x

Biji kakao saat proses penjemuran di Teluk Raya, Kumpeh Hulu, Muarojambi, Jambi, Jumat (19/4/2019). Sumber foto: Antara Foto

Iklan

Erika Febriyani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2019

Kamis, 14 November 2019 16:03 WIB

Paradoksal Kakao dan Eksistensinya dalam Perekonomian Indonesia


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia merupakan salah satu negara produsen biji kakao terbesar di dunia, nomor tiga setelah Pantai Gading dan Ghana. Berangkat dari hal ini, kakao memegang peran yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian Indonesia. Bicara soal kenyataan, Indonesia, dalam kontradiksinya, masih melakukan impor biji kakao. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Ini disebabkan oleh produksi biji kakao dalam negeri yang tidak mampu mencukupi kebutuhan bahan baku industri pengolahan kakao.  Lantas, apa yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi?

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Minimnya Wawasan Petani

Menurut Musdalifah, Deputi II Bidang Pertanian dan Pangan Kementerian Koordinator Perekonomian periode 2014 - 2019, produksi kakao yang rendah disebabkan oleh minimnya wawasan petani kakao mengenai peningkatan produksi. Ini sejalan dengan hasil survei Mondelez di Lampung dan Sulawesi Selatan pada 2014. Dikutip dari bisnis.com, hasil suvei tersebut menyatakan bahwa hanya 58 persen petani yang menghadiri pelatihan mengenai agronomi dan manajemen kebun yang layak.

 

PPN 10%

Faktor lain di balik kurangnya bahan baku biji kakao dalam negeri adalah besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang ditetapkan oleh Pemerintah. Setiap kakao yang dibeli di pabrik dalam negeri akan dikenakan PPN sebesar 10%. Sebaliknya, apabila petani mengekspor produknya ke luar negeri, produknya tidak dikenakan PPN. Dengan demikian, petani lebih tertarik melakukan ekspor sehingga kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan masih sulit terpenuhi.

 

Ekspor Vs. Impor 

 

grafik kakao perkebunan indonesia (ton) 2013 - 2017

Bila melihat data di atas, persentase rata-rata ekspor untuk biji kakao dalam lima tahun terakhir adalah 53,46 persen dari total produksi. Artinya, sebesar 46,54 persen sisanya digunakan untuk bahan baku industri pengolahan kakao. Hal ini menggambarkan dengan jelas alasan di balik defisit bahan baku bagi para pelaku industri pengolahan yang baru menerima rata-rata 314,011 ribu ton per tahun. Untuk menutupi hal tersebut, dilakukanlah impor guna menutupi kekurangan bahan baku.

Mengutip dari data Badan Pusat Statistik, Total volume impor Kakao selama lima tahun terakhir sangat berfluktuasi. Tahun 2017 tercatat mengalami kenaikan yang sangat besar yaitu 156,93 persen atau sebesar 270,17 ribu ton dengan nilai US$ 640,34 juta dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 105,152 ton. Hal ini tentu berimbas kepada utilitas produksi industri pengolahan kakao, menurut Kemenperin, yang hanya terbatas pada 59 persen dari total 747.000 ton kapasitas dalam setahun.

 

Produktivitas yang rendah    

Rendahnya produktivitas kakao membangkitkan minat petani untuk beralih tanam pada komoditas yang lebih menguntungkan, seperti kelapa sawit atau karet. Secara teoretis, menurut penelitian Corley (1988), potensi produksi per hektare kakao per tahun bisa mencapai 11 ton. Ironinya, Indonesia baru mampu memperoleh produktivitas kakao rata-rata 0,3 – 0,5 ton per hektare per tahun.

 

Hama, Tanaman Tua dan Penurunan Areal Tanam

Faktor lain yang bekontribusi atas menurunnya produksi kakao, menurut Deputi II Bidang Pertanian dan Pangan Kementerian Koordinator Perekonomian periode 2014 - 2019, disebabkan oleh  hama, tanaman yang sudah tua, dan petani yang tidak melakukan replanting. Pada tahun 2015, terjadi penurunan tajam areal Kakao Perkebunan Indonesia sebesar 1,05% menjadi 1.709.284 hektare yang pada tahun sebelumnya sebesar 1.727.437.

 

Langkah konkret dalam Penanganan

Untuk mengatasi paradoks kakao Indonesia, diperlukan kebijakan yang adil serta peninjauan lebih lanjut terhadap faktor-faktor penyebab kurang maksimalnya produksi kakao Indonesia. Selain itu, kesejahteraan petani perlu diperhatikan guna eksistensi kakao tetap sustain. Jangan sampai “title” Indonesia sebagai negara Produsen Kakao terbesar di dunia menjadi kotor akibat kebijakan impor yang rasanya dinilai kurang sejalan dengan bunyi judul tersebut.

Ikuti tulisan menarik Erika Febriyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB