x

Seorang petugas KPPS membarikan pengarahan kepada warga sebelum pelaksanaan Pileg di TPS Suku Baduy Desa Kanekes Lebak - Banten (09/04). TEMPO/Amston Probel

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 15 November 2019 07:00 WIB

Ironi Demokrasi Kita, Elite Politik Menguat dan Rakyat Dilemahkan

Demokrasi kita dihadapkan pada ketimpangan kekuasaan: di satu sisi kekuasaan kaum elite, yang diwakili Presiden beserta elite partai politik, semakin terkonsolidasi, namun di sisi lain kekuatan rakyat semakin melemah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemanakah masyarakat kita akan bergerak? Bayang-bayang konsolidasi kekuasaan kaum elite semakin terlihat sosoknya. Saat ini, elite politik boleh dikata dalam keadaan relatif solid. Sekalipun sesekali ada gejala tarik-menarik kepentingan dalam hal tertentu, seperti manuver Surya Paloh, namun mereka kompak apabila itu terkait dengan bagaimana mengamankan kepentingan mereka bersama.

Dalam isu amendemen, umpamanya, sejauh ini tidak terlihat tanda-tanda perbedaan pandangan di antara partai-partai pendukung pemerintah. Sementara, partai-partai politik di luar pemerintahan tidak cukup tegas mengambil posisi dalam isu-isu strategis. Dengan jumlah kursi yang jauh lebih sedikit dibandingkan mayoritas pendukung pemerintah, apa lagi setelah Gerindra memilih untuk masuk ke dalam kabinet, partai-partai yang tersisa menjadi semakin lemah dan tidak sepenuhnya solid.

Sejauh ini, belum terlihat upaya serius dari pemimpin Demokrat, PAN, maupun PKS untuk bertemu, apa lagi memikirkan kerja sama apa yang mungkin dijalin untuk mengimbangi mayoritas pendukung pemerintah di parlemen. Dalam isu amendemen saja, partai-partai ini satu suara dengan koalisi pendukung pemerintah. Bagaimana dengan suara rakyat, yang mungkin berbeda dengan elite politik? Siapa yang akan meneruskan suara rakyat?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Inilah tantangan berat demokrasi, rakyat dihadapkan pada perbedaan pandangan dengan seluruh elite politik yang kompak. Inilah paradoksnya: rakyat memberikan suara kepada partai untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, namun yang terjadi justru kaum elite mengonsolidasikan kekuasaan untuk kepentingan mereka. Kecondongannya, posisi rakyat akan semakin lemah bukan hanya di hadapan pemerintah, tapi juga di hadapan DPR—yang berisi orang-orang yang duduk di sana karena dipilih oleh rakyat.

Lantas siapa yang akan menyuarakan kehendak rakyat bila berbeda pandangan dengan langkah pemerintah, sementara DPR tak dapat diandalkan? Betapa sukar kini mencari figur bangsa yang kuat dan memposisikan diri berpihak kepada rakyat manakala berkaitan dengan isu-isu krusial. Kita tidak lagi memiliki figur seperti Amien Rais di masa Orde Baru, yang memiliki keberanian untuk menyatakan kebenaran—ya, Amien sebelum terjun ke dunia politik praktis setelah Orde Baru lengser.

Para tokoh yang diundang ke Istana pun, dalam konteks Presiden mencari masukan mengenai revisi undang-undang KPK, hanya mendengar keputusan Presiden melalui media, bukan mendengar langsung dari Presiden. Tidak ada Perppu. Suara para tokoh tersebut tampaknya tidak memberi pengaruh apapun pada Presiden dalam mengambil keputusan. Adakah yang mampu dilakukan oleh para tokoh menghadapi situasi ini? Senyap.

Demokrasi kita dihadapkan pada ketimpangan kekuasaan: di satu sisi kekuasaan kaum elite, yang diwakili Presiden beserta elite partai politik, semakin terkonsolidasi, namun di sisi lain kekuatan rakyat semakin melemah. Kesolidan kaum elite menjadikan stabilitas politik, yang dianggap oleh pemerintah sebagai syarat melajunya pembangunan, dapat dikendalikan. Tapi, ini dapat berakibat pada kurang terakomodasinya harapan dan kepentingan rakyat banyak. Sikap kritis masyarakat terhadap pemerintah berpotensi untuk dianggap sebagai gangguan terhadap stabilitas. Bisa pula, kritik masyarakat—termasuk para pegiat hak-hak sipil, akademisi, hingga ibu-ibu yang kehilangan anaknya—tidak akan didengarkan oleh pemerintah maupun DPR. Suara rakyat dianggap sebagai angin lalu, tak dipedulikan, karena suara itu tanpa kekuatan.

Bila demikian, siapa yang akan menyuarakan kehendak rakyat? Rakyat tampaknya harus berdiri di atas kakinya sendiri. Inilah ironi demokrasi kita. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler