan kata sambutan di tempat pelelangan ikan di Pulau Pramuka," ucap Ahok saat itu.
Adapun Buni sendiri juga menyatakan bahwa dirinya tidak mengubah video itu. "Demi Allah saya tidak pernah mengedit dan memotong video, kalau saya bohong biarlah Allah sekarang juga memberikan laknat dan azab kepada saya dan seterusnya kepada anak cucu saya," ujarnya pada tahun lalu.
Perbedaan kasus Ade dan Buni
Sesuai dengan isi pasal 132 Ayat 1 UU ITE, semestinya penegak hukum membuktikan bahwa terdakwa benar-benar mengubah dokumen elektronik. Hal ini juga tidak terungkap secara gamblang dalam kasus Buni. Jadi penerapan hukum kasus Buni sebetulnya tidak akurat, kendati kasus Buni berdampak besar karena video itu mengandung konten yang berbau SARA.
Adapun kasus Ade Armando lebih merupakan bentuk kritik terhadap pejabat publik. Dampaknya? Justru bisa positif, mendorong Gubernur Anies mengawasi lebih ketat anak buahnya. Hal ini semestinya pula menjadi pertimbangkan penegak hukum.
***
Baca juga:
Menteri Tjahjo pun Pernah Atur Jilbab, Jenggot, Celana Cingkrang: Diprotes Keras, Lalu…
Ikuti tulisan menarik Anung Suharyono lainnya di sini.